Sunday, December 1, 2002

Dari Sherina sampai Eliana

Riri Riza dari generasi yang meninggalkan semangat lama film Indonesia

Oleh Muhlis Suhaeri

DI RANJANG tergeletak dua buku. Satu dari buku itu bergambar pria bertopi Mao, berkaca mata hitam. Judulnya, Akira Kurosawa Something Like an Authobiography. Kurosawa sutradara legendaris Jepang. Buku yang lain bersampul coklat dengan gambar pria berkaca mata tebal, berjudul Pergumulan Seorang Intelektual. Ini biografi Soedjatmoko, intelektual Indonesia yang terkenal sampai ke luar negeri.

Pada papan kecil berwarna putih yang menempel di dinding terpampang nama yang empunya buku: Muh. Rivai Riza. Seprai putih membungkus kaki hingga dadanya. Di ujung lengan sebelah kanan menancap jarum infus yang isinya tinggal separo.

Seorang perempuan muda yang berada di dekatnya terlihat letih dan gelisah. Ia menekan nomor tertentu pada telepon selulernya. Perempuan itu bernama Wilita Putrinda, biasa dipanggil upik. Ia dan pria yang terbaring di ranjang itu menikah pada 1996. seorang wanita dan pria lanjut usia juga berada dalam ruangan ini. Mereka ibu si pasien dan ayah Upik.

Pasien yang akrab dipanggil Riri ini telah tiga hari menghuni lantai empat, kamar nomor 194, Rumah Sakit Medistra di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat. Pemicunya terjadi pada pertengahan September lalu.


Ketika itu ia tengah mengendarai mobil. Sang istri duduk di sebelahnya. Tiba-tiba ia merasa sakit pada bagian dada dan sekujur tubuh. Khawatir terjadi sesuatu yang berbahaya, mereka mampir ke rumah sakit untuk memeriksakan diri. Oleh dokter, Riri Riza dianjurkan untuk rawat inap.

Secara umum kondisi Riza terhitung baik. Tak ada kelainan pada jantung, liver, dan paru-paru. Tapi, ada gangguan otot. Penyebabnya? Si pasien kurang olah raga dan terlalu lama di ruang berpendingin. Riza juga diminta menghindari makanan berkolesterol tinggi. Kolesterol dalam tubuhnya mencapai 159 miligram, melampaui batas normal: 100 miligram.

Namun, dalam keadaan sakit, ia masih berusaha membaca buku-buku biografi itu. ”Dengan membaca biografi atau otobiografi, sebagai manusia kita menjadi kecil dan belum ada artinya,” katanya. ”Ada nilai-nilai universal yang bisa dicontoh dan diambil dari sang tokoh,” lanjutnya, lagi.

Ketertarikan pada watak dan karakter manusia dituangkan Riza dalam beberapa film dokumenter. Sebut saja, film tentang Sutan Takdir Alisyahbana, sastrawan angkatan Pujangga Baru, Agam Wispi, penyair yang terasing lama di luar negeri akibat peristiwa 1965, dan ibu Tuti, ibunda Yani Afri yang jadi korban penculikan di masa Presiden Soeharto.

Kini Riza menyiapkan naskah untuk film terbarunya tentang Soe Hok Gie. Soe tokoh intelektual dan pemuda idealis yang banyak mempengaruhi pemikiran generasi sesudahnya. Ia mati di puncak Gunung Semeru, terjebak gas beracun. Meski film ini dibuat tahun depan, Riza sudah mempersiapkannya dari sekarang.

”Kita jadi malu bila membaca kisah anak muda ini,” ujarnya. ”Tapi di sisi lain, banyak maling di negeri ini,” lanjutnya.

Menurut Riza, Shoe merefleksikan kegelisahannya terhadap perpolitikan di Indonesia, ”Dan, kita harus membuat film orang yang menentang tirani.”

Tiba-tiba ia seperti teringat sesuatu dan menyodorkan sebuah album padaku, berisi foto-foto bayi berusia sekitar dua bulan. ”Objek yang baik adalah yang paling dekat dengan kita,” katanya.

Liam Amadeo Riza, bayi dalam foto itu, putra pertama Riza. Liam lahir pada 10 Juli 2002, setelah enam tahun usia perkawinan Riza dan Upik. Nama Liam berasal dari Irlandia, yang artinya penjaga utama yang kuat atau ksatria. Amadeo kata lain dari Amadeus, bahasa Itali, yang artinya dekat dengan Tuhan. Riza yang menjadi nama belakangnya adalah nama keluarga.

Tampaknya sang ayah tengah rindu pada anaknya. ”Kasihan Liam. Sudah tiga hari tidak melihat bapaknya,” katanya.

”Kan sudah diberi kain sarung yang bergaris-garis itu,” tukas Upik sang istri.


PAGI ITU udara lumayan cerah. Jalan di depan kantor Miles Productions, sebuah rumah produksi di kawasan Cipete, Jakarta Selatan, tak jauh beda dengan daerah lain, penuh kendaraan macet.

”Ayo kita berangkat!” seru Mira Lesmana, sutradara sekaligus produksi film.

Di samping Mira, seorang pria bercelana jins dan jaket coklat muda ikut bergegas, menuju mobil Toyota Kijang abu-abu metalik. Sesekali si pria memegang gagang kacamatanya.

Agenda mereka hari itu menonton dan mengedit film Rumah Ketujuh, yang disutradarai Rudi Sudjarwo. Film Rumah Ketujuh adalah genre baru, genre romantic comedy. Adegan didominasi oleh pembicaraan dua orang saja. Skenarionya dibuat pada 1997. Ini kisah percintaan dengan gaya komedi situasi. Tak membuat orang tertawa terbahak-bahak, tapi tersenyum geli.

Kerja sama Riza dan Mira itu berlangsung sejak 1994 sebelum Miles Productions berdiri. Ketika itu Mira hendak mengerjakan proyek besar, tawaran dari perusahaan rokok Gudang Garam, dan Riza datang melamar. Mira menerima tawaran Riza dan mereka cocok sampai hari ini.

Riza kuliah di Institut Kesenian Jakarta, satu almamater dengan Mira. Ia mengambil jurusan penyutradaraan film di Fakultas Film dan Televisi. Riza lulusan terbaik pada 1993. Tugas akhirnya berjudul Sonata Kampung Bata. Film pendek ini meraih juara ketiga Festival Film Pendek Oberhausen di Jerman pada 1994. Setahun kemudian,
film ini masuk sebagai finalis Festival Film Antar-sekolah Film Tokyo, Jepang.

“Film ini bercerita tentang anak kecil yang tinggal di sebuah perkampungan pembuat batu bata di Bekasi. Suatu ketika, kampung didatangi rombongan komedi putar keliling. Si anak datang dari lingkungan yang lain. Dia ingin sekali main komedi putar. Tapi, sang anak tidak pernah mendapat kesempatan untuk itu,” katanya.

Pada 1994 ia juga sempat terlibat dalam pembuatan film bertaraf internasional, Victory. Film ini disutradarai orang Inggris, Mark Peploe. Kebetulan Peploe membutuhkan asisten dan Riza pun mendapat kesempatan itu.

Lokasi pengambilan gambar untuk Victory berlangsung di kota Besuki, Situbondo, dan Pamanukan, Jawa Timur. Film yang mengambil kejadian pada 1912 ini mengharuskan mereka mengubah semua lokasi syuting mirip dengan suasana tahun-tahun itu. Pengambilan gambar cuma lima hari sehingga mereka harus bekerja ekstrakeras. Riza mengatur semua hal yang menyangkut nasib kru film dari Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat yang berada di Indonesia selama dua minggu.

Pada 1995 Riza terlibat pembuatan film dokumenter Anak Seribu Pulau bersama sejumlah sutradara, antara lain Garin Nugroho dan Nan Triveni Achnas. Di tahun-tahun awal kariernya.

Riza mengerjakan beberapa film dokumenter, seperti Siulan Bambu Toraja (1995), Kupu-kupu di Atas Batikku (1995), dan Nafas Batu Merapi (1996).

Buku Catatanku (1997), merupakan film televisinya yang masuk nominasi film terbaik kategori drama televisi pada Festival Film Internasional di Singapura pada 1998. Ia bertindak sebagai sutradara sekaligus co-writer.

Di antara rasa manis, ada masa pahit Riza. Mata Ketiga (1997), film yang dibuatnya bersama Mira Lesmana, tak laku di pasaran. Stasiun televisi tak bersedia membeli. Ia dan Mira terpaksa menanggung utang Rp 300 juta.

Kegagalan tadi tak membuatnya menyerah. Ia kemudian menggarap film berjudul Kuldesak (dari bahasa Perancis culde-sac, jalan buntu) bersama Mira Lesmana, Nan Triveni Achnas, dan Rizal Mantovani. Inilah film ‘pemberontakan’ pertama orang-orang yang berlatar belakang akademis di film orang-orang sekolahan.
“Apa sebenarnya semangat dari pembuatan film ini?” tanyaku.
“Kita ingin berteriak saja, supaya diberi tempat untuk berkarya,” jawab Mira Lesmana.

Namun, karya pertama selalu punya kekurangan.

“Kalau kita lihat film ini, ada yang terpotong-potong,” kataku.
“Ya, bayangin saja. Kalau ada empat sutradara. Dalam pembuatannya jalan sendiri-sendiri. Kemudian film itu digabung menjadi satu,” jawab Riza.

Film Kuldesak dianggap tonggak kelahiran kembali film layar lebar setelah beberapa dekade ambruk. Film ini diproduksi awal 1996 dan diputar November 1998.

“Saya langsung menangis. Terharu,” kata Mira, mengenang saat film tersebut diputar di bioskop 21, Jakarta.

Gerakan anak-anak muda yang ingin keluar dari semangat serta idiom lama film Indonesia ini terus berkanjut. Pada 1999 Riza dan teman-temannya, antara lain Rizal Manthovani, Miza Lesmana, dan Nan Triveni Achnas, mendirikan I-Cinema. Mereka bermanifesto untuk membuat film independen. Programnya membuat film layar lebar sebebas-bebasnya dan saling bantu. Film mereka juga tak lagi mengendepankan tema klasik tentang sejoli yang putus cinta lantaran yang satu berasal keluarga kaya dan yang lain miskin, kisah si baik hati dan si jahat yang hitam-putih, atau kekerasan yang vulgar. Tema-tema yang mereka tampilkan lebih kompleks dan berwarna dalam masyarakat yang terus berganti.

Film musikal Petualangan Sherina, yang disutradarai Riza pada 2000, menemukan gaungnya. Film anak ini dibintangi penyanyi cilik Sherina.

“Kalau melihat antusiasme penonton Sherina. Itu gila sekali,” kata Riza dengan antusias.

Mira bercerita bahwa saat itu ia dan Riza sama-sama nekad. Di tengah lesunya perfilman nasional, mereka malah membuat film anak-anak. Banyak orang pesimis, tapi mereka jalan terus. Hasilnya? Film itu meledak di pasaran. Orang rela antre di bioskop-bioskop, bahkan ada yang membuat tenda gara-gara takut tak kebagian karcis.

Dalam Ada Apa dengan Cinta, film remaja yang diproduksi pada 2000, Riza bertindak sebagai penulis cerita bersama Mira dan Prima Rusdi. Riza juga bertindak sebagai produser bersama Mira.

Film yang disutradarai Rudi Sudjarwo ini pun sukses besar. Riza sadar betul membuat film adalah pekerjaan bersama. Riza sadar betul membuat film adalah pekerjaan bersama. Riza menghargai setiap perbedaan pendapat dalam proses kreatif. Ia paham cara menyakinkan seseorang, hingga orang itu percaya dan satu visi dengannya.

Namun, Riza punya kelemahan. Menurut Mira, Riza bukan orang yang tepat waktu. Managemen waktunya agak kacau. Walau begitu tak ada pekerjaan yang jadi korban karenanya. Bila diminta mengerjakan sesuatu, ia akan terus intens dan memberikan seluruh waktunya.

Riza tak membantah. Bisa saja dalam satu hari ia membuat janji dengan 10 orang, tapi “Yang terpenuhi hanya tiga janji.” Untuk itulah, Mira selalu memberi tenggat waktu bila membuat janji dengannya. Meski Riza mengatakan sanggup menyelesaikan suatu pekerjaan dalam seminggu, Mira tetap memberi cadangan waktu beberapa hari untuk Riza merampungkannya.

Setelah Ada Apa dengan Cinta, Riza membuat film digital Eliana-eliana. Ia bertindak sebagai sutradara, penulis, dan produser sekaligus. Film ini membuat Riza nombok Rp 700 juta, tapi sedari mula ia memang tak menargetkan untung. Ini proyek idealismenya, eksperimen kreatifnya.

Eliana-eliana bertutur tentang hubungan ibu dan anak di tengah nilai-nilai masyarakat yang terus berubah.

“Seorang tokoh Bunda dalam Eliana-eliana, tidak bisa dibilang seorang ibu yang baik. Dia bisa berkata kasar pada anaknya. Merokok. Menurut kode-kode formal masyarakat Indonesia dan Islam, tidak memberi contoh. Tapi menurut saya hal itu ada,” katanya.

Bila Petualangan Sherina dan Ada Apa dengan Cinta dimulai dengan konsep bahwa dunia itu harus ideal dulu dan setelah itu baru ada drama, maka Eliana-eliana sebaliknya, dimulai dengan drama, dengan konflik.

Pada Festival Film Internasional di Singapura tahun ini, Riza memperoleh penghargaan sebagai Best Young Cinema dari juri Networking for Promoting Asian Cinema dan Federation of International Film Critic berkat film tersebut.


RIRI RIZA terlahir dari seorang ayah berdarah Makassar, Muhammad Riza. Ibunya perempuan Bugis bernama Hadjarah dg Tongi. Ia anak ketujuh dari delapan bersaudara.

Rumah mereka dihuni oleh lebih dari tiga puluh orang. Kebetulan rumah itu besar. Sanak yang datang dari kampung maupun keponakan ayahnya yang mau melanjutkan sekolah ditampung di rumah itu. Saking banyaknya orang, makanan saja harus dijatah. Untuk memenuhi sebagian kebutuhan lauk-pauk, keluarganya memelihara ikan di empang. Unggas seperti ayam dan bebek juga dipelihara. Hewan-hewan ini dipotong bila ada acara khusus.

Di depan rumah Riza ada pabrik kapur. Cerobong asap besar menjulang di atasnya.

Selang beberapa tahun tak ada aktivitas di pabrik itu. Suatu hari, menjelang magrib, cerobong asap tadi roboh di depan mata Riza yang tengah di beranda rumah. Ribuan kelelawar terbang bergerombol di langit yang semburat merah. “Saya menangis waktu itu. Buat saya hal itu sangat fotografik dan selalu saya ingat,” katanya.

Sejak kecil Riza selalu ingin berbeda, termasuk dalam selera berpenampilan. Ketika orang ramai membicarakan merek sepatu Adidas, Nike, atau yang lain, Riza malahan mencari merek lain yang tak beredar di pasaran, bahkan tak dijual di Indonesia. “Sepatu kesukaannya waktu itu adalah New Balance,” tutur Wardana, kakak Riza.

Riza terkenal gigih memperjuangkan keinginannya. Ia masih duduk di kelas dua SD waktu mendapat kamera fotonya yang pertama. Saat itu bentuk kamera memang besar-besar dan ia kurang tertarik. Suatu hari Krisbiantoro, seorang penyanyi dan pembawa acara yang tersohor saat itu, mengiklankan kamera saku merek Fujika di televisi. Kamera yang bisa dikantongi, kamera mini. Riza menangis minta dibelikan dan ia berhasil. “Saya memotret teman-teman main bola, kakak yang kecelakaan lalu lintas,” kenangnya.

Ia juga memotret suasana pasar. Saat itu ia biasa ikut ibunya ke pasar untuk menawar harga ikan. Pasar tradional sangat penting baginya. Pasar bisa dijadikan standar umum masyarakat, punya bahasa dan pergaulan yang khas. “Kita bisa melihat rakyat suatu kampung, hasil buminya, kecenderungan masyarakatnya seperti apa,” katanya.

Sayangnya, ia kini jarang menikmati suasana tersebut. Bila ada syuting atau undangan diskusi di daerah barulah ia berkesempatan jalan-jalan sambil menikmati pasar tradisional.

Ketertarikannya terhadap film juga dimulai sejak kecil. Ketika itu ayaknya bekerja sebagai direktur penerangan di Departemen Penerangan di daerahnya, anak buah Harmoko saat masih menteri penerangan. Riza akrab dengan proyektor, karena sering diajak ayahnya ke pelosok-pelosok kampung untuk memutar film-film pembangunan.

Film memang media afektif untuk mempropagandakan keberhasilan Orde Baru saat itu. Program transmigrasi atau aktivitas partai Golongan Karya selalu menjadi tema utama.

Saat Riza kelas tiga SD, keluarganya hijrah ke Jakarta. Ia melanjutkan pendidikannya di kota ini.

Di SMA Riza lumayan badung dan nilai pelajarannya buruk sekali. Ia sering berkelahi, bolos sekolah, bahkan mencoba obat bius. Namun, ia mengatakan tak menikmatinya, hanya sekedar fase yang kemudian berlalu.

Setelah lulus SMA, ia ingin masuk jurusan musik di Institut Kesenian Jakarta. Sejak kanak-kanak ia terinspirasi oleh musik. Kakeknya seorang pemain biola. Ia juga sempat menikmati kehidupan anak band ketika remaja. Dua nama grup musiknya terus ia kenang, Seedz dan Razor. Ia dan teman-temannya selalu memainkan Los Angeles Rock, julukan untuk aliran musik yang biasa dimainkan band-band yang berasal dari kota di Amerika Serikat itu. Sebut saja Guns and Roses atau AC/DC.

Cita-citanya memperdalam musik berubah begitu melihat ada jurusan film di institut yang terletak di pusat kesenian Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Teman-temannya kaget melihat Riza berubah haluan.

Rupanya pilihan Riza mendapat restu sang ayah. “Mungkin ia berharap saya bisa menggantikannya kelak,” tuturnya.

Tapi film tak membuat musik surut dari kehidupan Riza. Membuat film ternyata memerlukan kepekaan musikal. Selain itu, “Saya tetap mencipta illustrasi musiknya,” katanya. Banyak film yang ia kagumi memiliki unsur musik yang kuat atau punya ritme pengucapan yang musikal.

Kepekaan terhadap musik juga berpengaruh ketika Riza menulis skenario film. Untuk konsentrasi pun ia membutuhkan musik.

Empat tahun kemudian ia menjadi produser film Garin Nugroho, Bulan Tertusuk Ilalang, pada 1994. Garin dianggap sutradara yang memelopori pembaruan di dunia film Indonesia, baik teknik maupun tema.

“Hidup saya berubah dalam waktu singkat,” katanya. Di usia muda ia harus bertanggung jawab pada produksi film sebesar Rp 600 juta. Riza juga menangani urusan keuangan. “Itu sangat berguna sekali sekarang,” katanya, lagi.

Mengapa Garin berani mempercayai anak muda macam Riza?

“Saya seorang guru yang tahu kemampuan murid,” kata Garin. Di mata sutradara ini, Riza punya keseriusan, disiplin, dedikasi, dan kemampuan. Keempat elemen itulah yang menjadi syarat bagi keberhasilan orang di bidang film atau apapun.

Apakah Riza sudah berhasil dalam berkarya?

Ia percaya manusia bisa menemukan sesuatu karena ada proses dialog dengan Tuhannya, ada semacam bisikan dari dialognya dengan yang lebih besar. Seorang seniman adalah orang telah dipilih untuk mendapat bisikan itu. Seorang Pramoedya atau Picasso tak mungkin menghasilkan karya yang dahsyat tanpa proses dialog, katanya.

“Anda merasa sebagai orang yang sudah dipilih untuk itu,” tanyaku.
“Saya merasa belum sebagai seniman,” jawabnya.

Ia hanya ingin karyanya berdampak luas, tak sekedar proyek kenes-kenesan. Kalau pun membuat film, harus yang bermakna bagi orang banyak.

Menurut Riza, film yang bernilai adalah film yang komersial, karena ditonton begitu banyak orang, sehingga tanggung jawabnya menjadi lebih besar. Dengan membuat film komersial yang bagus, ia merasa bisa berdialog dengan jutaan orang, dan menyampaikan sesuatu yang berharga.

ADA SATU hal yang selalu diingatnya hingga kini. Ia memperoleh kesempatan belajar di luar negeri berkat pengalaman dan prestasinya, bukan semata ijazah pendidikan formal.

Semula ia merasa minder mengajukan lamaran beasiswa, karena cuma lulus diploma. Syarat untuk beasiswa itu harus sarjana lulusan strata satu yang belum ada programnya di kampus. Tapi, ia lolos juga dan berangkat ke Inggris untuk kuliah penulisan skenario film di Media Arts Departement, Royal Holloway University of London.

“Itu pendidikan setingkat master,” katanya.

Kelas master untuk penulisan skenario cuma berlangsung dua kali seminggu. Formatnya diskusi. Sepuluh orang bertemu dan saling membagikan makalah. Mereka juga menonton film dan mendiskusikannya.

Namun, Riza mengaku lemah dalam penulisan skenario. “Tidak bisa menulis dengan tekun,” katanya. “Saya yakin bisa menjadi sutradara, tetapi menulis dengan konsep sendiri sangat sulit,” lanjutnya. Padahal semua sutradara yang ia kagumi, menulis sekaligus menyutradarai sendiri film-film mereka.

Riza menulis naskah skenario berjudul Growing Young untuk tugas akhir. Naskah itu setebal 111 halaman. “Standarnya satu halaman naskah untuk adegan satu menit,” katanya.

Ceritanya tentang seorang anggota pasukan antihuru-hara, yang melarikan diri dari Jakarta dan pulang ke Sumatera. Situasi di rumah menunjukkan bahwa polisi yang gagah dan selalu pakai tameng bila menghadapi demontran itu ternyata takut pada ayahnya. Seorang polisi yang selalu menjadi suatu bagian dari sebuah batalion, suatu hari ingin jujur pada ketakutannya sendiri.

Penggalan kalimat dalam novel Harimau-Harimau, karya Mochtar Lubis, tercantum diawal skenario tersebut. Novel itu antara lain, mengungkap sisi batin manusia, ketakutan mereka terhadap harimau yang bersembunyi dalam dirinya sendiri. Ironi ini muncul dalam diri manusia. Inilah yang ingin ditampilkan Riza dalam film.

Setahun kemudian ia tamat kuliah, kembali ke Indoensia dan mengajar di Institut Kesenian Jakarta, almamaternya.

Bagi Riza, seorang seniman perlu tercerabut dari akarnya untuk melihat masalah dari luar. “Tadinya saya hanya tahu bahwa film adalah medium visual,” katanya. Ternyata pengetahuan tersebut tak cukup. Film melibatkan emosi, karakter, dan menyentuh persoalan zamannya.

Riza berpendapat bahwa film harus memenuhi tiga kriteria utama: bisa menjadi komoditas ekonomi, punya unsur artistik yang kuat, dan memiliki unsur teknologi yang juga kuat. Tiga hal inilah yang akan dieksplorasi dalam semua filmnya.

Film yang baik adalah film yang sederhana. Penonton bisa memahami alur dan menghayati cerita film itu. Film yang menjadi tontonan banyak orang dari berbagai lapisan, menandakan film tersebut mewakili zamannya, mewakili dinamika masyarakat tempat ia lahir. Bagi Riza, filosofi dari film yang sesungguhnya adalah cerita tentang diri sendiri.

“Sekarang saya sadar, bahwa apa yang diungkap oleh Eliana, adalah ungkapan saya. Apa yang diungkapkan Bunda, itu kegelisahan saya,” kata Riza. Akhirnya film menjadi media ekspresi personal sang sutradara. “Tapi, film yang berhasil selalu punya arti yang lebih luas,” lanjutnya.

Garin Nugroho punya pendapat khusus tentang Eliana. “Memang dalam film bersifat human, Riza cukup berhasil.” Namun dalam film Eliana, Riza kurang menggarap sisi negatif dari budaya urban. “Ia kurang nakal,” komentar Garin.


DINDING-DINDING ruang tinggal di Apartemen Rasuna, Jakarta Selatan, itu berwarna lily white atau kuning rona gading. Catnya masih baru. Ini warna toleransi. Dalam menentukan warna cat rumah, ia perlu mendengar pendapat dari sang istri. Ia sendiri menyukai banyak warna. “Karena hidup itu penuh warna,” kata Riza.

Di ruang tersebut Lima Amadeo mengerjap-ngerjapkan matanya. Badannya lumayan besar untuk bayi seusianya. Ia tersandar nyaman dalam pelukan sang nenek. Tatapannya menyapu ke penjuru ruang. Buku-buku rapi berderet rapi dalam lemari kaca yang menempel di dinding. The Scorsese, Inner View, Andrej Tarkovsky, Ozu......Di sisi dinding yang lain, kaset-kaset DVD tersusun dalam rak. Judul-judulnya terlihat: The Lord of The Ring, Crouching Tiger Hidden Dragon, Vertigo, X-men, Blood II-The Last Vampire, Queen-We Will Rock You.....

Kue orang pindah rumah pun dihidangkan. Keluarga Riza baru saja pindah ke apartemen ini. “Ini namanya kue kaya,” kata ibu Riza. Kue itu terbuat dari santan dan gula merah. Ini mengikuti tradisi di Makassar. Bila orang pindah rumah, ulang tahun atau menyelenggarakan perayaan lain, maka kue serupa akan dihidangkan.

Riza memperlihatkan dua buku catatan padaku. Buku itu berisi potongan karcis bioskop. Riza membuat catatan ini sejak pertama kali membuat film, sekitar 1994. Biasanya ia memberi keterangan di bawah potongan-potongan karcis tersebut, semacam analisis atau komentar.

Ia kemudian menunjukkan catatan sebuah film yang ditontonnya dan membacakannya, “Gagallah, gagallah, dan gagallah dengan baik.”

Ia paling takut ketika tak bisa membuat catatan seperti itu lagi. Kini, dua minggu setelah sakit, ia belum mengisi bukunya lagi.

Riza pun sudah tak punya waktu untuk membaca. Dulu mobil, tempat tidur, dan kamar mandi menjadi tempat rutinnya membaca buku. Ia sengaja menggaji sopir pribadi agar bisa membaca di mobil. Di tempat tidur dan kamar mandi minimal dua buku bacaan tersedia. Buku terakhir yang dibacanya sudah setengah tahun lalu. Sekarang ia membaca tulisan yang pendek saja, macam esai dan cerita pendek.

Padahal, membaca buku penting bagi Riza. Ia menemukan kata-kata baru dari sana. Membuat film ada berbahasa. “Saya menemukan peristiwa dan saya menemukan cara menulis peristiwa,” ungkapnya.

Setelah itu ia memperlihatkan foto-foto bangunan padaku. Kelak ia ingin membuka teater dan galeri di Makassar, kampung halamannya. Sebuah bangunan telah dibelinya untuk itu. Riri Riza ingin mendirikan komunitas kesenian di sana. Kalau perlu akan didirikan semacam yayasan untuk menangani komunitas tersebut. Ia banyak cita-cita dan berharap, “Dalam bidang apapun yang akan dijalani kelak, saya ingin berteman dengan anak saya.”


Edisi cetak ada di Majalah PANTAU, edisi Desember 2002.
Foto dari Riri Riza blog, dan Miles Productions

Baca Selengkapnya...