Monday, September 19, 2005

Politik Identitas dalam Pelaksanaan Pilkada Kalbar

Oleh: Muhlis Suhaeri

Kepulauan Indonesia yang terdiri dari beragam etnis dan agama ini, sungguh merupakan suatu kekayaan tersendiri. Keanekaragaman budaya menghasilkan berbagai hasil budaya tingkat tinggi, seperti tarian, nyanyian, bangunan bersejarah, dan ciri khas fisik budaya lainnya.

Keanekaragaman itu menghasilkan sebuah identitas tersendiri bagi masyarakat dan wilayah. Dengan adanya identitas, pertalian dan kedekatan seseorang bisa bertambah, atau malah sebaliknya. Identitas bisa muncul melalui kesamaan etnis, ideologi, atau agama. Namun, apa sebenarnya identitas itu sendiri? Kapan ia muncul? Apakah ia bersifat abadi dan laten?


Dalam bukunya, In The Name of Identity, Amin Maalouf, menuliskan, identitas memang sebuah perkara khusus. Umat manusia sendiri tersusun atas perkara-perkara khusus. Hidup hidup adalah pencipta keberbedaan. Tak ada “reproduksi” yang pernah identik. Setiap individu tanpa kecuali memiliki identits campuran. Identitas tersusun dari sejumlah pertalian. Bahwa, identitas itu juga tunggal, sesuatu yang orang alami utuh dan sepenuhnya. Tak heran jika salah satu identitas itu tersenggol, orang akan bereaksi sepenuhnya.

Nah, dalam percaturan politik di negeri ini, masalah identitas kerap dijadikan salah satu cara untuk menjelekkan atau menjatuhkan, lawan politiknya. Masih jelas di ingatan kita, Pemilu 2004, yang lalu. Bagaimana identitas salah satu calon presiden dikritisi dan dibongkar. Katakanlah, presiden SBY. Oleh lawan politiknya, SBY diidentikkan sebagai calon presiden yang tidak agamis. Atau, istrinya, Kristina, juga mendapat pukulan dengan isu yang sama. Kristina dianggap sebagai pemeluk agama Kristen. Toh, akhirnya masyarakat juga tahu, bahwa hal itu hanya sebuah isu. Yang coba dihembuskan, untuk menjatuhkan dan menurunkan kredibilitasnya.

Identitas lahir dan muncul ketika kita lahir. Seorang anak dari bapak Jawa dan Ibu Jawa, maka ia akan menyandang identitas sebagai suku Jawa. Ketika ia lahir dari seorang ayah Tionghoa dan ibu Tionghoa, secara otomatis ia akan mendapatkan identitas sebagai etnis Tionghoa. Nah, ketika seseorang lahir dari ayah dan ibu seorang pemeluk agama Islam, seorang anak akan langsung mendapat identitas sebagai pemeluk agama Islam. Sama juga ketika dia lahir dari pasangan Kristen, secara identitas ia akan menjadi seorang penganut agama Kristen.

Dalam suatu kurun waktu tertentu, identitas juga bisa berubah, dihilangkan atau mengantinya dengan identitas baru. Penghilangan atau perubahan identitas dilakukan, bila suatu identitas dianggap merugikan atau kurang menguntungkan. Ambil contoh saja, ketika terjadi kerusuhan antargolongan di Kalbar, atau Ambon. Ketika menjadi Islam atau menjadi Kristen dianggap membahayakan dirinya, orang akan menanggalkan simbol atau identitas yang ia miliki. Sama halnya, ketika menjadi Dayak, Melayu atau menjadi Madura, dianggap membahayakan, maka orang akan menanggalkan identitasnya.

Nah, bagaimana dengan proses demokrasi seperti pemilihan kepala daerah (Pilkada)?
Sejauhmana isu mengenai identitas itu berkembang atau dilanggengkan?

Dalam setiap Pilkada di wilayah Kalbar, hal pertama yang akan kita dengar adalah, isu mengenai putra daerah. Sejauhmana sang calon pemimpin mempunyai “titisan darah” sebagai putra daerah. Isu mengenai putra daerah muncul, seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah. Ada kalimat dalam salah satu pasal yang berbunyi, kepala daerah adalah orang yang mengerti daerahnya. Kalimat itu diterjemahkan secara kasat mata menjadi, orang yang berasal daerah itu.

Apa dan siapa itu putra daerah? Apakah seorang anak yang lahir dari etnis Dayak atau Melayu, otomatis mendapat sebutan sebagai putra daerah Kalbar? Bagaimana kalau ia lahir di Jawa? Apakah masih berhak menyandang sebagai predikat putra daerah? Bagaimana dengan etnis Bugis, Tionghoa, Jawa, Madura, Batak, dan lainnya. Ketika mereka telah beranak pinak di Kalbar hingga 2-3 generasi, tidak berhakkah mereka menyandang predikat sebagai putra daerah Kalbar? Apakah kita harus minta pada Tuhan, supaya dilahirkan dari etnis atau agama tertentu, supaya bisa mencalonkan diri sebagai kandidat pemimpin?

Kekuasaan memang menggiurkan. Dengan kekuasaan orang bisa melakukan apapun untuk mengapai maksud dan tujuannya. Tak heran jika orang melakukan berbagai cara, untuk meraih tangga menuju kekuasaan. Dan satu hal yang perlu dicatat, kekuasaan cenderung korup. Apalagi kalau tidak dikontrol oleh masyarakat. Para politikus atau kandidat pemimpin, seolah sengaja memelihara atau memainkan politik identitas itu, untuk kepentingan politik dan hegemoni kekuasaan.

Nah, seperti kita lihat dalam realitas politik dan Pilkada di Kalbar. Masalah identitas selalu muncul dalam setiap Pilkada. Dengan identitas tertentu, calon kandidat bisa melakukan posisi tawar, untuk menjaring dan mendapatkan dukungan. Orang membubuhkan identitas tertentu pada dirinya. Atau, memainkan isu identitas untuk menarik simpati.

Satu contoh terjadi di Kabupaten Ketapang. Seorang kandidat menghembuskan isu dan identitas agama. Kondisi itu hampir saja memicu konflik antarmasyarakat dan pendukung masing-masing calon. Atau, lihatlah dalam setiap pemilihan bupati. Ketika kandidat calon ketua adalah Islam, maka wakilnya adalah Kristen. Ketika calon ketua Kristen, maka wakilnya adalah Islam. Tak usah bingung mencari contoh. Lihatlah, semua Pilkada yang pernah dilakukan. Polanya sama. Identitas dijadikan posisi tawar dalam suatu Pilkada.

Apakah ini cermin kemunduran dari suatu politik?
Saya tidak mau menghakimi. Namun, rasa-rasanya, peleburan masalah identitas keetnisan atau agama, telah lebur bersamaan dengan ikrar Sumpah Pemuda 1928. Lalu, kenapa politik identitas itu muncul? Sebabnya tentu beragam. Ketidakpercayaan untuk menampilkan potensi dan kemampuan diri, bisa juga dianggap sebagai salah satu sebab, kenapa politik identitas itu muncul. Ketika orang tidak punya kemampuan dan potensi yang diandalkan untuk menjadi figur seorang pemimpin, maka salah satu jalan termudah adalah, menggali salah satu identitasnya. Sehingga bisa dilihat dan mendekatkan dirinya dengan masyarakat.

Ya, itulah cara termudah dan dianggap gampang. Padahal bila pola politik identitas itu terus dikembangkan, kita akan terus terperosok menuju politik purba. Kenapa politik purba? Karena politik itu sudah ketinggalan jaman dan susah membawa kemajuan. Orang terbutakan dengan realitas. Bahwa, kemampuan memimpin, mengelola dan menyejahterakan masyarakat, jauh lebih penting. Daripada hanya sekedar masalah identitas, dan dari mana ia berasal.

Coba lihatlah dalam setiap pemilihan umum di suatu negara?
Para kandidat yang mencalonkan diri, berlomba menawarkan berbagai program dan penanganan masalah yang ada di sekitarnya. Berbagai ideologi dan paham juga merambah dalam memenangkan dan merebut hati simpatinya. Ideologi menjadi senjata paling ampuh untuk memenangkan setiap pertarungan dan wacana. Munculnya berbagai partai yang mengusung ideologi kiri, kanan, liberal, konservatif, dan lainnya, turut mendinamisasikan kehidupan berpolitik suatu bangsa.

Melihat realitas itu, masihkah kita memposisikan masalah identitas sebagai garda depan dari suatu cara untuk memenangkan suatu Pilkada? Tentunya ini menjadi tugas kita bersama. Bahwa, membangun suatu daerah, tidak hanya muncul dari tangan seseorang, yang mempunyai darah “seorang putra daerah”.

Ada banyak syarat lain mesti dimiliki. Salah satunya, bagaimana ia meleburkan dan membuka wacana, tentang identitas itu sendiri. Bukankah pemerintahan sekarang ini, SBY dan JK, sudah begitu terbuka untuk mengenai sebuah identitas, dan membuka kran demokrasi.

Nah, apakah kita masih akan melanggengkan politik identitas? Karena, komunitas manusia manapun, yang merasa dipermalukan atau cemas akan eksistensinya, akan cenderung memproduksi pembunuh.***

Pernah dimuat di rubrik Opini, harian Pontianak Post
Foto Muhlis Suhaeri

Baca Selengkapnya...