Wednesday, January 18, 2006

Perkutut: Lembut Suaranya, Deras Aliran Duitnya

Oleh: Muhlis Suhaeri

Pernahkah Anda membayangkan, seekor burung seharga Rp 2 miliar? Sekali lagi, Rp 2 miliar! Jawabannya, adalah burung perkutut. Ya, burung dengan suara lembut dan khas itu, seolah telah menghipnotis seseorang. Untuk mengeluarkan uang, berapapun besarnya. Asalkan dapat memiliki burung itu. Tak perlu merasa heran. Itulah pesona perkutut.

Burung itu bentuknya tak terlalu istimewa. Ukurannya kecil dan warna bulunya kelabu. Paruhnya kecil dengan mata kecil dan terlihat sayu. Burung mungil itu, memang memiliki daya magnetis bagi penggemarnya.


Harga burung perkutut lumayan besar. Untuk anakan (piyik) berumur bulanan saja, harganya bisa mencapai Rp 800 ribu. Kalau dijual ke kalangan menengah ke bawah, harganya antara Rp 300-500 ribu. “Burung perkutut komplek betul penjualannya. Ada berubah sedikit suaranya, harganya bisa berubah” kata H. Didik Imam Wahyudi, SE, Ak. Kalau aprahan atau jelek, masih bisa laku Rp 100 ribu.

Dari segi penjualan, tidak bisa dipastikan berapa jumlahnya dalam sebulan. Penggemar burung perkutut dari kalangan beragam. Setidaknya, bila dilihat dari komposisi keetnisannya adalah, orang Jawa 30 persen, Madura 30 persen, Melayu 20 persen dan Tionghoa 20 persen. Sekarang ini, penggemar perkutut masih dari kalangan menengah ke bawah.

Distribusi perkutut didatangkan dari Bangkok, Thailand. Sistem penjualannya berantai. Ada distributor dari Jakarta, mendatangkan burung dengan sistem borongan. Sekali beli langsung 50 kotak. Satu kotak berisi 25 ekor burung dengan harga Rp 2,5 juta. Lalu, perkotak dijual seharga, Rp 3 juta kepada grosir. Selanjutnya, sub grosir menjualnya dengan harga, Rp 3,5 juta. Nah, rantai penjualan berakhir di pedagang eceran. Biasanya dalam satu kotak ada 1-2 burung yang suaranya bagus. Tahun 1997-2000, orang paling suka dengan membeli borongan seperti itu. Sekarang ini, sudah banyak orang menangkarkan perkutut.

Membedakan perkutut, bisa dilihat secara anatomi. Perkutut betina, mata terlihat agak sayu. Pada bagian mata, terdapat warna putih agak banyak. Suaranya jarang bunyi dan kecil. Kalau perkutut jantan, suara agak besar. Badannya lebih besar.

Untuk menjodohkan perkutut, tidak butuh waktu terlalu lama. Dua minggu paling lama. Setelah bertelur, induk mengeram selama 11 hari. Setelah menetas, 1 bulan baru bisa diambil dari induknya. Kalau dengan induk asuh, bisa diberikan pada burung puter, sejenis dengan perkutut. Caranya, ketika sedang bertelur, burung puter diambil telurnya dan mengantinya dengan anak perkutut. Dan burung puter, akan memberi makan anak perkutut (meloloh). Teknik ini membuat perkutut lebih cepat besar, karena melolohnya banyak. Tidak sampai sebulan, anakan perkutut sudah besar. Kalau dengan induk aslinya, sebulan sudah bisa dipisahkan. Sehingga induknya bisa bertelur lagi.

Perkutut mulai dapat berkicau ketika menginjak usia 3 bulan. Namun, pada usia 3-6 bulan, suara burung bisa berubah. Bila sudah 7 bulan ke atas, suaranya tidak akan berubah lagi. Karenanya, beli piyik memang lebih murah. Tapi, untung-untungan, karena suaranya bisa berubah. Keberhasilan dan kebagusan suara ditentukan faktor nasib. Piyik bagus suaranya, bisa dilihat dari karakter suara, keturunan dan perawatan.

“Makanya, orang paling banyak beli burung piyik. Karena kalau sudah dewasa, tidak mampu belinya,” kata Didik.

Makanan perkutut antara lain, padi Lampung, milet, juwawut, dan ketan hitam. Harga padi Lampung perkilo dapat mencapai harga Rp 10 ribu. Padi itu kecil-kecil bentuknya. Milet paling bagus dari Amerika. Warnanya putih. Juwawut seperti milet, tapi warnanya merah. Makanan itu perkilonya Rp 6 ribu, dan bisa dipergunakan hingga 3 bulanan. Ketan hitam diberikan pada perkutut ketika musim hujan. Ketan hitam bisa menghangatkan tubuh. Untuk pemeliharaan makanan, perkutut memang tidak terlalu mahal. Yang mahal itu untuk beli bibitnya, kata Didik.

Perawatan kurang baik, membuat perkutut cacingan. Bila tidak dilakukan penanganan dengan baik, burung akan mati. Cacingan muncul karena kandang kurang bersih, sehingga burung makan tahinya sendiri. Kondisi hujan dan panas tak beraturan, dapat juga mempengaruhi kesehatan burung. Pemeliharaan perkutut tergantung dari kebersihan kandangnya. Yang utama harus kena sinar matahari. Kalau tidak kena sinar matahari, suara akan berubah. Makin kena panas matahari, akan semakin bagus. Intinya, perkutut itu harus kena sinar matahari.

Usia perkutut lokal dari 25-30 tahun. Untuk perkutut silangan, antara 15-20 tahun. Perkutut Bangkok punya suara besar. Tapi, hanya guk-guk-guuk. Tengahnya pendek dan iramanya monoton. Perkutut lokal suaranya kering, kecil, dan iramanya enak. Makanya, perkutut lokal, bagus bila dikawinkan dengan perkutut Bangkok. Hasilnya, burung berirama bagus, depan bagus, banyak, ujungnya panjang, dan dasar suaranya besar.

Bila ingin mendapatkan kualitas baik, harus mengetahui silsilah perkutut. Biasanya, pihak penangkaran akan mencatat dan memberi sertifikat bagi burung hasil penangkarannya.

Ada cara tersendiri melakukan persilangan. Perkutut dengan suara bagus, belum tentu menghasilkan anakan bersuara bagus. Tapi, burung perkutut yang induknya bagus, setidaknya 60 persen sudah ada keturunan bagus. Bila burung ini diternak, belum tentu menghasilkan suara jelek. Biasanya, dari cucu akan menghasilkan suara bagus. Istilahnya, generasi kedua dan ketiga (F2 dan F3).

Jadi, itulah perkutut. Punya seni tersendiri dalam menyilangkannya. Itu juga yang membuat perkutut mahal. Misalnya, ada burung jantan unggul di suara tengah, dan ujung. Maka, akan disilangkan dengan burung betina yang suara tengahnya unggul. Jadi, hasilnya akan mendapatkan anakan saling melengkapi.

Kalau orang sudah pakar dalam melakukan itu, akan menghasilkan duit. Seperti seorang penangkar bernama Sugandi. Yang rata-rata penghasilannya mencapai Rp 200 juta, sebulan. Penangkarannya menghasilkan perkutut bagus dan berkualitas. Dan dia juga berani beli burung untuk indukan.

Bagi pengemar perkutut, tak perlu khawatir bila ingin mencari komunitas dan penggemar perkutut. Ada organisasi memayunginya. Namanya, Persatuan Pelestari Perkutut Seluruh Indonesia (PPPSI). Organisasi memberi fasilitas pada anggotanya dengan kejuaran, seperti Liga Perkutut Kalimantan Barat (LPKB). Untuk tingkat nasionalnya, Liga Perkutut Indonesia (LPI). Lomba tingkat lokal sebulan sekali. Yang menang mendapat angka 10. Angka itu ditambahkan terus menerus selama kejuaraan dengan rentang waktu 1 tahun. Pemenang tentu saja pengumpul nilai tertinggi. Juri sudah hapal suara perkutut peserta. Jadi, tidak mungkin menganti burung untuk tiap perlombaan.

“Penilaian burung perkutut itu ada dasarnya. Ada AD/ART. Lain dengan penilaian burung kicauan,” kata Didik.

Lomba turut membuat harga perkutut jadi naik. Penilaian perkutut ada lima kategori. Pertama, suara depan, bunyinya klauuung. Kedua, suara tengah, bunyinya tek-tek-tek. Ketiga, suara ujung, bunyinya kuuung. Dengungnya panjang seperti gong. Keempat, iramanya. Iramanya beraturan dan ada ketukannya. Biasanya hingga 4 ketukan. Kalau 5 ketukan berarti double plus. Ada seninya. Kelima, dasar suara. Dasar suara ada kering dan basah. Kriteria pertama dalam penilaian lomba burung adalah dasar kualitas suaranya. Dasar suara bagus adalah gede atau cowong. Setelah itu, baru penilaian tengkungnya dan irama.

Perkutut mempunyai beragam karakter atau mental. Ada burung akan bunyi terus ketika di rumah. Tapi, giliran diikutkan lomba, tidak mau bunyi. Hal itu tentu saja menjadi kendala. Inilah yang dinamakan mental kurang bagus. Burung seperti ini, biasanya akan diternak saja. Karakter lainnya, ada perkutut terlalu sering bunyinya. Semakin burung bernafsu dan berbunyi, semakin tidak beraturan suaranya. Makin santai bunyinya, semakin bagus.

Berdasarkan lomba tingkat nasional yang pernah diadakan. Dari tahun 2000-2003, perkutut paling bagus suaranya disematkan pada perkutut dengan nama, Misteri Bahari. Perkutut itu milik Gunawan, pemilik Top Gun Merbox. Tahun 2004-2005, juara disandang perkutut dengan nama, Meteor Selancar. Pemiliknya bernama Gwan An. Seorang pengusaha dan pemilik pabrik ban, Black Stones dari Surabaya. Terakhir, perkutut ini ditawar hingga Rp 2 Milyar. Tapi, dia tak mau. Tahun 2006, perkutut paling bagus suaranya, Gotong Royong. Milik Hendro dari Kediri, Jatim.

Begitulah perkutut. Karenanya, tak heran bila ada gaji perawat perkutut, yang besarnya hingga Rp 10-15 juta perbulan. Orang itu bernama Abdul Syukur. Dia perawat terbaik nasional. Sekarang ini merawat burung Meteor Selancar, milik Gwan An.


Profil, Didik Imam Wahyudi

Dia terlihat antusias sekali, ketika berbicara tentang perkutut. Matanya berbinar dan cara bicaranya semangat sekali. Ya, memang begitulah, raut wajah seseorang ketika membicarakan minatnya pada sesuatu.

Suami dari Yanik Sudaryani, tergolong masih muda. Usianya masih 33 tahun. Dari pernikahannya, dia mempunyai dua orang anak perempuan, Rizka Farda Aini dan Rifdah Zalfa Sofiyani. Itulah sosok H. Didik Imam Wahyudi. Dalam menjalani hidup, dia mempunyai semboyan, “Bekerjalah kamu seakan-akan engkau hidup selamanya. Beribadahlah kamu, seakan-akan engkau mati esok pagi.”

Sekarang ini, dia menjadi Kepala Perwakilan PT. Marguna Tarulata APK Farmasi, Ketua Umum Persatuan Pelestari Perkutut Seluruh Indonesia, di Kalbar. Dan Wakil Ketua Ikatan Keluarga Besar Banyuwangi.

Awalnya memelihara perkutut, supaya kegemaran itu tidak merugikan. “Kan, hobi kalau kita sudah senang, tidak akan mikir lagi berapa itu harganya,” kata Didik.
Menurutnya, memelihara perkutut seperti ada Yoni. Misalnya, orang sudah punya satu perkutut. Begitu melihat ada perkutut yang punya suaranya bagus, dan kebetulan ada dana, maka akan beli lagi perkutut itu. “Kita tidak akan mikir dan akan langsung beli,” kata Didik. Padahal, kalau mau beli sesuatu, istilahnya dia akan pikir dua kali. Namun, tidak untuk perkutut.

Karena menciptakan peluang bisnis, dia juga menangkarkan perkututnya. Didik memberi nama penangkarannya OSLI. Yang merupakan singkatan dari Osing Asli. Osing merupakan penduduk asli di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.

Didik pertama kali beli perkutut pada tahun 2000, seharga Rp 300 ribu. Harga itu kayaknya terasa besar dan merasa takut karena mahal. Padahal, perkutut itu termasuk burung aprah atau sortiran. Sekarang ini, dia sudah mempunyai puluhan burung. Kalau ditotal, angkanya bisa mencapai Rp 400 juta. Itu untuk harga burungnya saja.

Mempunyai perkutut dengan suara bagus, tentu jadi kebanggaan tersendiri. Gengsi akan naik di mata penggemar perkutut lainnya. Penggemar perkutut punya gengsi tersendiri. Dan duit bukan satu hitungan. Perkutut dinilai karena kemerduan suaranya. Bahkan, ada orang berani pinjam duit di sebuah bank, hanya untuk beli perkutut. Sangking mau beli perkutut. Itulah perkutut. Orang seperti nyandu.

Sebenarnya, perkutut sanggup mendatangkan bisnis baru, seperti pembuatan sangkar dan makanan perkutut. Satu sangkar dapat mencapai harga Rp 2-3 juta. Ada seni tersendiri dalam membuatnya. Sangkar dihias dengan bermacam ragam hias dan ukiran. Di Kalbar belum begitu banyak pembuat sangkar. Penggemar masih mendatangkan dari Jawa. “Sebenarnya, inilah peluang bisnis yang belum tergarap dengan baik,” kata Didik.

Dari kumpul-kumpul sesama penggemar perkutut, bisa juga melahirkan bisnis. Bila ini dilihat dengan baik, akan mendatangkan pemasukan bagi daerah. Pernah ada seorang penggemar datang ke Pontianak, untuk melihat perkutut. Lalu, penggemar itu tertarik membuka bisnis hiburan. Selain itu, rencananya ada bisnis besar bakal dibuka, karena pimpinannya mempunyai minat yang sama pada perkutut. Sedang dijajaki pendirian pabrik ban di Kalbar. Itulah hebatnya perkutut. Dari segi pergaulan dan segi bisnis. Selain untuk lomba, mereka datang ke Kalbar, untuk bisnis juga. Dan itu tentunya penghasilan untuk Kalbar.

Didik mengakui, hingga saat ini Kalbar seolah masih ditelantarkan karena tidak ada lomba nasional, dan lainnya. Bahkan, dengan Banjarmasin dan Balikpapan, Kalbar cukup tertinggal. Kalbar ketinggalana karena tidak dilirik penggemar perkutut dari Jawa. Kenapa perkutut sangat maju di Jawa? Karena banyak peternak terbaik ada di sana. Antara lain, Amir, Kuat, Black Stones, dan lainnya. Di Jawa hubungan darat tidak sesulit seperti di Kalbar. Dan di Jawa ditunjang oleh penggemar perkutut yang fanatik.

Dalam hal ini, syarat supaya bisa dilihat secara nasional, harus ada figur yang dapat mendongkrak kemajuan daerah itu sendiri. Salah satu penggemar perkutut cukup tersohor di Kalbar bernama Imbran Susanto, Direktur PT Alas Kusuma. “Saat ini, beliau ini yang paling banyak beli burung bagus,” kata Didik.

Imbran termasuk penggemar sejak dulu. Tapi, karena dia ini orang sibuk, baru sekarang inilah, mulai konsentrasi menekuni minatnya pada perkutut. Terakhir kali, dia kepincut dengan kemerduan perkutut tingkat nasional. Tawaran Rp 250 juta, ditujukan pada pemilik burung. Namun, pemilik tak bergeming dengan harga itu. Karena dia inilah, rencananya, bulan Juni 2006 akan diadakan lomba perkutut tingkat nasional di Kalbar.

Didik berharap, penggemar perkutut tidak patah semangat. Perjalanan dan perkembangan perkutut masih jauh. Selain itu, sesama penangkar harus ada saling kerja sama dan saling bantu. Melihat realitas itu, apakah masih punya keyakinan kedepannya?

“Apa-apa, kalau ditekuni dengan baik akan menghasilkan sesuatu,” kata Didik.
Nah, bagaimana supaya bisnis perkutut bisa maju, tentu tergantung juga dengan semakin bertambahnya pengemar. Yang ditunjang dengan kemampuan beli perkutut. Dan tentunya, ada fokus jadwal nasional lomba perkutut diadakan.

“Hal itu akan mendongkrak harga perkutut itu sendiri,” kata Didik.***

Foto by Muhlis Suhaeri, "Terbanglah....Terbang."

Edisi Cetak, minggu ketiga, Januari 2006, Matra Bisnis

Baca Selengkapnya...

Tuesday, January 17, 2006

Pembuat Perahu Lomba

Oleh: Muhlis Suhaeri

Wilayah Kalbar yang terdiri dari aliran sungai, memerlukan transportasi khusus, seperti perahu. Dengan perahu inilah, masyarakat melakukan berbagai kegiatan sehari-hari. Perahu tak hanya untuk kegiatan harian. Pada suatu kesempatan, perahu juga digunakan untuk lomba atau acara ritual. Seperti terjadi baru-baru ini di Kabupaten Landak.

Serombongan orang berkayuh menyusuri air. Otot mereka meregang. Air sungai tersibak oleh dayung. Sampan melaju dengan cepat. Ada tiga sampan di sungai itu. Setiap sampan terdiri dari 8 pendayung. Setiap ayunan dayung dibarengi dengan teriakan, sebagai penyemangat. Mereka berpacu mengikuti aliran sungai Landak, pagi itu. Itulah gambaran lomba sampan dalam rangka festifal adat dan kebudayaan Kabupaten Landak. Acara diselenggarakan dalam rangka acara Tumpang Negeri.


Menurut Gusti Suryansah, Pangeran Ratu Kerajaan Ismahayana Landak, Tumpang Negeri merupakan acara ritual dengan tujuan, bekerja sama saling memberi dan menyadari kelebihan dan kekurangan. Pengantar tumpang negeri ini ada dua dimensi. Pertama, doa supaya terhindar dari segala balak, bencana alam dan penyakit. Kedua, doa permohonan keselamatan dan kesejahtareaan. Supaya pada tahun mendatang, orang di Landak bisa lebih baik dan sejahtera.

”Upacara tumpang negeri ini, harus didahului dengan suatu kegiatan yang dinamakan sedekah kampong yang berlangsung tiga hari,” kata Suryansah.

Selain itu, ada berbagai perlombaan diadakan untuk menyemarakkan acara itu. Salah satunya adalah lomba sampan antarkecamatan semua kecamatan di Landak. Masing-masing kecamatan membuat perahu sendiri untuk lomba. Namun, bila ada kecamatan tidak mempunyai perahu, panitia akan memberikan perahu.

Panjang perahu untuk lomba mempunyia panjang sekitar 12 meter, lebar 90 cm dan tinggi 70 cm. Perahu bentuknya ramping. Perahu itu khusus dibuat untuk lomba sampan. Harga perahu Rp 3 juta. Salah seorang pembuat perahu bernama Herman Suhandri, 28 tahun, warga Serimbu, Kecamatan Air Besar, Kabupaten Landak. Pekerjaan sehari-harinya membuat perahu. Perahu yang dia buat, biasanya dipesan masyarakat di sekitar Serimbu.

Beda sampan biasa dengan sampan lomba, terlihat dari ukurannya. Sampan biasa ukurannya 6 meter, sedangkan sampan lomba bisa 8 meter atau 12 meter. Untuk sampan buatan warga Serimbu, panjang 8 meter. Kalau daerah lain mencapai 12 meter. Lebarnya sampan bisa, 1 meter, kalau sampan lomba lebih kecil, 60-70 cm.

Semakin panjang ukuran sampan, akan lebih susah mendayungnya. Menurut Herman, perahu yang dia buat, sangat stabil. Hal itu terlihat ketika peserta lain mencoba perahu, yang dibuatnya.

“Mereka memuji sampan buatan saya,” kata Herman.

Kalau lebih pendek, mendayungnya lebih enak dan cepat. Pendayung berjumlah 8 orang. Sampan dengan panjang 8 meter dan 12 m, sama jumlah pendayungnya. Perahu dibuat dengan menggunakan kayu medang. Dayung sampan juga terbuat dari kayu medang. Namun, ada juga dari kayu leban. Dayung memiliki panjang 160 cm, dengan lebar 80 cm.

Umur kayu untuk membuat sampan, mencapai belasan tahun. Diameter kayu untuk membuat sampan sekitar setengah meter. Ciri kayu ini ringan, bagus, awet dan kuat. Ketika dibuat menjadi perahu, ketahanannya hingga 2-3 tahunan. Kayu dibeli dari orang yang mengambilnya di hutan.

Cara membuatnya, kayu dikeringkan dahulu selama 3 hari. Kayu baru dapat digunakan setelah seminggu, atau setelah kayu mati. Langkah pertama membuat perahu dengan membuat tajuk. Atau, semacam tulang rusuk, bingkai di dalam perahu. Cara membuatnya harus dengan kreasi, supaya indah dan bagus. Setelah tulang rusuk terbentuk, barulah diberi lem keruing.

Lem keruing dari damar, yang diperoleh di hutan. Tujuannya, supaya air tidak bisa masuk ke perahu. Damar dibuat dengan cara ditumbuk sehalus mungkin. Lalu, dihaluskan, sehingga menghasilkan butiran seperti tepung. Kemudian diambil getahnya dan diberi minyak solar. Setelah itu, tepung diberi air panas. Hasilya, tepung dijemur lagi. Setelah proses itu, barulah jadi lem dan bisa digunakan.

Bagian paling sulit membuat perahu di bagian tajuk. Tingkat kesulitannya, ketika membuat bentuk atau model. Karena itu merupakan dasar pertama membuat sampan. Jika modelnya bagus, maka hasilnya pun akan bagus. Keindahan dan kekuatannya di situ.

Supaya bentuk perahu bagus?

Caranya, kayu medang yang sudah siap direkatkan dengan paku. Lalu, kepalanya dimasukan, dan dipantak. Hasilnya satukan dan diikat dengan tali. Tujuannya, ketika dibuka, menghasilkan bentuk yang diinginkan. Sesuai dengan bentuk gelombang.

Herman telah membuat perahu selama 2 tahun. Dia ikut kerja dengan bapaknya, Abdul Liman, 52 tahun. Orang tua itu, sudah menggeluti pembuatan perahu sejak 13 tahun.

Tidak ada ritual khusus ketika membuat perahu lomba. Namun, ada pembacaan doa, ketika perahu akan dicoba. Selain itu, ada juga ritual menebarkan nasi kuning dan ayam. Tujuannya, demi menjaga keselamatan.

Herman dan orang tuanya mengerjakan perahu lomba selama seminggu. Setelah sampan selesai dibuat, akan dites apakah bocor atau tidak. Jika tidak ada kebocoran, maka sampan siap digunakan. Mereka berlatih dan menggunakan perahu di sebuah bendungan Ban-Ban. Yang merupakan nama sebuah bendungan dengan air terjun di kawasan Menanggar, 4 km dari Serimbu.

Sampan lomba dibawa dari Serimbu menuju Ngabang dengan menggunakan bus umum. Perjalanan dari Serimbu ke Ngabang, memakan waktu 4 jam. Kondisi jalan rusak, dan berlubang.

Saat lomba, untuk memotivasi pedayung, manajer akan berteriak ban-ban go. Jika teriakan itu terdengar, maka akan diikuti pedayung lainnya. Go adalah semangat untuk mencapai sesuatu.

“Peserta lomba sampan dari Serimbu, sebanyak 20 orang. Satu regu ada dua manajer,” kata Mustari, 41 tahun, Wakil Ketua panitia untuk kontingen Air Besar, serimbu.

Jumlah total peserta festival budaya Melayu dari Serimbu ada 85 orang. Mereka ikut berbagai macam kegiatan lomba, seperti jepin, redad, dan pencak silat (eksebisi).

Perlombaan itu sendiri, diselenggarakan untuk melestarikan nilai dan budaya warisan leluhur, kata Suryansah.***

Foto by Nurul Hayat, "Lomba Sampan."
Edisi Cetak, minggu ketiga Januari 2006, Matra Bisnis

Baca Selengkapnya...

Bagaimana Peluang Ekonomi dan Kebijakan Moneter 2006?

Oleh: Muhlis Suhaeri

Apa yang terjadi, seandainya lingkungan kampung Anda sedang dilanda kekacauan? Tentu saja, keluarga Anda juga akan mengalami kecemasan, kebingungan, dan perasaan takut lainnya. Bagaimana cara Anda keluar dari kemelut itu? Anda tentu saja harus melihat, sejauhmana permasalahan itu mucul, menganalisa dan membuat hipotesa. Lalu, muncul sebuah cara menghadapi masalah itu.

Begitu pun dengan masalah perekonomian. Ketidakseimbangan ekonomi global, tentu saja berpengaruh pada ekonomi regional. Sekarang ini, hampir di sebagian besar belahan dunia, mengalami kondisi yang sangat berat secara politik dan ekonomi. Kondisi itu biasa disebut dengan istilah global in balancing, atau ketidakseimbangan kondisi ekonomi secara global.


Ketidakseimbangan itu muncul, lantaran pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat dan Cina sangat bagus, dan menyedot hampir seluruh finansial di dunia. Salah satunya juga dari Asia. Kenaikan harga minyak dunia yang sangat tinggi, juga memacu inflasi yang cukup tinggi. Yang pada akhirnnya, memaksa sebagian besar Bank Central menaikkan suku bunga bank. Hal ini tentu saja sebuah situasi yang tidak menguntungkan di seluruh dunia. Termasuk juga di Indoensia.

“Kalau dilihat secara keseluruhan, kinerja ekonomi kita pada tahun 2005, tidak terlalu jelek,” kata Ferry Warjiyo, Direktur Direktorat Riset Ekonomi dan Kajian Moneter Bank Indonesia.

Jika pertumbuhan ekonomi pada tahun 2004 sebesar 5,1 %, maka pada tahun 2005, diperkirakan pertumbuhan ekonomi mencapai angka 5,7 %. Nah, pertumbuhan ekonomi untuk triwulan ketiga tahun 2006, diperkirakan mencapai angka 5,9 %, atau lebih rendah 0,2 % dari perkiraan semula. Hal itu memberi makna, ada kemajuan dalam perekonomian Indonesia. Dari segi pertambahan ekonomi, Indonesia berarti lebih baik dari beberapa negara tetangga.

Bila tahun-tahun sebelumnya, daya dukung ekonomi Indonesia murni dari konsumsi, maka mulai tahun 2004, investasi sudah meningkat dan mencapai angka sekitar 15 %. Tahun 2005 investasi agak menurun. Meski demikian, investasi masih menembus angka sekitar 14 %. Tahun depan diperkirakan sekitar 14,5 %.

Karena itulah, ada fokus yang dilakukan dan menyangkut beberapa aspek. “Memang ada sisi kelambatan dari sisi kita,” tutur Ferry. Khususnya, terkait dengan beberapa permasalahan di sektor real, iklim investasi, permasalahan struktural yang masih menganggu, persepsi konsumen yang turun, juga aspek-aspek yang terkait dengan stabilitas makro.

Meski secara keseluruh kondisi ekonomi Indoensia relatif cukup baik, tetap saja ada gejala-gejala pemanasan. Hal itu tentu saja harus dilihat dari sisi aspek sektor real, maupun pengedalian stabilitas makro. Yaitu yang terkait dengan inflasi dan nilai tukar.

Inilah yang harus dihadapi Bank Indoensia, dalam menentukan kebijakan moneternya. Nantinya, dunia perbankan juga akan terkait dengan implikasi-implikasi, dan hal itulah yang harus dilihat kedepannya.

Bila dilihat dari aspek pertumbuhan ekonomi, ekspor belum memberikan kontribusi apa-apa. Bahkan, nilainya masih negatif. Ekonomi yang cepat, menyebabkan impor angkanya sangat tinggi, sementara ekspor relatif tidak besar. Nilai impor sekitar 30 %, sementara ekspor hanya 15 %. Hal ini terjadi karena adanya pelambatan. Selain itu ada beberapa aspek seperti biaya produksi, melemahnya nilai tukar, dan masalah iklim investasi.

Lalu, sektor mana yang menjadi dukungan ekonomi pada 2006?

Secara sektoral, ekonomi Indonesia didukung oleh sektor industri pengolahan, perdagangan, sektor pengangkutan dan komunikasi. Hal ini bisa dimaklumi. Ibaratnya, setelah sakit, orang tentu saja makan banyak. Nah, semenjak krisis terjadi tahun 1997, maka konsumsi menjadi dukungan, sehingga masalah perdagangan selalu menjadi dukungan ekonomi. Setelah itu tentu saja orang akan mulai berinvestasi. Industri kemudian mulai backing up.

Ada beberapa aspek yang perlu dicermati. Dengan kondisi yang agak menurun seperti sekarang ini, masalah minyak, nilai tukar, ekonomi global yang menurun, membuat persepsi bisnis juga menurun. Dari segi potensial, posisi itu tentu masih berada di bawah posisi potensial. Ekonomi potensial Indonesia masih berada di bawah out put potensialnya.

Karena itulah, ekonomi bisa dipacu lebih tinggi lagi. Permasalahannya, investasi belum setinggi sebelum terkena krisis. Dulu sekitar 30 % dari Produk Dometik Bruto (PDB) untuk investasi, sekarang masih 22 %. Dan hal itu masih bisa ditingkatkan lagi.

Karenanya, masalah perbaikan investasi di daerah dan pusat sangat diperlukan. Tidak hanya untuk memulihkan persepsi bisnis, juga untuk menggenjot investasi. Masalah-masalah yang terkait dengan investasi, tentu saja harus memperhatikan aspek legal, perburuhan, otonomi daerah dan lainnya. Semua harus diatasi secara bersama, sehingga kapasitas yang ada dapat dipacu lagi.

Aspek lain, ekonomi yang meningkat sebenarnya berimbas pada permintaan yang juga menguat. Namun, karena produksi dalam negeri masih berada dibawah out put, akibatnya tidak bisa memproduki sesuai dengan permintaan yang ada. “Akhirnya, kita terlalu banyak mengimpor barang konsumsi, barang baku atau barang modal. Inilah gejala-gejala dan sedikit pemanasan dalam ekonomi kita,” kata Ferry.

Ditambah harga minyak yang melambung tinggi, akhirnya terjadi ketidakseimbangan secara eksternal. Neraca pembayaran menjadi tidak seimbang. Pemerintah terlalu banyak menggunakan devisa keluar, sementara devisa yang masuk sedikit. Inilah masalahnya. Akibatnya, hal itu yang menjadi tekanan dinilai tukar rupiah.

Pada saat bersamaan, terjadi kondisi ekonomi dunia yang kurang menguntungkan. Yang ditandai dengan penguatan nilai dollar, suku bunga bank, harga minyak cukup tinggi dan sentimen terhadap kebijakan viskal pemerintah, karena terlalu banyaknya subsidi.

Yang lain dan terkait dengan stabilitas adalah kenaikan harga-harga akibat inflasi di dalam negeri. Dengan naiknya harga BBM, inflasi bulan Oktober 2005 mencapai angka sekitar 8,7 %. Angka itu lebih tinggi dari perkiraan. Kenaikan selama tahun ini sebarannya mencapai 17,9 %.

Nah, ini karena dampak dari kenaikan BBM, baik langsung atau dampak kenaikan angkutan. Inflasi sampai akhir tahun masih relatif tinggi, hingga 17 %. Meskipun ada keyakinan, bahwa inflasi akan turun dari bulan ke bulannya. Tapi, karena sudah terlalu tinggi, penurunannya tidak bisa berlangsung secara cepat.

Karena itulah, dalam melakukan kebijakan moneter lebih diarahkan untuk menstabilkan masalah harga. Termasuk juga pengaruh dari nilai tukar. Perlu menggunakan suku bunga BI rate sebagai suku bunga referensi. Proses perumusan juga mulai melihat, bagaimana prakiraan inflasi kedepan dengan ekonominya.

“Dan kita juga transparan dari segi komunikasi dan kordinasinya dengan pemerintah. Ini beberapa polecy yang kita tempuh,” ungkap Ferry.***


Foto by Muhlis Suhaeri, "Pantaiku Sayu."
Edisi Cetak, minggu ketiga Januari 2006, Matra Bisnis

Baca Selengkapnya...

Saturday, January 14, 2006

Mempertahankan Rasa, Mempatenkan Nama

Oleh: Muhlis Suhaeri

Ada berbagai cara mengikat setiap pelanggan, supaya mendatangi dan mampir di rumah makan. Salah satunya, mempertahankan rasa dan nama. Hasilnya? Rejeki akan mengalir ke kantung Anda. Mau tahu buktinya, inilah salah satu profil dari usaha itu.

Bagi masyarakat Kota Pontianak, nama rumah makan ini sudah tidak asing lagi di telinga. Rumah makan itu bernama Siti Fatimah. Rumah makan ini terkenal karena menu spesialnya, nasi goreng. Ya, rumah makan Siti Fatimah sudah menjadi citra tersendiri, bagi penikmat nasi goreng. Dari sanalah, cita rasa itu dibentuk dan dipertahankan.


Sejatinya, rumah makan Siti Fatimah tidak hanya menjual nasi goreng. Rumah makan ini juga menjual mie goreng, mie rebus dan soto ayam. Namun, nasi goreng yang menjadi ciri dan andalan rumah makan ini. Sejarah rumah makan ini cukup panjang sebelum mencapai taraf seperti sekarang.

Awal tahun 1980-an, Mustofa dan Surya membuka warung nasi goreng di Gertak 2, Gang Kenari. Mereka masih menggunakan gerobak dorong. Banyak pelanggan mendatangi warung itu. Harganya tergolong murah. Satu porsi nasi goreng Rp 1.500. Melihat warung tenda itu terlihat sempit, sementara pelanggan semakin banyak, ada salah satu pelanggan nasi goreng menawarkan rukonya untuk disewa. Pasangan itu pun sepakat dan menerima tawaran.

Akhirnya, usaha nasi goreng pindah ke ruko di jalan H. Rais Abdurrahman, Sungai Jawi. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1982. Nah, dari sinilah restoran terus berkembang. Pasangan itu memberi nama rumah makan tersebut, Siti Fatimah, sesuai dengan nama anak bungsu mereka.

Kini, tiga deretan ruko dua tingkat, telah ditempati rumah makan ini. Dua untuk usaha, satu ruko khusus untuk rumah tinggal. Yang mengelola rumah makan ini, Hj. Siti Fatimah bersama suaminya, H. Muniri. Pasangan ini mempunyai anak 3 orang anak. Dua lelaki, satu perempuan.

Apa yang khas dari rumah makan Siti Fatimah?

“Yang istimewa dari makanan ini adalah rasanya,” kata Muniri. Memang begitulah adanya. Dari lauk maupun bumbunya, semuanya khas. Bahkan, ayam untuk lauknya pun dipakai ayam petelur. Yang rasanya mirip dengan ayam kampung.

Sekarang ini, rumah makan Siti Fatimah sudah banyak membuka cabang. Mereka yang buka cabang, dulunya kerja di rumah makan ini. Rumah makan itu tersebar di jalan Panglima Aim, Parit Haji Husin Dua (Paris), Johar, Siantan, dan Sungai Jawi.

Untuk rumah makan yang terletak di jalan Panglima Aim, telah berubah nama menjadi Rumah Makan Pariha. “Nama itu sesuai dengan nama anak saya,” kata Juhri, sang pemiliknya. Dan di jalan Johar berubah nama menjadi Rumah Makan Iin. Mereka masih terbilang saudara dengan rumah makan Siti Fatimah. Rasa makanan dan menunya juga sama.

Rumah makan di jalan H Rais Abdurrahman mulai buka pada pukul 10 pagi, hingga pukul 11 malam. Rumah makan lainnya, buka mulai sore hari. Tak ada minuman khas. Orang makan biasanya ditemani dengan teh botol atau teh es saja. Orang jarang makan nasi goreng dengan minuman bersoda.

Biasanya rumah makan ramai selepas maghrib hingga pukul 21. Menyantap nasi goreng, memang terasa lezat pada malam hari. Hemmm. Dinginnya malam, membuat nasi goreng lebih gurih dan nikmat. Namun, bila kondisi hujan, dagangan juga bisa tekor, karena tidak ada orang datang. Nah, nasi tentu saja menjadi basi. Dan ini berarti kerugian bagi pedagang. Dalam satu hari bisa menghabiskan nasi sekitar 20 kg.

Mengelola suatu usaha rumah makan, tentu ada kendalanya. Namanya juga melayani orang. Tentu saja temperamennya macam-macam. Kadang ada orang tak sabar dan minta duluan. Ada berprilaku seenaknya. Terkadang ada preman datang minta jatah nasi goreng. Walaupun jumlahnya tidak banyak, tapi ada saja orangnya. “Tidak dikasih bagaimana. Namanya kita ini dagang, maunya tentu aman saja,” tutur Muniri.

Kenaikan harga BBM, sangat berpengaruh terhadap penjualan nasi goreng. Penjualan menurun hingga 50 persen. Naiknya harga BBM, otomatis berpengaruh terhadap harga bahan pokok. Yang turut melonjak naik. Kalau orang biasanya orang membeli 5 bungkus, sekarang jadi perhitungan. Apalagi pada masa awal, ketika BBM mulai naik. Efeknya terasa sekali. Harga makanan perporsi turut dinaikkan. Bila sebelum BBM naik, satu porsi seharga Rp 6 ribu. Setelah BBM naik, seporsi menjadi Rp 7 ribu. Orang paham dan mengerti, saat harga dinaikkan. Dan kenaikan itu terbilang kecil, dibandingkan dengan naiknya harga BBM.

Mengelola rumah makan tentu saja ada pasang surutnya. Pertama kali jualan, satu piring nasi goreng seharga Rp 1.500. Seiring berjalannya waktu, harga nasi goreng naik menjadi Rp 2 ribu, Rp 3 ribu dan terakhir Rp 7 ribu. Saat perporsi masih Rp 2 ribu, jualan nasi goreng lumayan mendatangkan hasil, karena harga ayam masih Rp 1.500 perkilo. Sekarang ini, meski harga satu piring Rp 7 ribu, tapi harga ayam sudah mencapai Rp 15 ribu perkilo. Satu ayam petelur besar, beratnya bisa mencapai 4-5 kilo perekor. Dalam satu hari, dapat menghabiskan 10 ekor ayam.

Mengelola bisnis rumah makan lumayan berat kerjanya. Apalagi mengelola ayam. Untuk menangani ayam saja, butuh waktu hingga setengah hari. Penanganan ayam melalui beberapa tahapan, antara lain; dipotong, direbus, diiris kecil-kecil, dirempah dengan kecap, dan digoreng lagi. Pada tahap ini, ayam diberi rempah, bumbu, kecap dan segala macam bumbu lainnya.

Cara mengelola rumah makan harus berlaku ramah terhadap orang. Itu yang penting. Masalah rasa, juga jangan berubah dan harus dijaga. Apa rahasia, supaya rasa tidak berubah?

“Untuk menjaga rasa, saat merempah jangan terlalu banyak orang. Kalau beda orang, bisa lain rasanya,” kata Muniri. Orang yang biasanya merempah itulah, seharusnya melakukan pekerjaan itu. Biasanya hanya 1-2 orang. Merempah ayam adalah memberi daging ayam dengan garam, bumbu masak, dan lainnya. Bila orangnya lain, rasa juga akan lain. Merempah perlu takaran sama pada setiap bahannya.

Ada 10 orang pekerja di rumah makan ini. Yang menggoreng nasi ada 3 orang. Biasanya lelaki. Pekerjaan ini lumayan menguras tenaga. Bagian merempah ada 1-2 orang dan sisanya bagian pelayanan. Rumah makan Siti Fatimah tidak melayani permintaan catering untuk pesta atau lainnya. Karena repot sekali kerjanya.

Namanya juga usaha, syarat aman tentulah menjadi prioritas. Rumah Makan Siti Fatimah menawarkan hal itu. Kalau sekitar usaha banyak pemabuk, otomatis pelanggan akan malas datang. Kalau tempatnya nyaman, orang makan tentu merasa enak. Asal tahu saja, pengamen tidak diijinkan untuk masuk. Banyak tamu mengeluh dengan kehadiran mereka. Hal itu pengaruh sekali ke tamu. Misalnya saja, ketika orang baru saja duduk santai dengan keluarganya. Tiba-tiba......jreng-jreng. Dan tamu merasa terganggu. Pengamen tidak akan marah, meski dilarang masuk ke rumah makan. Karena mereka dijelaskan dengan cara baik. Namanya juga sama-sama cari makan. Jadi saling menghargai.

Apa keistimewaan lain Rumah Makan Siti Fatimah?

“Nama Rumah Makan Siti Fatimah sudah dipatenkan,” kata Muniri.
Banyak orang datang dan menawarkan diri melakukan kerja sama. Sistemnya bagi hasil. Ada yang menawarkan tempatnya, minta buka di kota lain, dan sebagainya.

Orang pernah mengajak kerja sama buka cabang di Batam, Malaysia, dan Ketapang. Di Pontianak sendiri, sudah banyak orang mengajak kerja sama. Mereka datang berkali-kali. Mereka datang dan datang lagi. Menawarkan kerja sama. Orang itu sebenarnya pelanggan juga. Setelah makan, mereka tertarik mengadakan kerja sama. Lalu, alasan orang ingin membuka nasi goreng di Malaysia, karena belum ada nasi goreng seperti itu di sana.

Apa jawaban Muniri?

“Kita tidak mau,” kata Muniri. Dia khawatir, orang itu pada awalnya mau bagi hasil. Setelah mengetahui dan bisa membuatnya, mereka akan berusaha sendiri. Setelah itu, akan meningalkannya. “Lagian, kita sudah punya nama. Nanti kalau rasanya rusak, nama kita bisa rusak juga,” kata Muniri, memberikan alasan. Nama rumah makan dipatenkan pada tahun 2003. Besarnya? Lebih dari Rp 5 juta-an.

Nama memang sangat penting bagi sebuah usaha. Kalau ada yang membuka rumah makan dengan nama sama, tentu orang akan ke tempat itu. Karena namanya dianggap sama.

Sekarang ini, Muniri belum berpikir mengembangkan usaha di Jakarta. Rencana tetap ada. Tapi, orang yang dipercaya menangani tidak ada. Kondisi sekarang lagi jaman susah. Alasan lain, ketika membuka rumah makan baru dan tempatnya masih sewa, akan menyusahkan nantinya. Ketika usaha maju, si pemilik bangunan akan terus meningkatkan harga sewanya. Kontraknya akan terus melambung tinggi. Disitulah kesulitnya. “Jadi, kalau kita tidak punya ruko sendiri, kita tidak ada keinginan untuk buka,” kata Muniri.

Bagaimana rumah makan ini menatap masa depannya?

“Kedepannya, saya masih yakin bahwa rumah makan ini akan tetap laku,” kata Muniri. Tapi, sekarang ini, masalah harga juga harus tetap bertahan dengan harga sekarang. Karena semua barang naik harganya.

“Yang penting, kita masih bisa jalan, dan akan kita jalankan,” kata Muniri, mengakhiri pertemuan sore itu.***

Foto by Lukas B. Wijanarko, "Berdagang."
Edisi Cetak, minggu kedua, Januari 2006, Matra Bisnis

Baca Selengkapnya...

Saturday, January 7, 2006

Rejeki Penjualan Daging di Hari Imlek

Oleh: Muhlis Suhaeri

Imlek datang. Rejeki pun lancar. Mungkin itu gambaran nasib para pedagang daging. Bagaimana tidak, datangnya tahun baru Imlek berarti pula, saat berkumpul bagi keluarga. Acara itu, diwujudkan melalui rasa syukur dengan cara makan bersama, dengan berbagai macam hidangan makanan.

Nah, seperti juga pada hari besar keagamaan dan acara tradisional lainnya. Orang akan memasak berbagai makanan bagi kerabatnya. Karenanya, mereka akan membeli berbagai makanan, daging dan berbagai keperluaan lainnya. Orang bisa mendapatkan berbagai keperluan itu, di pasar tradisional atau swalayan.


Salah satu pasar tradisional yang menyediakan daging, ada di pasar Flamboyan, Pontianak. Naiknya penjualan daging menjelang Imlek, diakui seorang pedagang daging sapi, H. Sutiyah. Yang telah berjualan daging sejak tahun 1981. Bila pada hari biasa sanggup menjual 150-160 kg. Pada hari Imlek, daging bisa terjual hingga 300 kg. Lebih fantastis lagi, pada saat 3 hari menjelang Lebaran, dia bisa menghabiskan 3 ton daging.

Sebelum menyembelih sapi, biasanya pedagang membeli sapi hidup pada pedagang sapi. Lalu, sapi itu dipotong di tempat pemotongan hewan. Sapi mengalami penyusutan ketika disembelih. Ambil contoh, sapi hidup dengan berat 150 kg, ketika dipotong cuma menghasilkan 125 kg daging. Harga daging sapi ditentukan melalui bagiannya. Daging punggung sapi biasanya paling mahal, harganya Rp 48 ribu perkilo. Daging nomor dua, bagian bawah paha, harganya Rp 45 ribu perkilo. Hati sapi dihargai Rp 48 ribu. Dan daging sop, bagian rusuk, seharga Rp 38 ribu perkilo.

Pada hari menjelang Imlek, harga bisa naik Rp 5.000-10.000 ribu perkilonya. Contoh saja, untuk daging nomor dua, dari Rp 45 ribu, harganya menjadi Rp 50-55 ribu perkilo. Begitu juga pada daging yang lain. Ada pengecualian pada hati sapi. Menjelang lebaran, harga hati bisa mencapai Rp 80 ribu perkilo. Pada Imlek, harga hati sapi tidak sedrastis itu naiknya. Masih berkisar Rp 55 ribu.

Lalu, bagian mana yang lebih disukai ketika orang merayakan Imlek?

“Orang Tionghoa biasanya lebih suka dagingnya saja, ketika membeli daging. Mereka tidak suka jeroan seperti paru, hati, ampela, gajih dan lainnya,” kata Sutiyah. Jeroan biasanya dibeli pedagang bakso atau mie. Pasar daging biasanya buka dari pukul 3 subuh hingga pukul 9 pagi.

Terkadang ada pedagang buka sedari pukul 11 malam, karena pelanggannya datang pada jam tersebut. Sutiyah jualan hingga sore hari. Pelanggannya biasa datang pada sore hari. Kebanyakan pembeli biasanya dari warga Pontianak. Selain melayani pembeli rumah tangga, dia biasa juga melayani penjualan daging ke beberapa swalayan, hotel dan restoran di Pontianak.

Jumlah pedagang sapi di pasar Flamboyan ada sekitar 22 orang. Yang aktif memotong sapi ada 16 orang. Lainnya beli daging langsung. Sapi disembelih di pemotongan hewan Sungai Rengas. Selain di pasar Flamboyan, daging juga dijual ke pasar tradisional Sungai Jawi, dan Pasar Sentral.

Bagaimana dengan daging babi?

Pada dasarnya sama. Ketika ada perayaan Imlek, sembahyang kubur, natalan, dan tahun baru, pedagang daging babi turut menuai berkah. Penjualan daging bisa naik dua kali lipat dari hari biasa.

Harga daging babi tergantung dari persediaan babi. Kalau jumlah babi banyak, harga bisa murah. Begitu juga sebaliknya. “Kalau persediaan babi sedikit, maka harganya bisa naik,” kata A Hin, seorang pedagang daging babi di pasar Flamboyan.

Dia telah berjualan babi selama 24 tahun. Naiknya harga BBM, tidak terlalu menurunkan penjualan daging babi. Masalah utama adalah persediaan babi dan isu tentang flu burung. Kalau orang tidak makan daging ayam, biasanya mereka beralih makan daging babi.

Babi hidup perkilo harganya Rp 10-10.500. Satu ekor babi bisa mencapai berat 90-175 kg. Babi hidup ketika disembelih dan menjadi daging, bisa susut hingga 30 persen. Kesusutan itu tentu saja karena tulang, dan berbagai bagian di babi. Daging babi dan lemak perkilo Rp 17 ribu. Daging murni seharga Rp Rp 28 ribu. Itu harga sehari-hari itu.

Orang paling suka makan daging has atau daging punggung, karena dagingnya empuk. Pembeli biasanya orang rumah tangga dan pemilik rumah makan. Paling banyak rumah tangga.

Penjualan akan naik ketika ada Sembayang Kubur, Natalan, tahun baru, dan Imlek. Pada momen itu, harga daging lemak seharga Rp 17 ribu, bisa mencapai harga Rp 20-25 ribu. Harga daging murni dari Rp 28 ribu, naik menjadi Rp 30-35 ribu. Begitu pun dengan daging yang terjual. Bila pada hari biasa dapat menjual sekitar 250 kg daging. Maka, pada empat momen itu, jumlah penjualan bisa naik dua kali lipat.

Jumlah pedagang babi ada 24 orang. Mereka terikat dalam Himpunan Pedagang Babi Indonesia (HPBI). Dalam sehari mereka menyembelih 40 ekor babi. Babi diperoleh dari peternakan lokal di Kota Pontianak dan Sungai Ambawang.

Terkadang, harga daging babi kurang stabil. Salah satu penyebabnya, “Peran asosiasi kurang maksimal. Karena para peternak tidak mau masuk asosiasi. Kalau peternak masuk asosiasi, maka harga bisa diatur sama,” kata A Hin.***

Foto by Muhlis Suhaeri, "Imlek Hari ke Lima Belas atau Cap Go Meh di Singkawang."
Edisi Cetak, minggu pertama Januari 2006, Matra Bisnis

Baca Selengkapnya...

Sodokan Setajam Pasarnya

Oleh: Muhlis Suhaeri

Mahalnya permainan biliar, tak membuat surut penggemar bola sodok, menyalurkan kegemarannya. Mereka mendatangi berbagai tempat yang menyediakan fasilitas permainan ini. Antusias pengemar tak disia-siakan. Lalu, muncullah meja biliar buatan lokal, untuk menjawab peluang bisnis itu.

“Yang pesan meja ini banyak. Mulai dari pegawai, polisi, pegawai bank, macam-macamlah,” kata Suhaeri, biasa dipanggil Peli (32 tahun).

Alasan orang membeli meja biliar beragam. Kalau orang kaya, mereka membeli untuk dipakai sendiri. Bagi kalangan menengah ke bawah, meja itu sebagai modal usaha. Biasanya orang memesan meja biliar untuk usaha. Sekali pesan, mereka beli 1 hingga 6 meja. Pemesannya, masih di sekitar Pontianak.


Kalau pun dari kabupaten lain, jumlahnya tidak seberapa. Penjualan meja biliar tidak tergantung musim. Tergantung orang punya keinginan. Nah, ada saat tertentu pesanan makin banyak. Ketika di TV ada musim pertandingan biliar, orang akan antusias membeli meja biliar.

Bisnis pembuatan meja biliar masih memiliki prospek menarik dari segi bisnisnya. Setidaknya, itulah pengakuan Peli ketika wartawan Matra Bisnis menyambangi bengkel pembuatan meja biliarnya di Siantan, Pontianak. Bengkel itu termasuk satu-satunya di Pontianak, dalam pembuatan meja biliar.

Meja biliar berukuran 7 dan 9 feet. Meja 7 feet mempunyai panjang 210 cm, lebar 130 dan tinggi 80 cm. Meja bilyar 9 feet berukuran panjang 270 cm, lebar 140 cm, dan tinggi 80 cm. Yang paling banyak dipesan meja berukuran 7 feet. Orang jarang membeli meja 9 feet, karena mejanya besar dan cara mainnya susah. Harga meja biliar 7 feet antara Rp 3-3,5 juta. Meja 9 feet antara Rp 4-4,5 juta. Harga itu sudah termasuk bola dan 5 stick (pemukul bola).

Kenapa pakai kata antara untuk sebuah harga?

“Kita lihat orangnya juga,” kata Peli. Kalau orangnya baik dari cara bicara dan sikapnya, maka harga bisa dinego. Tapi, bila orangnya sombong dan besar omongannya, dia akan mematok harga tinggi. Kuncinya, pembeli harus pintar melobi. Biasanya transaksi akan terjadi, karena memang butuh. Jadi, dalam masalah harga tidak bisa dibaca. Keuntungan dari membuat meja biliar tidak banyak.

Membeli meja biliar punya banyak alasan. Ada yang memang karena kegemaran. Ada juga sekedar untuk bermain. Salah satunya, seperti dituturkan Alfonsus, wartawan koran harian ibu kota yang mengisi biro Kalbar, “Kebetulan gue bukan penggemar biliar, makanya beli itu. Kalau gue penggemar biliar, tentu akan beli yang bagus. Lain halnya, kalau untuk mobil atau fotografer. Pasti saya akan cari yang terbaik.”

Dia membeli meja biliar buatan Peli, karena selisih harganya cukup besar dengan meja biliar merek Amerika, Murray. Meja merek Murray ukuran 7 feet harganya mencapai Rp 10,5 juta. Alfonsus membeli meja dengan ukuran 7 feet.

Menurut Peli, semenjak Jenderal Sutanto menjabat sebagai Kapolri, pesanan meja biliar menurun drastis. Kebijakan dari atas, tentu saja diturunkan kepada setiap Kapolda. Terkadang orang bertaruh, ketika main biliar. Karena itu, beberapa tempat biliar dan pemainnya pernah ditangkap polisi.

Kapasitas produksi meja biliar tergantung pesanan. Tak ada angka pasti. Dulu, seminggu bisa mengerjakan 5 meja. Sekarang ini, paling 1 meja seminggunya. Bila dulu mempekerjakan 6 orang, sekarang hanya 3 orang. Satu meja biasanya selesai dalam seminggu. Upah bagi pekerja mencapai Rp 300 ribu, setiap mejanya.

“Pertumbuhan bisnis meja biliar mulai naik lagi sekarang,” kata Peli.

Makin banyak orang memesan meja biliar. Beberapa tempat biliar di seputar Tanjung Hulu, Vila Ria, Flamboyan, Hotel Muslim, merupakan meja buatannya. Permintaan dari luar kabupaten mulai naik. Ada juga orang memperdagangkan meja itu.

Pemesan dari luar kabupaten, biasanya membawa meja itu sendiri. Untuk pesanan dalam kota Pontianak, meja akan diantar hingga rumah. Sampai saat ini, pemasaran meja biliar buatan Peli, masih di seputar Kalbar. Namun, pernah ada pedagang membawa dua meja hingga ke pulau Bawean, dekat pulau Madura. Di sana, sang pengusaha membuka permainan biliar.

Model meja biliar buatan Peli, memang tak sehebat meja asli buatan Murray. Meja asli, lantainya dari batu dan pada sudutnya ada besi nikel. Meja buatan Peli lantainya dari bahan lain dan tak ada besi nikel pada sudutnya. Itu saja bedanya. Yang dimaksud batu adalah, alas dari permukaan meja biliar. Di atas batu, barulah diletakkan karpet. Meja buatan peli terbuat dari campuran tepung milk dan berbagai bahan lainnya. Hasil dari berbagai campuran bahan itu, tidak bakal pecah. Kecuali, bila dihantam pakai martil atau sengaja dipatahkan. Kalau pun pecah, bisa disambung lagi dengan bahan yang sama.

Meja biliar dibuat dengan kayu pisang-pisang dan ngabang. Selain kayu, ada triplek dan multiplek. Untuk kaki meja, pembeli bisa meminta berbagai model. Ada model seperti pot bunga atau kotak, dan persegi panjang. Bila Anda sering pindah tempat, kaki kotak merupakan pilihan tepat, karena lebih mudah pengepakannya. Mengenai berat meja secara keseluruhan, Peli tidak pernah tahu hingga kini. Yang pasti, membutuhkan puluhan orang ketika mengangkatnya.

Mengenai kerumitan membuat meja biliar, terletak pada cara mengerjakan bannya. Kalau menempelkan ban ke meja terlalu tinggi, orang akan sakit memukulnya. Bila ban terlalu rendah, bola akan meloncat keluar. Jadi, harus pas mengukurnya. Mengukur sudut meja perlu ketrampilan khusus. Bila tidak, akan susah menggabungkan rangkaian meja. Kunci untuk membuat bilyar adalah ukurannya tepat, katanya.

Kesulitan utama bisnis meja biliar pada pemasaran. Peli tidak mempunyai toko untuk memajang produknya. Karenanya, pembeli tidak dapat melihat meja hasil buatannya. Menitipkan meja bilar pada toko olah raga juga tidak mungkin. Besarnya ukuran meja, akan menyita ruangan toko. Jadi, pembeli datang melalui promosi dari mulut ke mulut. Lokasi bengkelnya hanya diberi penanda dengan tulisan; membuat meja dan menjual biliar. Plang itu dia tempelkan pada gang menuju bengkelnya. Peli tidak pernah memasang iklan di media massa.

Selain meja biliar baru, Peli menyediakan meja setengah pakai. Harga meja itu sekitar Rp 2 juta. Tapi, biasanya orang beli meja baru. Meja setengah pakai, biasanya dilirik pengelola bisnis meja biliar, ketika mereka kekurangan meja.

Ada garansi ketika orang membeli meja biliar. Selama setahun, apabila ada kerusakan, meja akan diperbaiki. Tak ada biaya tambahan untuk itu. “Orang belum ada yang mengeluh, karena kerusakan pada kayu dan meja bilyarnya,” kata Peli. Kerusakan biasanya pada karpet dan ban pemantul sudah mati. Karpet dan ban memang membeli jadi. Sehingga tidak bisa diberikan jaminan.

Menurut pengalamannya, ban biasanya harus diganti setelah 8 bulan. Bila dipakai sendiri, bisa selama bertahun-tahun. Sekali ganti ban, butuh dana sekitar Rp 100 hingga Rp 200 ribu. Harga bola tergantung dengan kwalitas ban. Ban seharga Rp 200 ribu, pantulan bolanya kencang.

Jenis ban ada dua. Ban bentuk L dan A. Ban L tidak kencang dan bentuknya kurang bagus. Orang lebih suka ban bentuk A, karena bentuknya bagus dan modelnya seperti meja biliar merek Murray. Peli menerima pesanan, bila orang ingin mengganti ban.

Cara merawat meja biliar supaya tahan lama, jangan diduduki saja. Selain itu, tidak usah menggunakan tepung ketika bermain. Tepung membuat karpet cepat kotor, dan sulit dibersihkan. Meskipun dengan alat elektrik mesin penghisap debu. Karenanya, disarankan untuk memakai sarung tangan, bila sedang bermain.

Ketika memesan meja biliar, pembeli bebas memilih warna untuk karpetnya. Ada tiga warna; biru, merah dadu, dan hijau. Biasanya orang memilih warna hijau.

Meski bisnis meja biliar sifatnya musiman. Peluangnya tetap ada. “Dari jaman dulu orang sudah main bilyar. Jaman bapak saya sudah ada bilyar. Dan jaman anak saya nanti, mungkin masih ada bilyar,” kata Peli. Ada nada optimis pada kalimat yang dia ucapkan.


Berawal dari Patungan
Peli berasal dari keluarga pembuat mebel. Dia membuat mebel dari SMP kelas 2. Dia lahir pada tahun 1973. Kini, dia sudah berkeluarga dengan dua anak. Kuatnya persaingan dan saling menjatuhkan harga, membuat dia mengalihkan usaha mebelnya. Ketika itu, dia biasa membuat mebel dari kayu chin, atau semacam kayu agatis. Sekarang ini kayu itu jarang ditemui. Karena kesulitan mendapatkan kayunya, penjualannya juga terlalu tipis untungnya, dia banting haluan.

Modal awal ketika membuat meja biliar, Peli melakukannya dengan ngompreng alias patungan dengan kawan. Modal itu pun dengan meminjam orang. Modal Rp 5 juta dibagi dua. Dengan uang itulah, dia mulai membuat meja. Dia mulai membuka usaha pada bulan Maret 2002.

Kenapa tertarik menekuni bisnis ini?

“Karena, orang jarang bisa membuat meja biliar. Ini langka,” kata Peli. Ketika pertama kali ingin membuat meja, dia harus merogoh uang Rp 20 ribu untuk bermain biliar. Peli bukan penggemar, atau pintar main biliar. Selama bermain itulah, dia mulai mengukur dan meraba bentuk fisik meja biliar. Setelah itu, dia mulai menjiplak ukuran meja. Setelah membuat 3-4 meja, dia langsung pandai.

Awalnya meja itu disewakan. Dia menempatkan mejanya di beberapa tempat. Menurut Peli, menyewakan meja biliar dalam sebulan saja, modal bisa kembali. Dengan hitungan, setiap koin seribu. Sekali main biasanya lima koin. Banyak orang berkomentar meja buatannya. Karena itulah, dia mulai menjual mejanya ke beberapa orang. Karena permintaan meja banyak, dia langsung mengembangkan bisnis itu.

Pertama kali membuat kerangka meja biliar dari kayu, blockboard. Blockboard tidak tahan dengan air, karena kalau kena air akan mengembung. Karena ketahanannya tidak kuat, dia beralih ke kayu multiplek. Dari bahan blockboard ke multiplek sekitar 1,5 tahun. Pindah bahan berdasarkan pengalaman sendiri. “Jadi, mengejar mutu. Kalau mutu bagus orderan pasti datang terus,” kata Peli.

Peli mengaku tidak punya kiat khusus menjalankan bisnis ini. Cara menarik dan memuaskan pelanggan, dengan sikap ramah dan membuat barang sebaik mungkin.

Ketika pertama kali membuka usaha pada tahun 2003, Peli pernah mengajukan kredit pada sebuah bank daerah. Peli sudah menyerahkan surat tanah sebagai jaminan. Pihak bank meminta surat kuasa atas tanah itu. Kebetulan, yang dipakai surat kuasa lama atas nama ibunya. Dan ibunya sudah meninggal, sehingga tidak mungkin minta tanda tangan lagi.

Karena dianggap tidak bisa memenuhi syaratnya, pihak bank tidak pernah memberikan kredit modal. Padahal dia sudah memberikan persenan untuk surat menyuratnya. Yang dia minta juga tidak banyak, Rp 5 juta saja. Sejak peristiwa itu, dia tidak pernah lagi mengajukan kredit pada bank.

Makanya, jangan heran bila Anda memesan meja padanya. Dia akan meminta separo dari harga yang telah disepakati. Dengan uang panjar itulah, dia akan membeli berbagai kebutuhan untuk membuat meja.

Rencananya, dia ingin mengembangkan bisnis itu keluar kabupaten atau diluar Kalbar. Tapi, terbentur dengan modal, lahan, dan lainnya. Selain itu, dia juga ingin mendaftarkan meja hasil buatannya ke dinas terkait seperti Disperindag. Semuanya terbentur modal.

“Kita mau membuat hak cipta itu terbentur oleh modal. Tidak ada uang untuk itu. Kalau ada modal, tentu ada model,” katanya.*

Edisi Cetak, minggu pertama Januari 2006, Matra Bisnis

Baca Selengkapnya...

Memaknai Imlek

Oleh: Muhlis Suhaeri

Suatu budaya atau kepercayaan agama, tentu saja tidak absolut untuk dimaknai. Terkadang, dia surut seiring dengan bergulirnya waktu. Pemaknaan pun menjadi tidak rigid. Apalagi, bila kepercayaan dan budaya itu, telah mulai tergusur oleh kepercayaan lain.

Lambat laun, datangnya hari besar suatu agama atau budaya, hanyalah suatu kegiatan yang sifatnya rutinitas dan seremonial belaka. Nah, bagaimana orang memaknai Imlek dan Cap Go Meh, mari kita lihat pendapat seorang tetua dan sesepuh masyarakat Tionghoa, X. F. Asali.


Datangnya Imlek pada tanggal 29 Januari 2006, yang bertepatan dengan tanggal 1 bulan 1 tahun 2557, tahun Imlek Ping Shuk, Shio Anjing, mempunyai makna tersendiri bagi semua kalangan. Lalu, apa dari makna Imlek itu sendiri?

Makna harfiah dari Imlek adalah, bulan penanggalan. Im berarti bulan dan Lek berarti penanggalan. Karena di negeri Tiongkok merupakan negara agraris (pertanian), maka Imlek disebut juga Nung Lek (pertanian penanggalan). Sistem penanggalan Imlek sama dengan penanggalan kalender Islam, yang menggunakan bulan sebagai acuan. Pergerakan bulan dijadikan patokan bagi penanggalan atau biasa disebut lunar kalender.

Ada hal yang membedakan perayaan Imlek di Indonesia dengan Tiongkok. Di Tiongkok, biasanya Imlek dilakukan bertepatan dengan awal datangnya musim semi. Hal itu bisa dimaklumi, karena Tiongkok terdiri dari 4 musim, yaitu; musim semi, panas, gugur dan dingin. Karena negara agraris, tentu saja setiap musim sangat dihitung.

Ini berkenaan dengan, kapan harus mulai menyemai benih, menanam, panen dan lainnya. Kalau tidak dihitung dengan seksama, dikhawatirkan panen akan gagal. Menurut Asali, bagi masyarakat yang tinggal di Indonesia, Imlek tidak ada pengaruhnya. Karena di Indonesia hanya terdiri dari dua musim.

“Tradisi Imlek di Indonesia dibawa masyarakat Tionghoa perantauan, seiring masuknya mereka ke Indonesia, sekitar 300 tahun, lalu. Kalau menurut antropologi sekitar 600 tahun yang lalu,” kata Asali.

Imlek sekarang ini sifatnya hanya tradisi. Apalagi bagi anak muda yang berusia dibawah 40 tahun. Biasanya mereka ini kurang memahami makna dari Imlek.
Tradisi Imlek dirayakan sesuai dengan perayaan musim. Karena di Indonesia tidak ada empat musim, maka perayaan itu bukan menjadi suatu kewajiban. Kalau di Tiongkok, Imlek sangat berpengaruh. Karena itu tadi, berhubungan dengan masalah pertanian.

Menurut Asali yang disadur dari buku karangan Dr Kai Kuok Liang, berjudul Festifal Budaya Tionghoa, Imlek dirayakan sedari zaman Kaisar Huang Ti Yu (2698 SM), dan Kaisar Dinasti Qin (221-206 SM). Kaisar Qin Che Huang bahkan mencatat, bahwa masyarakat telah merayakan Imlek secara merata. Tak hanya itu, perayaan itu juga didasari dengan semangat persatun dan kesatuan bangsa Han.

Ada beberapa benda yang selalu menyertai perayaan Imlek. Benda itu adalah, kertas atau kain merah yang ditulisi kata bijak, mercon, kartu merah ucapan selamat tahun baru, jeruk Bali, dan kue keranjang. Kain atau kertas warna merah yang ditulisi kata bijak, biasanya digantungkan di depan pintu rumah.

Penggunaan mercon sekarang telah dilarang, karena bisa mengakibatkan bahaya. Jeruk Bali biasanya diletakkan di ruang tamu suatu rumah. Tak lupa, kue keranjang sebagai makanan turut dihidangkan pada tradisi Imlek. Semua benda itu merupakan simbol dan mempunyai makna, dan sejarah tersendiri.

Imlek atau Cap Go Meh, bila diatur dengan baik, tentu akan menghasilkan devisa dan menggerakkan perekonomian. Bila tidak, Imlek dan Cap Go Meh tak ada nilainya. Jadi, tergantung bagaimana pemerintah daerah mengembangkannya potensi itu.

“Kalau dari segi ekonomi tidak ada yang menguntungkan sama sekali,” kata Asali. Kecuali, bagi orang yang profesinya membuat naga, membuat kembang api. Bila dipikir, ketika Imleh dan Cap Go Meh, berapa ton dupa dan lilin akan terbakar dan habis. Berapa duit yang terbuang?

Hitung-hitungan sederhananya, untuk sekali sembahyang orang harus menggunakan dupa, lilin, dan kertas sembahyang. Semua peralatan itu dibeli. Minimal sekali beli, Rp 10 ribu. Terkadang ada orang membawa berbagai persembahan seperti ayam, kambing, kepala babi dan lainnya. Semua tergantung kemampuan ekonominya. Total jenderal, sekali melakukan sembahyang orang harus punya uang Rp 50-100 ribu. Seperti juga dalam sembahyang kubur, yang paling sederhana saja, orang harus mengeluarkan Rp 300 ribu untuk satu kuburan.

Bila itu dikalikan dengan jumlah penduduk yang ada, berapa nilainya?

Imlek bagi sebagian orang dianggap membuat uang habis. Selain itu perayaan, dalam 3 hari orang tidak melakukan kegiatan atau usaha. Dengan tidak masuk kerja atau usaha, tentu saja tidak ada pemasukan.

Tiga hari tidak kerja selama Imlek mempunyai cerita tersendiri. Menurut kepercayaan, janganlah orang menghina orang yang rendah. Orang yang rendah seperti penyapu jalanan pun, harus istirahat selama tiga hari. Dulu orang Tionghoa kerja 365 hari. Mereka istirahat dan makan besar hanya 8 kali setahun. Ditambah libur Imlek tiga hari. Yang betul-betul dirayakan makan besar hanya 4 kali. Jadi, dalam satu tahun, masyarakat Tionghoa ketika itu, hanya 7 hari istirahat dari pekerjaan. Dari sini sangat terlihat sekali, bagaimana etos kerja di masyarakat Tionghoa. Pekerja keras dan ulet.

Imlek antara tradisi dan ritual agama memang ada ciri tersendiri. Bagi masyarakat yang masih memegang kepercayaan Tri Darma, Budha, Konghucu dan Taoisme, Imlek mempunyai makna yang begitu penting. Tapi, bagi masyarakat Tionghoa yang tidak lagi memeluk agama lain, Imlek hanya sekedar suatu tradisi.

Namanya juga tradisi. Dilakukan boleh, tidak dilakukan tidak apa-apa. Namun, tradisi saling mengunjungi dan membina hubungan masih tetap dilakukan. tradisi makan kue keranjang dan memberikan angpao juga tetap dilakukan.

Memberi angpao biasanya dilakukan pada malam menjelang tahun baru Imlek.
Makna ampao, diberikan pada malam sebelum Imlek. Yek Sui Chien, tujuannya supaya anak bertambah umur, karena besok ganti tahun, sehingga umurnya bertambah. Ada makna filsafat di sana. Pada tahun baru Imlek, anak tidak boleh meminta uang. Makanya, angpao diberikan duluan. Angpao biasanya diberikan pada keluarga terdekat.

Pada perkembanganya, angpao juga diberikan pada orang lain. Misalnya, atasan pada bawahannya. Angpao tidak bisa ditentukan berapa besarnya. Tergantung pribadi punya kekayaan. Ada orang kaya yang memberi ke semua orang. Imlek bagi generasi muda sekarang seolah-olah hanya mengharap dapat angpao, kata Asali.

Imlek identik dengan kunjungan dan saling mengunjungi. Yang muda pada yang tua. Ada satu filsafat yang harus selalu dipegang berbunyi, chun lao fu yu, artinya, menghormati yang tua dan melindungi yang kecil atau lemah.

Falsafah itu sudah diberikan dan dididik dari kecil. Karenanya, kekerabatan dan fungsi sosial keluarga sangat penting sekali dalam hal ini.

Sekarang ini dengan berkembangnya jaman, sudah banyak perubahan terjadi. Dengan majunya teknologi, pikiran, orang mulai kurang percaya lagi dengan dongeng-dongeng, masa lampau. Imlek, tak ada suatu kewajiban apapun. Imlek hanya menjadi semacam tali silaturahmi saja.

Mengenai tradisi memakai pakaian baru, sepatu baru, atau apapun ketika Imlek, Asali menanggapi. “Hal itu bukan suatu kewajiban, tapi harus,” katanya.

Kalau orang tidak mampu membeli, sebenarnya tidak apa-apa. Tapi karena tradisi, begitu melekat pada masing-masing keluarga, maka Imlek identik dengan sesuatu yang baru. Terutama bagi anak kecil.

Imlek dan Cap Go Meh, memang tergantung kepercayaan seseorang. Bagi orang Taoisme, itu merupakan sesuau yang luar biasa. Karenanya, orang merayakannya dengan berbagai cara, bahkan hingga orang kesurupan. Seperti, tatung. Kalau dari agama Budha tidak ada kesurupan. Bagi orang yang menganut Taoisme, Imlek dianggap sebagai awal atau hari yang baik memulai suatu usaha dan menentukan sesuatu. Seperti, menikah atau memulai suatu kegiatan biasanya dihitung waktunya.

Memang ada sesuatu yang bergeser. Namun, tetap ada yang terlestarikan.*

Edisi Cetak, minggu pertama, Januari 2006, Matra Bisnis.
Foto Lukas B. Wijanarko

Baca Selengkapnya...

Sunday, January 1, 2006

Mendampingi dengan Nurani

KESUMA, kelompok dampingan keluarga yang anaknya terinveksi virus HIV/AIDS

Oleh: Muhlis Suhaeri


“PADA AWALNYA, kita ini seperti terisolasi dari masyarakat. Merasa, kita ini tidak ada manfaatnya. Rasanya, kita ini banyak dosanya,” kata lelaki berkaca mata itu.

Ada nada gugatan pada kalimat yang ia lontarkan. Namun, ada juga kepasrahan. Ya, seperti itulah pikiran pak Udin, 61 tahun, ketika pertama kali diberitahu, anaknya terinveksi HIV (Human Immunodeficiency Virus). Ketika orang terinveksi HIV, akan berpengaruh terhadap pikiran dan perasaan. Orang seolah sudah tahu, kapan kematian bakal menjemput.

Bagaimanapun, ia sempat goncang. Apa kekeliruannya dalam mendidik anak? Dosa apa yang telah ia lakukan? Mengapa cobaan itu ditimpakan padanya? Itulah, lontaran pertanyaan di benaknya, menyikapi peristiwa yang menimpa anaknya. Sebagai orang tua, tentu ia merasa sedih.


Orang yang pertama kali memberitahu anaknya terinveksi HIV, adalah anak itu sendiri. “Pak, karena saya menggunakan jarum suntik, saya tertular HIV,” kata anaknya. Ia tahu anaknya pengguna narkoba. Karena itu, ia merehabilitasi anaknya di Jakarta. Butuh waktu 14 bulan. Anak itu menjalani pendidikan di Jawa.

Selepas menjalani rehabilitasi, anaknya sering ikut pelatihan dan seminar mengenai HIV dan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Anak itu bisa memberikan penjelasan padanya. Dokter dan ahli mengenai HIV/AIDS, juga memberikan penjelasan langsung. Dari sanalah ia tahu, bahwa ODHA (orang dengan HIV/AIDS), bisa hidup normal. Virus tersebut ada obatnya. Tidak membunuh virus, tapi memperlambat laju pertumbuhan virus.

Kakak si ODHA, bisa memahami dan menerima kenyataan. Ya, wajar dan biasa saja. Anaknya yang lain tahu, bahwa keluarga harus memberikan perhatian. ODHA memerlukan perhatian khusus, bukan kasih sayang khusus.

Pada awalnya berat. Secara bertahap bisa menerima. Waktu untuk melakukan penerimaan sekitar tiga bulan. Pada akhirnya, semua keluarga di rumah mendukung dan menerima. Sekarang ini, anaknya sudah minum obat ARV (antiretroviral). Keluarga selalu mengingatkan, kapan harus minum obat. Istri dan ibunya, selalu mengingatkan.

Lingkungan sekitar rumah belum tahu kondisi anaknya. Kuatirnya, bukan mendapat kebaikan, mungkin malah mudharat. Bisa dibayangkan, pemahaman yang belum tahu. Para medis saja, terkadang masih melakukan diskriminasi. Secara perlahan, udin memberikan pengertian secara bertahap kepada kerabat dan keluarga besar lainnya. Dalam memberikan pemahaman, tentu harus selektif. Kerabat itu harus punya wawasan, sehingga bisa menerima penjelasan. Yang dianggap belum ada wawasan, ia menahan diri untuk memberitahu. Ia menjelaskan tentang, apa itu HIV/AIDS, bagaimana cara penularan, pencegahan dan perawatannya.

Kini, Udin, menjadi Sekretaris Kesuma, organisasi pendampingan bagi keluarga ODHA. Keikutsertaanya dalam Kesuma, lahir dari sebuah perjalanan panjang.

Awalnya, ia diundang mengikuti workshop mengenai HIV/AIDS oleh Dinas Kesehatan Propinsi Kalbar. Narasumber acara itu, para mantan pemakai narkoba, dokter dan ahli tentang HIV/AIDS. Dari berbagai pemaparan, ia mengambil hikmah. Betapa pentingnya mensinergikan antara anak, orang tua dan pemerintah, untuk menghadapi orang terkena narkoba atau HIV/AIDS. Ia tidak bisa sendiri. Maka, ada kesepakatan membentuk kelompok dampingan untuk keluarga ODHA. Yang diberi nama Kesuma, singkatan dari Keluarga Sehat untuk Semua.

Alasan utama pembentukan Kesuma, ada rasa saling kebersamaan menanggung masalah bersama. Mereka punya anak yang ketergantungan dengan Napza (narkotika dan zat adiktif lainnya). Pemakai Napza beresiko terhadap HIV. Dan korban Napza maupun HIV, membutuhkan perhatian dan dukungan. Dukungan paling besar berasal dari keluarga. Karenanya, orang tua berhimpun. Ada latar belakang sama. Membicarakan satu masalah sama. Berbagi pengalaman, serta getir perihnya punya anak ketergantungan Napza dan HIV/AIDS.

Awalnya, ia merasa ada keraguan. Apakah perkumpulan itu bisa berjalan. Setelah berjalan sekitar 6 bulan, ia mulai merasakan bahwa kelompok dampingan itu, makin menemukan jati dirinya. Dari berbagai pertemuan yang dilakukan, ia makin tahu, betapa banyak masalah mesti diketahui sebagai OHIDA (orang hidup dengan ODHA).

Dalam setiap pertemuan dengan anggota Kesuma, ia melihat, mendengar dan merasakan, berbagai permasalahan tentang ODHA. Ada tangisan dan kepedihan mendalam. Ada semangat untuk saling berbagi dan mendukung. Namun, semua cerita itu berhenti di ruang pertemuan. Ketika selesai pertemuan, para anggota punya kesadaran tidak membicarakan permasalahan keluar. Alasannya, bisa menimbulkan masalah dan fitnah.

Ia mendapat banyak masukan dan tantangan. Dan tantangan itu memang nyata. Terutama stigma dan diskriminasi. Orang tua sangat merasakan hal itu. Misalnya dengan dokter. Ada kalanya dokter menutup jalan keluar suatu masalah dengan Napza atau ODHA.

”Nah, dengan adanya Kesuma, mereka menjadi terbuka,” kata Udin.

Yang pasti, ia merasa tidak sendiri lagi. Ia ingin melakukan sesuatu ke depan. Saling memberi informasi, mendukung, tukar pengalaman dan mengeluarkan unek-unek. Setelah bertemu dengan keluarga lain, ia merasa hidup lagi. Tidak perlu meratapi masalah, bicara kepedihan atau kesedihan lagi. Tapi, harus bicara kedepan. Ia harus berpikir, bagaimana yang lebih baik. Dan ternyata banyak orang berempati terhadap hal itu.

Menurutnya, latar belakang keluarga dan pendidikan, turut berpengaruh terhadap aktifnya seseorang di Kesuma. Namun, tidak mutlak. Yang pasti, hati nurani memegang peranan penting. Keluarga berpendidikan tinggi, belum tentu ikut dan aktif di Kesuma. Ada orang pendidikannya tinggi, tapi karena punya sifat tidak peduli, mereka tidak mau ikut. Contohnya? Salah satu contoh, ketika ia mendatangi pejabat tinggi di Kalbar. Dari awal hingga akhir bicara mengenai masalah HIV. Tapi, pejabat itu tidak mau menanggapi. Padahal, ada satu anaknya terinveksi HIV.

Ia tidak mau memaksakan masalah. Yang terpenting, silaturahmi. Ia selalu menekankan hal itu. Ada berbagai alasan, keikutsertaan seseorang di Kesuma. Ada orang tua yang peduli. Namun, karena kesibukannya luar biasa, sehingga tidak terlalu aktif. Jadi, ia melihat, pendidikan dan kesibukan seseorang. Yang membuat mereka bisa aktif atau tidak di Kesuma. Ia kebetulan sudah pensiun. Jadi, punya waktu luang. Selain itu, ia ingin melakukan sesuatu untuk kemanusiaan, sosial dan ibadah. Itulah motifasi yang membuatnya ikut Kesuma.

Selama melakukan pendampingan, ia merasa belum ada pengalaman berat. Tapi, biasanya perasaan dan hatinya yang kena. Harusnya, ajal belum menjemput ODHA. Tapi, harus melepas mereka. Ada kenyataan seperti itu. Seandainya, mereka mengetahui dari awal, mungkin hal itu bisa lebih diselamatkan. Bukan berarti ia ingin melawan kehendak Tuhan. Bukan.

Ia berpikir, perlu ketulusan, keihlasan dalam memahami hal ini. Itu yang penting. Baik dari pihak pemerintah atau lainnya. “Tanpa keihlasan akan sulit untuk melakukan hal itu,” kata Udin.


BEBERAPA ORANG sedang berbincang. Mereka terlihat akrab. Satu orang sedang mengetik di komputer. Lainnya, berbincang tentang program yang akan dibuat. Suasana dinamis meliputi pertemuan. Itulah kondisi kantor Pontianak Plus Support (kelompok dukungan sebaya). Kesuma juga berkantor di sana. Kantor keduanya masih menyatu. Kesuma dan Pontianak Plus merupakan satu mitra, melakukan pendampingan terhadap ODHA dan OHIDA.

Kantor itu berupa kamar dengan luas sekira tiga kali lima meter. Di dalamnya berisi seperangkat komputer dan printer. Berbagai poster menempel pada dinding bercat putih itu. Pada satu sisi dinding, sebuah kertas karton hitam menjadi tempat menempel berbagai post card dan foto.

Bangunan itu mulanya garasi mobil. Hanya ada beberapa pancang kayu menjadi pembatas. Kini, telah bertembok bata. Pembangunannya sumbangan dari seorang anggota Kesuma dari Singkawang. Ia memberikan bahan bangunan, semen dan lainnya. Kebetulan, ia pemborong bangunan.

Kehadiran Kesuma lahir dari sejarah panjang. Pada 1999, sudah ada beberapa orang mengajak para pecandu narkoba, membicarakan masalahnya. Garis besar permasalahan adalah, kenapa masalah ketergantungan obat tidak kunjung tuntas. Lalu, muncul Kelompok 12 Langkah, pada 2000. Kelompok ini merupakan para pecandu yang ingin berhenti dari ketergantungan narkoba. Mereka berkumpul dan saling bantu. Itu semacam terapi kelompok. Tapi, Kelompok 12 Langkah belum ada pengawasan.

Para jungkies mengusulkan, dibentuknya pusat rehabilitasi ketergantungan narkoba di Pontianak. Dr Benny Ardjil merespon hal itu. Ia dokter dan Kepala Rumah Sakit Jiwa Pontianak. Ia mengurus berbagai syarat bagi pusat rehabilitasi. Dia juga yang melatih dan membentuk tenaga medisnya. Akhirnya, terbentuklah Wisma Sirih, pada 2002.

Kesuma awalnya merupakan perkumpulan orang tua. Yang anaknya menjadi pecandu narkoba dan sedang direhabilitasi di Wisma Sirih. Pada perkembangannya, isu yang merebak dan lebih berbahaya adalah HIV. Kesuma menjadi kelompok dampingan bagi keluarga ODHA. Alasannya, kalau sudah mencakup hal yang lebih sulit, faktor pecandu juga akan tertangani. Jadi, ada dua masalah terselesaikan. Yaitu, masalah pecandu dan HIV/AIDS.

Pada Juli 2004, Dinas Kesehatan Kalbar bekerja sama dengan Pontianak Plus mengadakan workshop mengenai HIV/AIDS di Pontianak. Workshop mengundang ahli HIV/AIDS. Acara dihadiri OHIDA, Dinas Kesehatan Kalbar, dokter dari Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Prof. Samsuridjal Jauzi dari RS Kanker Dharmais, Jakarta, menghadiri acara tersebut.

Dalam workshop itu, sepekat membentuk kelompok dampingan bagi ODHA. Ketika itu, muncul usulan berbagai nama dari peserta. “Justru dari keluarga-keluarga yang hadir banyak nama dan singkatan yang keluar. Tapi, akhirnya nama Kesuma yang dipilih,” kata Dr. Ayie Sri Kartika, dari Instalasi Pemulihan Ketergantungan Napza RS Marzoeki Mahdi, Bogor. Dr Ayie mengusulkan nama Kesuma. Usulan diterima. Alasannya, Kesuma tidak sekedar nama bunga. Tapi punya arti, Keluarga Sehat untuk Semua. Audien yang hadir merespon dan setuju.

Pada awalnya, Kesuma terdiri dari 8 keluarga, dan 6 dari unsur medis maupun pemerhati HIV/AIDS. Kesuma terbentuk pada 28 Juni 2004. Sekarang, Kesuma mempunyai anggota 48 keluarga. Diantaranya, ada 3 keluarga dari Singkawang. Dari sanalah dibentuk kepengurusan sederhana.

Kesuma merupakan perkumpulan atau paguyuban. Bukan organisasi hirarkis dan berbadan hukum. Kesuma membawa kesetaraan dan kebersamaan. Motto dan semangat itu yang diciptakan. Kesuma mencoba memotifasi, bahwa hidup seseorang tidak berakhir, ketika terinveksi HIV.

Tidak ada syarat formal menjadi anggota. Yang penting, ada kesadaran menghadapi masalah sama, dan menanganinya. Keanggotaan Kesuma tidak hanya orang tua yang anaknya kena HIV/AIDS. Tapi juga masyarakat. Tentunya, mereka yang punya pendirian, konsekwen dan memelihara etika. Artinya, mesti menjaga kerahasiaan anggota. Anggota Kesuma terdiri dari keluarga ODHA, medis, dan pemerintah. Mereka berasal dari berbagai kalangan. Ada mantan pejabat, dokter, dosen, pengusaha, dan orang Dinas Kesehatan. Tidak semua anggota aktif. Alasan pekerjaan, kesehatan, membuat anggota tidak sepenuhnya aktif. Dan hal itu bisa dimaklumi.

Kepengurusan Kesuma terbentuk secara spontan pada acara workshop. Tidak ada model calon atau dipilih orang tertentu. Pokoknya langsung dipilih oleh peserta. Pemilihan berlangsung secara demokratis. Hasil pemilihan menempatkan H. Syarif Toto Thaha Alkadrie sebagai ketua. Kesuma mempunyai wakil ketua, sekretaris, wakil sekretaris, bendahara dan wakil bendahara. Dalam kepengurusan, ada empat nama perempuan dan dua lelaki.

Ada beberapa alasan, mengapa peserta memilih Toto. Selama workshop berlangsung, ia aktif berbicara. Figurnya meyakinkan menjadi ketua. Selain itu, kekuatan dan jalur hubungannya luas. Dengan modal itu, diharapkan ia dapat memimpin dan menembus berbagai permasalahan. Yang bakal dihadapi Kesuma, kelak.

Toto pernah menjadi anggota DPR, dan Ketua DPD Partai Golkar Kota Pontianak. Tapi, bukan karena Golkar-nya, ia dipilih. Anggota Kesuma tidak bicara masalah itu. Alasan lain, bagi masyarakat Pontianak, umumnya sudah mengenal sosok Toto. Jadi, alasan memilihnya positif saja. Alasan memilih perempuan sebagai Wakil Ketua Kesuma, supaya ada kebersamaan. Peran perempuan sangat penting dalam kelompok dukungan.

Uniknya, kepengurusan pada setiap pertemuan Kesuma, tidak terlalu mutlak ditonjolkan. Semakin banyak anggota sanggup dan mampu menjadi motifator, semakin baik. Kesuma sebagian besar anggotanya mengalami musibah, karena anaknya ODHA. Tentunya, beda dengan organisasi yang anggotanya sehat lahir dan batin. Mereka merasakan perihnya hidup sebagai OHIDA.

Kesuma mempunyai pertemuan rutin tiap bulan sekali. Pertemuan berupa arisan keluarga di rumah tiap anggota secara bergilir. Biasanya dilaksanakan pada minggu pertama setiap bulan. Kesuma mengundang peserta melalui undangan. Waktu pelaksanaan acara, biasanya dari pukul 16.00-18.00. Pertemuan mendadak juga bisa dilakukan. Misalnya, bila ada anggota Yayasan Spiritia, Jakarta. Atau, bila ada ahli mengenai HIV/AIDS berkunjung ke Kalbar.

Sebelum pertemuan, biasanya dimulai dengan doa bersama. Doa tidak ada yang memimpin, karena anggota berasal dari berbagai agama. Doa dipanjatkan bagi mereka yang telah meninggal, dan kesehatan ODHA. Acara kedua, biasanya pengumuman tentang ODHA yang mendapat prestasi, menikah atau lainnya.

Di pertemuan, setiap anggota melakukan tukar pengalaman. Mereka bisa juga langsung tanya pada dokter atau ahli. Yang memang diundang di pertemuan. Masalah yang ditanyakan biasanya seputar kesehatan ODHA. Seperti, bagaimana mengatasi frustasi karena terinfeksi HIV, diare, kulit melepuh hitam karena obat, badan demam setelah minum obat, diare, kapan harus minum obat ARF dan lainnya. Setiap pertemuan, biasanya dihadiri sekitar 60 persen anggota. Kalau ada anggota baru, dilakukan perkenalan. Dalam pertemuan terkadang tidak ada materi. Jadi, tukar pendapat saja.

Pertemuan merupakan wadah mengeluarkan berbagai permasalahan. Sebab, membuka berbagai ruang tidak mudah. Untuk mengajak orang datang ke pertemuan juga sulit. Ini memerlukan proses dan seni berkomunikasi. Orang tidak bisa langsung masuk, dan bicara mengenai HIV/AIDS.

“Itu yang dapat saya petik. Adanya suatu ruang komunikasi. Yang merupakan kesempatan dari suatu minat para keluarga ODHA,” kata Toto.

Bagi calon anggota baru, biasanya diajak melalui pertemuan. Setelah kenal, percaya, baru bisa menjadi anggota Kesuma. Yayasan Spiritia Jakarta memberi dukungan dengan cara, memberi kesempatan pada anggota Kesuma, menghadiri pertemuan di berbagai propinsi. Hal itu sebagai langkah untuk membuka wacana dan pengetahuan. Kesuma juga melakukan berbagai kunjungan ke rumah sakit.


KESUMA TERBENTUK karena adanya penyalahgunaan Napza dalam keluarga mempunyai dampak sangat berat. Namun, di satu sisi, keluarga juga kurang memahami perilaku pecandu. Berangkat dari itulah, para orang tua, pemerhati dan medis, sepakat membentuk kelompok yang diberi nama Kesuma Family Support.

Kesuma mempunyai visi membebaskan pecandu dari ketergantungan Napza, lewat pendekatan. Menjadikan kwalitas hidup ODHA sejajar dengan masyarakat umum, juga salah satu tujuannya. Selain itu, kehadiran Kesuma ingin menghilangkan rasa kesendirian, keputusasaan, dan kepedihan keluarga. Yang menjadi pecandu maupun berstatus ODHA. Menghilangkan rasa kesendirian, caranya dengan mengunjungi ke rumah keluarga ODHA. Dengan cara itu, mereka merasa tidak sendiri.

Dalam menjalankan misinya, Kesuma memberdayakan mantan pecandu. Pemberdayakan dilakukan pada ODHA, untuk lebih semangat menjalani hidup normal dan sehat. Ketika satu keluarga menjadi korban Napza, maupun OHIDA, Kesuma melakukan pendampingan dan memberikan keyakinan pada keluarga tersebut. Bahwa, hidup masih bisa berjalan seperti biasa. Keluarga diberi keyakinan, supaya dapat menerima kenyataan dan menjalani kehidupan. Sehingga bisa menatap masa depan lebih baik.

Kesuma melakukan penanggulangan terhadap HIV/AIDS secara aktif. Caranya, dengan memberi berbagai akses informasi dan rujukan tentang pemulihan pecandu, dan pengobatan untuk ODHA. Dan yang terus dilakukan adalah menghapus stigma dan diskriminasi, baik kepada pecandu maupun kepada ODHA/OHIDA. Cara menjembatani informasi, dilakukan dengan memberi berbagai pengetahuan dan pelatihan.

Dalam menjalankan programnya, Kesuma selalu melakukan pengembangan, pemberdayaan, dan pendampingan. Entah itu, secara individu maupun kelompok. Pengembangan dan penguatan kelompok dilakukan melalui kelompok dukungan keluarga (family support). Penyebaran informasi mengenai HIV/AIDS dan Napza, dilakukan dengan mengembangkan pusat informasi. Berbagai acara dan penggalangan dana, juga dilakukan melalui acara amal. Tak ketinggalan, Kesuma selalu melakukan peningkatan ilmu pengetahuan kepada anggotanya.

Pada awal perkembangannya, Kesuma membuat jaring-jaring kerja. Mulailah diskusi dengan berbagai dinas pemerintah, rumah sakit rujukan, dan LSM yang peduli terhadap pelayanan obat-obatan HIV. Secara pelan, Kesuma membina hal itu. Dalam melakukan kegiatannya, Kesuma mempunyai mitra, Dinas Kesehatan Propinsi Kalbar, RSU Sudarso Pontianak, RSU Antonius Pontianak, RS Khusus Ali Anyang Pontianak, Spiritia Jakarta, dan Yayasan Pontianak Plus.

Kesuma mempunyai logo, jalinan pita merah dan biru yang ditengahnya terdapat bunga. Pita warna biru melambangkan pemerhati narkoba. Pita warna merah melambangkan pemerhati HIV. Pada bagian atas, terdapat garis coklat menyerupai atap rumah. Atap melambangkan rumah dan tempat perlindungan. Dan, bunga di tengah mengandung harapan, bahwa keindahan, kesehatan sangat diperhatikan. Dalam rumah tangga sehat, akan dihasilkan kehidupan dan generasi sehat.

Seiring bergulirnya waktu, Kesuma berkembang lebih luas lagi. Kesuma tidak hanya memperhatikan OHIDA, tapi juga ODHA. Memang diperlukan dukungan dari keluarga kepada ODHA. Itupun masih terjadi stigma kepada keluarga.


KEHADIRAN KESUMA tidak bisa dipisahkan dengan makin meluasnya penyebaran HIV/AIDS di Kalbar. Keprihatinan itu muncul, seiring dengan makin besarnya jumlah orang terinveksi HIV, karena berbagai sebab.

Berdasarkan data dari Departeman Kesejahteraan Rakyat (Kesra), hingga Agustus 2006, jumlah penderita AIDS di Indonesia sebesar 11.165 orang. Di Kalbar? Kalbar digolongkan sebagai kelompok 16 propinsi prioritas dalam masalah HIV/AIDS. Terhitung hingga Juli 2006, Kalbar menempati urutan ke 6 terbesar di Indonesia. Urutan itu tergantung dari berapa kecepatan data yang masuk ke pusat. Jadi, masalah urutan tergantung yang melaporkan berapa. Urutan dihitung berdasarkan jumlah penderita dan jumlah penduduk suatu wilayah.

Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kalbar, Dr. Oscar Primadi, M. Ph, “Masalah HIV/AIDS tidak bisa dipisahkan dari fenomena dan permasalahan krusial yang terjadi. Baik dilihat dari segi aspek demografisnya, mobilitas penduduknya, pesatnya angka kelahiran dan pertambahan penduduk.”

Makin pesatnya pola dan longgarnya norma sosial, turut berpengaruh dan memberi dampak pada masalah kesehatan. Pada akhirnya, HIV/AIDS bukan lagi penyakit yang diderita orang perorang. Tapi, sudah mengarah dan terjadi secara cluster. Jadi, dalam satu keluarga, bisa terdapat beberapa orang. “Hal ini, membuat kita harus melakukan kewaspadaan. Apalagi melihat perhitungan estimasi dari Departemen Kesehatan pada 2003, Kalbar bisa mencapai 3.000 orang ODHA,” kata Oscar.

Sebanyak 5021 orang telah melakukan VCT (Voluntary Counseling and Testing) dan tes HIV 4787. Dari angka itu, sebanyak 489 orang positif HIV. Namun, yang minum ARF 184 orang. “Sekarang ini yang minum ARV memang sedikit, karena tidak semua yang HIV minum obat. Tahun ini targetnya 250 orang,” kata Mur Achmadi, S.Pd, Provincial Project Officer on AIDS Kalbar. Ia orang Dinas Kesehatan Kalbar, yang khusus menangani masalah HIV/AIDS. Dia juga yang turut membentuk Pontianak Plus dan Kesuma. Menurutnya, jumlah kumulatif HIV/AIDS sejak tahun 1993 hingga Juli 2006 sebanyak 841. Diantaranya 72 telah meninggal.

“Saat ini, penyebaran HIV/AIDS yang paling besar adalah melalui hubungan seks berganti-ganti pasangan. Penyebab ini, berkejar-kejaran dengan IDUs, angkanya,” kata Rizal, dari Global Fund.

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kalbar, dari 841 penderita HIV/AIDS, 423 berasal dari kelompok heteroseksual. Dari jumlah itu, 312 positif HIV dan 111 AIDS. Pengguna narkoba jarum suntik 120. Yang positif HIV 120 orang, dan AIDS 65 orang. Homoseksual, HIV 85 orang, dan AIDS 33 orang. Tak diketahui penyebabnya 86 orang. Yang positif HIV 86 orang, dan AIDS 13 orang. Sisanya melalui biseksual, perinatal, dan tranfusi darah.

Kenapa faktor seks sangat besar? Karena berhubungan dengan faktor geografis Kalbar. Yang bisa dijangkau dari berbagai sisi oleh negara lain. Kalau pecandu, tentu mereka butuh penyaluran seks. Akibatnya, bisa menular.

Nah, Kesuma terbentuk karena adanya kesadaran dari orang tua, memberikan pengetahuan pada orang tua yang belum tahu tentang HIV/AIDS. Kesuma menyampaikan program pemerintah berkaitan dengan HIV/AIDS. Program itu misalnya, pelayanan VCT, pengobatan gratis, dan lainnya. Kesuma memberikan advokasi pada orang tua. Yang anaknya ODHA. Kesuma membangun pemberdayaan di kalangan keluarga ODHA. Melakukan pendekatan orang tua dengan orang tua. Metodenya, pendekatan personal sesama orang tua.

Ada beberapa kesulitan awal menangani ODHA. Pertama, keterbukaan dan pengakuan diri. Kebanyakan mengalami ketakutan dan trauma dengan kondisi yang dihadapi, karena divonis HIV. Mereka tidak mau disalahkan, malah menyalahkan orang lain. Kedua, masalah lingkungan. ODHA takut dikucilkan lingkungannya. Belum lagi, jika mereka menghadapi terapi obat. Bila ODHA telah minum obat ARF, selamanya ia harus minum obat. Terkadang mengalami resistensi obat.

Hal spesifik yang bisa dilihat dari ODHA, terutama IDU’s sangat kompak dan dekat. Kalau ODHA waria, dekat dengan siapa pun.

Metode mengatasi trauma dan masalah lingkungan, melalui metode pendampingan. Bahwa, ketika orang terinveksi HIV, bukanlah akhir dari segalanya. Cara menjalani hidup, tetap ada. ODHA tidak sendiri. Ada orang lain peduli. Intinya, mendekati ODHA harus dengan empati. Mereka bisa hidup berdampingan dengan orang lain.

Manfaat dan keberadaan Kesuma, dirasakan bagi keluarga ODHA. Salah satunya Rolink, 36 tahun. Sehari-hari ia bekerja di Yayasan Budha Darma Indonesia, sebagai tenaga pembina, khususnya generasi muda. Daerah tugasnya meliputi Kota Singkawang dan Kabupaten Ketapang.

Ketika anggota keluarganya terinfeksi HIV, ia merasa masa depan seolah menjadi suram dan tidak berdaya. Dari tugas yang dijalani, ia melihat dan mengamati langsung anak muda terinveksi HIV. Ia pernah mengunjungi rumah sakit yang menangani HIV/AIDS. Dari sanalah, muncul sebuah kepedulian dan keikutsertaan secara pribadi.

“Ini berkaitan dengan masa depan Indonesia,” kata Rolink.

Apa jadinya, kalau persoalan ini terus terjadi dan semakin meluas? Tentu akan menimbulkan banyak korban. Tentu sangat memprihatinkan, kata warga keturunan Tionghoa ini, dengan mimik serius.

Ia merasakan sekali, ketika adiknya dirawat selama belasan hari di salah satu rumah sakit Jakarta, pada 2004. Setelah melihat realitas itu, muncul sebuah pemikiran di benaknya, bahwa suatu usaha harus dilakukan.

Semenjak anggota keluarganya menjalani perawatan, ia mencari berbagai informasi mengenai HIV/AIDS dari internet, majalah, koran dan lainnya. Semua informasi untuk memperkaya dan memperluas wawasannya tentang HIV/AIDS. Sehingga, ia dapat memberikan dukungan dan penanganan lebih maksimal. Ia juga mencari organisasi yang berhubungan dan peduli dengan HIV/AIDS di Pontianak. Dari seorang teman, ia mendapatkan nama Kesuma dan Pontianak Plus. Kebetulan teman tersebut aktif di Kesuma.

“Jadi, saya menemukan tempatnya di Kesuma,” kata Rolink.

Ia merasakan betul manfaat menjadi anggota Kesuma. Misalnya, ketika anggota keluarganya menghadapi masalah berkaitan dengan infeksi oportunistik (IO). Infeksi ini muncul, karena sistem kekebalan dan pertahanan tubuh tidak bisa mengatasi bakteri, jamur atau virus di tubuh. IO merupakan salah satu tahap dari HIV ke AIDS. IO yang paling umun adalah infeksi paru, kanker kulit, infeksi mempengaruhi mata, dan kandidiasis atau infeksi jamur pada mulut, tenggorokan dan vagina.

Nah, Kesuma atau Pontianak Plus, memberikan penjelasan, informasi, cara menangani, dan tenaga medis mana yang cocok dan biasa menangani HIV/AIDS. Ia juga pernah mendapatkan penjelasan mengenai obat ARF, ketika anggota keluarganya mau memakai obat itu.

Di Kesuma, ia dapat saling tukar pengalaman, informasi, memberikan dukungan, merajut kebersamaan dan mengatasi masalah. Suatu masalah, bila diselesaikan secara bersama, akan terasa lebih ringan, tentunya. “Permasalahan HIV/AIDS harus dihadapi bersama dan secara terbuka. Dengan cara itu, penanganan dan pencegahannya akan lebih gampang,” kata Rolink.

Dalam melakukan kegiatannya, Kesuma bekerja sama dengan berbagai dinas pemerintah, Pontianak Plus, dan institusi yang peduli penanganan HIV/AIDS. Bahkan, organisasi PBB seperti ILO (International Labour Organisation), menawarkan pinjaman usaha. ILO menawarkan kredit usaha bagi ODHA dan keluarganya. Tapi, Kesuma menanggapi tawaran dengan hati-hati. Bagaimanapun, kredit harus dibayar. Apalagi bila dana itu tidak bisa dipertanggungjawabkan. Pada akhirnya, bakal susah melakukan kerja sama dengan institusi lain, dikemudian hari.

Keterbatasan tenaga menjadi kendala tersendiri di Kesuma. Karenanya, ada agenda meningkatkan kemampuan beberapa pengurus, maupun anggota. Pelatihan merupakan kebutuhan dan dukungan bagi ODHA. Selain itu, Kesuma terus menambah kontak orang dalamnya, sehingga jejaringnya terus bertambah. Yang perlu dicontoh dari Kesuma adalah masalah pemberdayaan.

Kesuma mengkordinasikan ODHA dengan dinas kesehatan dan rumah sakit. Rumah sakit rujukan menggunakan ODHA sebagai pendamping, atau manager proyek. Kesuma menarik semacam pengacara, ketika ODHA mendapat masalah. Misalnya, suatu instansi mengeluarkan ODHA dari tempat kerjanya.

“Kesuma sudah terbukti dan teruji berakselerasi dengan berbagai lembaga, institusi dan lainnya,” kata Toto, Ketua Kesuma. Benarkah demikian?

Mur Achmadi, dari Dinas Kesehatan Kalbar mengemukakan, “Mereka sangat berperan dalam berbagai kerja pendampingan kepada OHIDA.” Kesuma melakukan kerja apa adanya. Tidak dengan unsur paksaan. Perjuangan Kesuma menghilangkan berbagai stigma, sudah cukup terbukti di lapangan. Kesuma ingin menyakinkan masyarakat, bahwa orang tidak boleh membedakan ODHA. Entah itu dari segi pelayanan, maupun keberadaannya.

Tri Yoga Vontiano, 28 tahun, Case Manager VCT RSU Sudarso, Pontianak menuturkan pengalamannya tentang Kesuma. Sebagai seorang manager kasus, ia biasa menangani berbagai masalah menyangkut penanganan narkoba, ODHA dan lainnya. Pekerjaannya mendengarkan masalah orang, mengarahkan, dan memberi jalan keluar, sesuai dengan cara yang ia ketahui.

Ia biasa jalan sendiri menangani berbagai kasus tersebut. Ada beberapa kasus bisa selesai, ketika ia menangani. Tapi, ada juga beberapa kasus tidak tertangani. Contohnya pada 2005, ia mendatangi suatu keluarga ODHA. Ia menjelaskan berbagai permasalahan yang dialami anak keluarga tersebut. Namun, keluarga itu tidak mau mendengar apa yang bicarakan. Mungkin, keluarga itu menganggap, ia masih muda.

Nah, ketika menemui jalan buntu, ia mencari langkah penyelesaian lain. Kalau orang tua, biasanya lebih bisa menerima omongan orang tua. Ia minta bantuan pada anggota Kesuma. Melalui orang tua, keluarga ODHA bisa menerima.

Ada satu peristiwa lagi bisa menjadi contoh, pentingnya keberadaan Kesuma. Suatu ketika klien Yoga meninggal dunia. Kebetulan orang tua si ODHA sudah meninggal, dan tinggal abangnya. Ketika meninggal, ODHA mengalami pendarahan di sekujur tubuhnya. Keluarga ODHA tidak ada yang berani memandikan. Peristiwa pemusalaran jenasah itu terjadi sekitar Oktober 2005. Tidak semua keluarga bersikap seperti itu. Tapi, setidaknya dari 10 kasus, ada 2 kasus muncul.

Wawar, 28 tahun, menuturkan pengalamannya tentang Kesuma. Ketika ia mendapat perawatan di rumah sakit, Kesuma membantu menyelesaikan berbagai permasalahan. Terutama menyangkut kondisinya sebagai ODHA. Menurutnya, Kesuma bagus untuk menjaga anak, supaya tidak terlibat lagi dengan narkoba. Di Kesuma belajar bagaimana mengatasi anak, belajar psikologi anak, dan lainnya. Banyak orang tua trauma, sehingga mereka membuat perkumpulan itu.

Ketika Wawar sakit, ibunya mendapat undangan untuk hadir pada acara Kesuma. Tapi, karena ibunya sedang tidak sehat, tidak bisa menghadiri undangan itu. Sekarang ini, istri Wawar belum tahu tentang Kesuma. Istrinya tertarik dengan Kesuma. Tapi, belum ada undangan ikut rapat, atau kegiatan Kesuma.

“Kekurangan Kesuma, karena yang bergerak para orang tua, terkadang tidak ada pengeraknya,” kata Wawar. Jadi, tidak ada koordinator dan menjadi penggerak bagi kegiatan itu.

Meski demikian, seorang OHIDA, belum tentu tahu keberadaan Kesuma. Sebut saja Wahyu, 29 tahun. Ia tidak tahu tentang Kesuma. Kalau ada undangan atau ajakan dari Kesuma, dengan senang hati akan bergabung. Alasannya, dengan cara itu, mungkin ia bisa membantu kedua adiknya. Ia ingin menambah pengetahuan tentang HIV/AIDS. Menurutnya, karena Kesuma sifatnya langsung ke orang tua, akan lebih bagus. Namun, sebelum masuk Kesuma, ada syarat harus ia ketahui.

“Tentu saya harus tahu dulu, apa kegiatannya. Visi dan misinya. Dan ingin lebih tahu, arah dan tujuannya kemana,” kata Wahyu.

Kalau memang bagus, tidak menutup kemungkinan, ia akan mengajak orang tuanya terjun langsung ke Kesuma. Ia ingin adiknya mendapat dukungan dari keluarga. “Sekarang ini, semua keluarga belum tahu, kecuali saya,” kata Wahyu, menanggapi status adiknya. Ia ingin memberitahu status adiknya pada keluarga. Tapi, ia belum tahu, bagaimana caranya. Ia ingin sekali membantu adiknya, supaya keluarga tahu semua. Meski demikian, ia juga merasa kuatir, nanti keluarga malah shock.

“Kalau semua keluarga tahu, tentu dukungan akan semakin kuat pada adik. Kebetulan keluarga sibuk semua. Sehingga untuk kumpul dan membicarakan masalah itu, belum ada kesempatan,” kata Wahyu dengan penuh harap.


PADA 2003, orang melakukannya komunikasi, informasi dan edukasi terhadap HIV/AIDS, dengan cara door to door. Tak jarang pengusiran kerap menimpa orang bersangkutan. “Kawan pun turut mengusir,” kata Hermia Fardin, Ketua Pontianak Plus. Ia biasa dipanggil Mia, dan menyebut dirinya ODHA berdaya.

“Sebelum terinveksi virus HIV, hidup saya tidak teratur dan amburadul. Boros, dan hidup tidak sehat,” kata Mia. Jadi, hal-hal yang berhubungan dengan ketidakdewasaan. Ia tidak patuh. Juga tidak mendengar nasehat orang tua. “Selalu menipu. Dan, berbagai hal itulah yang tidak ingin saya terapkan kembali,” kata Mia.

Ketika terinveksi HIV, ia mendapat perawatan di Jakarta dengan sistem therapeutic community. Itu terapi pemulihan bagi pecandu narkoba. Sesama pecandu membantu pecandu yang lain. Dimana pola pikir dirubah, prilaku dirubah, spiritual dirubah, hal-hal yang menjadi kebiasan dirubah. “Dan orang tua saya juga membantu. Semua keluarga besar membantu saya dalam masa penyembuhan,” kata Mia.

Menurutnya, sebagian besar orang tua mendukung penanganan terhadap HIV/AIDS. Cuma, orang tua tidak sepenuhnya tahu tentang hal itu. Seorang anak tidak mungkin memecahkan masalahnya sendiri. Anak butuh bantuan. Dan bantuan yang pertama kali diminta adalah dari orang tua.

“Orang tua inilah yang mendukung dan memberi support pada kita. Orang tua menjadi ujung tombak dalam mendampingi ODHA,” kata Mia.

Ia dan ODHA pada umumnya, sering mendapat diskriminasi dari masyarakat. Ada temannya dimasukkan kandang ayam oleh keluarga sendiri, karena mereka takut tertular HIV. Begitupun ketika ia ingin membentuk kelompok dampingan sebaya, Pontianak Plus. Teman sendiri mengusirnya. Namun, pengalaman paling pahit adalah banyak teman yang meninggal akibat HIV/AIDS.

Pengalamana sama juga dialami Wawar. Ketika pertama kali terinveksi HIV dan mendapat perawatan di rumah sakit, ia merasa terdiskriminasi. Ruangan dan peralatan makan sendiri. Ia merasa tertekan. Semua suster yang merawatnya, menggunakan penutup hidung dan sarung tangan. Masyarakat melakukan diskriminasi.

Bahkan, salah satu koran daerah, harian Equator, memberitakan dirinya sebagai orang yang terinveksi HIV. Ketika berita itu tersiar, sebagian besar lingkungan tinggalnya tahu. Bahkan, teman pergaulan semasa kuliah, banyak yang langsung memeriksakan diri dengan tes HIV.

Bagaimana hubungan dengan pacar, setelah ia tahu kena HIV? Justru, pacarnya itulah yang pertama kali mengantar ke rumah sakit. Setelah tahu, Wawar mempersilahkan pacarnya untuk memilih. Tetap bareng dengannya, atau meninggalkannya. Pacarnya memilih tetap dengannya.

Wawar punya pengalaman memberi pencerahan pada keluarga calon istrinya. Ia bicara pada calon mertuanya mengenai apa itu HIV/AIDS. Ia memberikan buku tentang HIV/AIDS. Ia minta calon mertua membaca buku itu. Wawar berpesan, bila kurang jelas atau tidak tahu, supaya tanya padanya. Mertuanya tanya pada Wawar beberapa kali, ketika tidak tahu mengenai sesuatu di buku itu. Setiap yang ia tidak tahu, selalu tanya pada Wawar. “Ini maksudnya apa, War?”

Setelah merasa saatnya tepat, Wawar dan calon istri datang ke rumah calon mertuanya. Ia langsung melamar. Apa jawaban orang tua itu pada Wawar?
“Yang menjalani hidup kalian berdua.”

Ya, akhirnya, lamaran diterima. Wawar menikah pada Juli 2006. Ketika kabar itu tersiar pada temannya, berbagai pertanyaan muncul.
“War, kok kamu bisa nikah?”
“Bisalah. Kan itu hak kita. Kita ini diciptakan Allah dengan berpasangan.”

Istrinya sampai sekarang belum siap diajak tes HIV. “Kalau kau nyaman. Setelah kena HIV, ada kehidupan baru. Semangat timbul lagi,” kata istri Wawar.
Keluarga besar mertua, seperti paman, bibi dan lainnya tidak tahu, kalau Wawar kena HIV. Yang tahu hanyalah keluarga di rumah, seperti ayah, ibu, adik dan kakaknya.

Yang paling berperan memberi semangat ketika Wawar sakit adalah orang tua perempuan dan keluarga. Terutama pacarnya. Ibunya selalu menerima keadaan Wawar. “Kalau itu memang kehendak Allah, ya, harus diterima,” kata ibunya.
Ia merasa beruntung punya keluarga pengertian.

Menurutnya, paling kasihan ketika ODHA tidak diterima orang tuanya. Bahkan, saat ada orang terdeteksi HIV di rumah sakit, orang tuanya langsung meninggalkan dan tidak merawatnya. Akhirnya, si ODHA meninggal dunia di rumah sakit. Setelah itu, keluarganya baru datang mengambil jenasahnya di rumah sakit.

Wawar lebih mendekatkan diri pada Allah. Menjalankan salat dan perintah agama. Dulu, mana ingat dengan hal itu. Pokoknya badung, terus. Main obat, dan lainnya. Omongan orang tua tidak pernah didengar. Setelah kejadian, ia baru sadar.

“Ini ibaratnya, peringatan dari Allah,” kata Wawar.

Sekarang ini, kegiatannya membantu kawan bila mereka butuh obat atau bantuannya. Misalnya, kawan kesulitan mencari obat, atau mendapatkan perawatan. Biasa juga mencarikan darah bagi teman yang butuh darah transfusi. Wawar kerja di Global Fund sebagai tenaga dampingan bagi ODHA.

Dalam melakukan pendampingan, ia selalu memberi informasi mengenai HIV/AIDS, akibat orang menggunakan narkoba, dan memberikan buku pelatihan. Cara tersebut cukup efektif memberikan penyadaran. Selain itu, menyerap berbagai informasi di masyarakat, merupakan satu cara efektif melihat permasalahan HIV/AIDS. Namun, kerap kali anggota Kesuma, Pontianak Plus atau pendamping, kesulitan menghadapi kondisi di lapangan.

Rolink punya pengalaman tersendiri, ketika merespon isu di masyarakat. Tahun lalu, ketika tugas ke Singkawang, ia mendengar ada ODHA di sana. Ia mendengar berita dari mulut ke mulut. Singkawang kota kecil. Ketika ada orang terinveksi HIV, informasi itu cepat tersebar dan menjadi perbincangan. Rolink menyerap informasi itu. Secara pribadi, ia memberanikan diri mendatangi alamat rumah si ODHA.

Kebetulan si ODHA adalah ibu rumah tangga. Perempuan itu punya masalah cukup berat. Suaminya meninggal karena AIDS. Dari perkawinannya, ia punya tiga anak. Selain itu, ia harus menghadapi kenyataan, bahwa dirinya ODHA. Ia tertular dari suaminya.

Ketika bertemu, Rolink berbagi pengalaman dengan perempuan itu. Lalu, cara apa yang ia lakukan, ketika berbicara dengan perempuan itu pertama kali?

“Kita tidak bisa mengharapkan orang lain untuk terbuka dulu dengan kita. Maka, saya yang mulai membuka diri, dan bercerita tentang masalah saya,” kata Rolink.

Ia berkata pada perempuan itu, dalam menghadapi masalah HIV/AIDS, jangan terlalu memikirkan diri sendiri, bahwa dirinya ODHA. Tapi, harus berpikir, bahwa mereka sedang menghadapi masalah itu. Jadi, harus berani berpikir dan melakukan sesuatu, selanjutnya apa. Sembari berbincang, Rolink melihat respon dan ekspresi orang yang diajaknya bicara. Perempuan itu tersentuh hatinya. Akhirnya, ia mulai cerita tentang masalahnya.

Selanjutnya, Rolink mengajak perempuan tersebut, mengikuti seminar HIV/AIDS di salah satu biara di Kota Singkawang. Pesertanya para pelajar di Kota Singkawang. Perempuan itu cukup antusias mengikuti seminar. Rolink mengenalkan perempuan itu ke Pontianak Plus. Sekarang ini, ibu muda itu menjadi aktifis dan tenaga andalan dalam masalah HIV/AIDS di Kota Singkawang.

Menurut Rolink, kendala utama seseorang tidak terbuka dalam masalah HIV/AIDS adalah soal aib, dan rasa malu. Ketika seseorang membuka diri dan statusnya, mereka berpikir, orang lain akan menilai, dan menjauhi dirinya. Tiba-tiba, ODHA menjadi sosok mahlug menakutkan.

Penanganan ODHA pada akhirnya, kembali pada setiap pribadi. Dalam arti, kalau ODHA punya semangat hidup besar, dia akan menghadapi permasalahan dengan penuh semangat, energi dan optimisme. Tapi, bila ODHA pasrah dan pesimis dengan hidupnya, pendampingan tidak akan membuahkan hasil.

Ketika melakukan pendampingan, Rolink tidak mendapatkan dana operasional dari Kesuma. Ia memahami dan maklum adanya. Kesuma organisasi keluarga. Jadi, untuk program dan tunjangan fasilitas, tidak ada. Sifatnya suka rela. Ia terjun ke lapangan atas inisiatif sendiri. Tapi, perkembangan apa saja, tetap ia sampaikan ke Kesuma. Ia menghubungkan jaringan ODHA di Singkawang pada Kesuma dan Pontianak Plus.

Selama ini, ia melakukan pendekatan lebih pada lembaga non formal. “Kalau ke pemerintah masih hanya sebatas wacana. Belum sampai tahap terjun langsung ke lapangan atau apa,” kata Rolink.

Hal itu dibenarkan Udin. Kesuma telah melakukan beberapa kali pertemuan dengan unsur pemerintah, seperti, menteri kesehatan, gubernur, kepala dinas kesehatan, dan KPA. Biasanya tanggapan pejabat ketika pertemuan sangat bagus. “Tapi, tindak lanjutnya tidak ada,” kata Udin . Ia tidak tahu, apakah karena pejabat yang ada dibawah kurang sambung, atau apa. Namun, tidak mau berburuk sangka.

Menurutnya, kesulitan mendasar Kesuma melakukan pendampingan adalah, kembalinya si anak dalam jerat narkoba. Nah, bila anak telah ODHA, adalah mengenai pemakaian obat ARF. Kehidupan tidak teratur, tentu berimbas pada pemakaian obat ARF. Bila ODHA tidak teratur dalam memakai obat, tubuhnya akan melakukan penolakan. Sekali saja ia berhenti minum obat, maka obat itu tidak akan berfungsi lagi. Ia harus ganti obat jenis baru.

Nah, ketika kondisi seperti itu terjadi, Kesuma tidak bisa berbuat terlalu jauh. Kesuma hanya menginformasikan, seandainya ada orang ketergantungan obat, bagaimana menanganinya, prosedur mendapatkan obat, atau mengakses obat lebih mudah.

Kesulitan lain misalnya, bila ada keluarga di rumah sakit tidak mau menerima anaknya yang ODHA. Kesuma tidak bisa memaksakan diri bicara dengan orang tua si ODHA. Kesuma mencari paman atau anggota keluarga lain yang bisa diajak bicara. Langkah berikutnya adalah mencari alamat atau nomor telpon yang bisa dihubungi. Dalam pembicaraan awal, ia tidak akan bicara mengenai HIV/AIDS. Tapi, bicara mengenai narkoba misalnya. Langkah itu yang harus diperhatikan. Setelah ketemu, ia akan berbincang, sehingga sampai pada taraf perbincangan mengenai penyakit.

Butuh seni berkomunikasi yang baik, ketika berbincang dengan OHIDA atau ODHA. Ada cara tersendiri. Tidak semua orang bisa melakukannya. Kemampuan berkomunikasi diperoleh melalui tukar pendapat dan pengalaman, serta dari berbagai informasi dari narasumber.

Meski fungsinya cukup strategis, Kesuma lemah dari segi pendanaan. Untuk menjangkau daerah dan melakukan pendampingan, tentu saja perlu dana operasional. Kesuma dapat dana dari Yayasan Spiritia Jakarta, Rp 1,5 juta perbulan. Pada tahun 2006, Pemprov Kalbar memberi dana Rp 5 juta, setahun. Baru tahun ini, dana dikucurkan. Sebelumnya tidak pernah ada. Kesuma masih berusaha mendapatkan sumber dana lain.

“Selama ini, kita memang tidak ada dana dukungan dan operasional. Selain itu, pemerintah seharusnya memberikan dana dukungan bagi LSM yang bergerak dalam bidang HIV/AIDS,” kata Toto, Ketua Kesuma.

Selain faktor internal, masalah juga muncul dari pihak dari luar. Misalnya dari pihak kesehatan. Medis masih melakukan berbagai diskriminasi terhadap ODHA. Lalu, apa tanggapan dinas kesehatan menyikapi hal tersebut?

“Soal diskrimasi memang kita akui. Ada hal-hal yang bisa saja terjadi,” kata Oscar Primadi, Kadis Kesehatan Kalbar.

Ada kewaspadaan terhadap masalah HIV/AIDS. Ada kaedah mesti dilakukan. Ada kewaspadaan dini di kesehatan. Ia sudah memberi berbagai pemahaman kepada petugas kesehatan. Pemenuhan kebutuhan standar minimal juga dilakukan. Misalnya, penyediaan kebutuhan rumah sakit. Seperti, sarung tangan dalam bekerja, dan lainnya. Hal itu secara pelan dipenuhi.

Oscar melihat, HIV/AIDS harus dihadapi. Tapi, bukan berarti, melakukan tindakan pemecatan terhadap petugas. Yang dianggap melakukan tindakan tidak disiplin. Bila menemukan petugas melakukan diskriminasi, ia memanggil petugas tersebut dan memberi berbagai arahan. Ada pentahapan. Tidak serta merta dipecat. Merubah sesuatu yang sulit harus bertahap.

Meski begitu, toh, tidak ada dana kucuran dari dinas kesehatan pada Kesuma. “Masalah pendanaan memang tidak kita dukung. Dan kita berharap mereka bisa mandiri,” kata Oscar.


HINGGA KINI, keberadaan Kesuma sebagai kelompok dukungan bagi keluarga ODHA, telah banyak dirasakan manfaatnya. Meski demikian, keberadaan Kesuma masih sebatas orang tertentu saja yang mengetahui. Dari kelompok dukungan atau manager kasusnya saja.

“Masyarakat umum, kurang bisa menembus Kesuma,” kata Yoga. Tapi, ia menyadari, bahwa anggota Kesuma terdiri dari orang tua. Mungkin, mereka harus kerja untuk cari nafkah. Dan ia mengerti kondisi itu.

Menurutnya, pentingnya dukungan keluarga terhadap ODHA, membuat peran Kesuma lebih dibutuhkan. Lebih aktif lagi. Sekarang ini, informasi tentang Kesuma tidak terlalu menyebar. Kesuma harus lebih mensosialisasikan diri.

Ketua Kesuma mengakui hal itu. “Selama ini Kesuma mengendap, bukan berarti jalan di tempat. Tapi, Kesuma bersinergi dengan pers, dan mencoba membuka ruang-ruang publikasi melalui jurnalis di media cetak atau elektronik,” kata Toto.

Ia menganggap sudah waktunya melakukan itu. Kenapa? Pertama, Kesuma sudah membuat kekuatan di organisasi. Kedua, Kesuma secara bergantian mengikuti pelatihan yang dilakukan Yayasan Spritia. Baik itu mengenai perawatan, workhsop, dan berbagai kegiatan lainnya. Kesuma mengikuti terus kegiatan tersebut. Hasil kegiatan dilakukan bagi pengembangan dan menjabarkannya di lingkungan Kesuma.

Kesuma berkeinginan dan berorietasi pada lain daerah. Ada keinginan memperluas jangkauan pada keluarga ODHA. Untuk itulah, Kesuma ingin mempercepat kemampuan SDM anggotanya. Sebab, makin banyak jangkauan yang bisa dibantu, Kesuma semakin dilihat orang.

Hermia Fardin mempunyai pendapat tersendiri tentang Kesuma, “Banyak juga dari orang tua yang kurang paham mengenai organisasi, belum ada dana, dan mereka tidak punya gaji di Kesuma. Sehingga ketika menangani jadi tidak maksimal.”

Drs. H. Syakirman, Ketua KPAD (Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Daerah), sekaligus Sekda Kalbar, meminta Kesuma kerja sama dengan pemerintah dan memberikan masukan. Ada harapan, Kesuma lebih terbuka. “Dengan keterbukaan, pemerintah bisa mengambil berbagai langkah,” kata Syakirman.

Sekarang ini, Kesuma programnya dianggap hanya kumpul dan arisan saja. Makin bertambahnya kasus HIV/AIDS di Kalbar, tentu membutuhkan peran lebih besar bagi Kesuma. Karenanya, program Kesuma harus lebih berfariasi, dan tidak sekedar arisan keluarga. Semoga. ***

Edisi cetak ada di buku; 22 Jurnalis Bicara Mengenai Perempuan, Orientasi Seks, dan HIV/AIDS. Penerbit LP3Y-Yogyakarta
Fotografer : Lukas B. Wijanarko

Baca Selengkapnya...