Sunday, May 7, 2006

Wayang Gantung Singkawang di Ambang Senja

Kompas/Haryo Damardono

Kelompok Wayang Gantung Shin Thian Chai dari Singkawang, Kalimantan Barat, tampil pada Festival Barongsai di GOR Pangsuma, Pontianak, akhir Oktober 2006. Gonggongan anjing yang gencar menghalangi langkah mendekati kuil tua. Tanpa penghuni kuil yang kebetulan saat itu sedang bepergian, bukan mustahil kami dikoyak anjing penjaga boneka-boneka wayang gantung Singkawang itu.

Demikianlah, pupus harapan melihat lagi boneka wayang gantung Singkawang, sekitar 180 kilometer dari Pontianak. Di kuil tua itu, dalam kotak kayunya, boneka-boneka wayang gantung pernah disembunyikan selama 30 tahun karena rezim Orde Baru mengebiri kebudayaan Tionghoa.


Beruntung, kami telah melihat pertunjukan wayang gantung itu di Gedung Olahraga Pangsuma, Pontianak, Kalimantan Barat. Kami terkesima walaupun tidak mengerti jalan cerita yang dituturkan dalang dalam bahasa Kek (salah satu bahasa daerah China).

"Wayang gantung dibawa ke Singkawang dari China daratan pada tahun 1929. Pertama kali dibawa kakek saya, A Jong. Dia cari uang dari pergelaran keliling wayang gantung," kata generasi ketiga dalang wayang gantung, Chin Nen Sin, yang usianya di pengujung 60 tahun.
Di Desa Lirang, Singkawang selatan, di kediamannya yang sederhana, kami berbincang dengan Chin Nen Sin. Percakapan dibantu A Hui, kerabat dekat Chin Nen. A Hui-lah yang menerjemahkan ucapan Chin Nen, yang menggunakan bahasa Kek.

Kediaman Chin Nen Sin hanya 200 meter dari kuil tua itu. "Mirip di Jawa," kata teman perjalanan, penulis lepas, Muhlis Suhaeri, mengomentari suasana sekitar itu. Kediaman Chin Nen dikelilingi sawah dan kebun palawija, dinaungi bebukitan Singkawang. Ketika itu udara sejuk karena hujan baru saja reda.

Kami makan ubi, hasil berkebun Chin Nen, suguhan yang jarang ditemui bila bertamu ke kediaman warga Tionghoa di Jakarta. Namun, di Singkawang bertani adalah hal biasa bagi warga Tionghoa. Mereka bahkan bukan petani kaya, tetapi petani gurem.

Jika tidak memainkan wayang gantung atau musik kecapi, Chin Nen memang beralih jadi petani. Kebutuhan air sawah terjamin, sebab di bukit yang terletak di belakang kediaman Chin Nen ada mata air. Terkadang Chin Nen mengisi waktunya dengan membuat lampion dan kemudian menjualnya.

"Cerita wayang gantung dibawa dari China. Ada cerita ksatria, ada pula percintaan. Kebanyakan cerita klasik, berdasarkan penuturan para tetua atau didongengkan dari ibu ke anak," ujar Chin Nen.

Bila main di toapekong, pada perayaan ulang tahun dewa atau panglima perang, biasanya tuan rumah minta cerita klasik. Sebaliknya, di ulang tahun perkumpulan tertentu disajikan cerita yang "ringan" sesuai dengan keseharian.

Kini, sesuai dengan permintaan, cerita dimodifikasi. Kisah kehidupan rumah tangga maupun percintaan berlatar lokasi di Singkawang dinilai mengena. Ini mirip kesenian wayang kulit; agar menarik penonton, mengadopsi campur sari. Wayang gantung pun terkadang menampilkan biduanita yang membawakan lagu-lagu mandarin.

Modifikasi cerita wayang gantung sesungguhnya mereduksi makna positif berbagai kisah. Sebab, kisah China klasik mengandung nilai-nilai Taoisme, falsafah Konfusisme-yang dikenal sebagai nilai kebijaksanaan. Modifikasi apalagi kematian wayang gantung dapat menyebabkan "terlepasnya" generasi muda Tionghoa dari ajaran yang arif.

Berkurang
Menurut Chin Nen, harus diakui, penggemar wayang gantung sangat berkurang kini. Paling tersisa generasi tua. Saat Imlek atau Cap Go Meh (hari ke-15 Imlek), ketika orang China Singkawang dari seluruh dunia pulang kampung, barulah permintaan pertunjukan melonjak.
"Kebanyakan yang minta pertunjukan orang-orang tua yang sudah bungkuk-bungkuk dan pakai tongkat. Mereka itu tinggal di Jakarta dan kota-kota lain. Ketika pulang, lalu rindu masa kecil mereka," kata Chin Nen menceritakan.

Alasan utama generasi muda tidak lagi suka wayang gantung adalah budaya pop China daratan maupun Hongkong dianggap lebih keren. Tekanan rezim Orde Baru selama 30-an tahun pun diperkirakan telah mengalienasi budaya itu dari kaumnya. Kaum muda Singkawang yang lahir pada tahun 1980-an tidak lagi akrab dengan wayang gantung.

Saat ini memang terjadi reformasi budaya China di seluruh Kalimantan Barat, tetapi motor penggeraknya orang-orang tua yang mapan. Ada berbagai motivasi. Ada yang tulus, ada pula sekadar menunjukkan eksistensi di kalangan Tionghoa.

"Kami punya 30 boneka wayang, semuanya dari China. Entah dari kayu apa, tetapi tidak lapuk maupun dimakan rayap. Paling dicat ulang. Lalu ketika bajunya koyak, kami jahit atau dibuatkan baju baru," ujar Chin Nen menjelaskan.

Sekali tampil-beda dengan wayang kulit yang membawa semua wayangnya-biasanya hanya dibawa 10 boneka, sesuai dengan jalan cerita. Ada boneka bentuk dewa, panglima perang, bangsawan, kaum China terpelajar, maupun rakyat biasa. Ada boneka lelaki, ada pula boneka perempuan.

Wayang gantung dimainkan dengan bantuan benang. Ini berbeda dengan wayang kulit yang dimainkan dengan memegang kayu, wayang Po Te Hi yang dimainkan dengan sarung tangan, atau wayang golek yang dimainkan dengan memegang boneka wayang.

Jika pernah melihat sampul album film The Godfather yang dibintangi Marlon Brando dan Al Pacino, seperti itulah wayang gantung. Boneka dijuntai benang yang dikaitkan di kayu lalu digerakkan dua tangan.

Muhlis sangat tertarik dengan korelasi wayang gantung dan sampul album boneka gantung The Godfather itu. Namun, di Singkawang, kami tak mendapat jawaban mengenai hal itu. Hanya saja, dalam buku Gavin Menzies, 1421: Saat China Menemukan Dunia, disebutkan bahwa kebesaran armada laut Cheng Ho mengenalkan budaya itu ke Eropa.

Tiada beda dengan dalang wayang kulit yang menggelar sesajen sebelum tampil, dalang wayang gantung pun merapal mantra China kuno terlebih dahulu, dibarengi dengan mengorbankan ayam jago. Jika lalai, dikhawatirkan-dan pernah terjadi-benang bisa kusut dan boneka sulit dikendalikan. Tak jarang pula dalang kerasukan roh "leluhur".

Butuh waktu 5-6 bulan untuk mahir memainkan wayang gantung. Dalang juga perlu keahlian untuk adegan berkelahi dan barongsai. Sebab, perpindahan benang bukan saja dari tangan kanan ke tangan kiri, tetapi juga persilangan tangan antardua atau lebih dalang.

Umumnya wayang gantung dimainkan oleh dua hingga empat dalang. Meski demikian, satu pertunjukan membutuhkan 12-14 orang, termasuk pemusik dan pengatur permainan.

Dalam konteks ini, kebanyakan pemain adalah kerabat Chin Nen. Sekali tampil mereka dibayar Rp 2,6 juta sampai Rp 3 juta. Honor itu selanjutnya dibagi kepada semua personel. Dalam setahun kelompok tersebut hanya mendapat 4-6 kali panggilan. Artinya, kegiatan itu tidak bisa dijadikan andalan keluarga. Karena itu, mereka umumnya juga harus bertani.

Tiga perkumpulan
Sebelum dilarang oleh penguasa Orde Baru, ada tiga perkumpulan wayang gantung di Singkawang. Kini tinggal satu. Selain surutnya penggemar, mandeknya regenerasi jadi momok.
Dari sembilan anak Chin Nen (lima laki-laki dan empat perempuan), hanya satu yang aktif membantu penampilan wayang gantung itu. Amoi itu pun hanya memainkan alat musik, bukan memainkan wayang.

Yang lebih memprihatinkan, hingga kini belum ada penelitian Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak tentang wayang gantung Singkawang. Buku Peta Wayang di Indonesia (1993) dan Direktori Seni Pertunjukan Tradisional (1998/1999) keluaran Departemen Pariwisata juga tidak mencantumkan budaya wayang gantung itu.

Tampaknya wayang gantung Singkawang ini sudah di ambang senja....

Edisi Cetak, KOMPAS, edisi 05/07/2006

Baca Selengkapnya...

Monday, May 1, 2006

Dalam Maut dan Puisi

Tiga kali seminggu cuci darah. Kebiasaan yang sempat melumpuhkan hidupnya.

Oleh: Muhlis Suhaeri

waktu aku mencari pintu, ibu, semua
kunci kau terbangkan ke langit.
aku tak tahu, di situlah rumahku
menciptakan riwayat. yang kuperduli,
langit segera mendung, setelah kemarau
menyimpan mimpimu dan hutan
terbakar di hatimu; hujan pun tiba
seakan pahlawan purba lahir
untuk mendakwa kehadiran kita:
“itu airmatamu, ibu!”


Lelaki itu meliuk di atas panggung. Tubuhnya seolah mengambang. Terbang. Dia kitari panggung, sebuah buku di tangan kirinya. Ia membaca bait demi bait puisi, sampai akhirnya terdengar vokal menggelegar, memenuhi ruang. Totalitas yang terasa ekspresif.

Di belakang lelaki itu, puluhan pemain latar berbaris acak. Koor berpadu, bersautan, membentuk irama.


Lampu warna jatuh memijari panggung. Kadang redup, kadang terang, silih berganti. Rambut yang licin dan klimis itu berbinar cahaya redup lampu menawarkan imaji-imaji bebas tafsir.

Tak berapa lama, suaranya mulai berat. Serak dan tercekat. Tenaganya seperti menghabis. Pucat menggurat parasnya.

Radhar Panca Dahana, lelaki itu, sedang memimpin latihan kelompoknya, Teater Kosong, di Gelanggang Olah Raga (GOR), Bulungan, Jakarta Selatan. Ini bagian dari pementasan kumpulan puisinya berjudul Lalu Batu.

Radhar tak ingin puisinya sekedar dibaca. Ia hendak melengkapinya dengan berbagai elemen teatrikal, mulai tata panggung hingga komposisi musik. Bahkan, pembacaan puisi dengan dramatisasi adegan gerak, yang diarahkan seorang sutradara. Radhar menyebut pementasan itu dramatic reading.

Pementasan itu terdiri atas lima babak dengan menghadirkan dua puluh empat puisi. Babak pertama, puisi dedikasi. Kedua, puisi-puisi sosial. Ketiga, puisi religius dan spiritual. Keempat, puisi dengan tiga atau empat baris. Pengarang menyebutnya puisi embun. Kelima, pembacaaan dua puisi andalan untuk mengantar penonton pulang.

Bagi Radhar, seluruh puisi tersusun melalui perenungan tentang Indonesia. Orang kian mengeras hati dan pikirannya, sehingga tidak luwes, dan kaku dalam menyikapi perkembangan hidup. Bangsa yang mengeras. Konflik yang keras. Peradaban membeku. Jadi batu.

Usai pertunjukkan, semua pemain bergegas ke belakang panggung. Nampak seorang wanita bertubuh subur memberikan tutup termos berisi air dingin kepada Radhar. Wanita itu bernama Evi Aprianti. Ia istri Radhar.

“Racunnya sudah mulai naik. Mulutnya bau sekali,” kata Evi, mengomentari penyakit suaminya. Mereka langsung bergegas ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) untuk cuci darah.

Radhar telah lama mengalami gagal ginjal.


RADHAR mementaskan Lalu Batu di Yogjakarta, Malang, Bandung dan Bali. Tahun lalu, ia mementaskannya di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ).

Ia menyebutnya sastra yang berdiri sendiri. Ini genre baru. Ia ingin menunjukkan, semua karya sastra mempunyai peluang untuk dikomunikasikan dengan khalayak, melalui cara yang berbeda. Tentunya lain dengan cara cetak, film atau deklamasi.

Ia punya alasan untuk itu. Masyarakat Indonesia, katanya, memiliki tradisi menonton lebih kuat dibanding membaca. Bila masyarakat sudah dekat dengan pertunjukkannya, mereka akan mendekatkan diri, dan ada keinginan untuk membaca sastranya.

Untuk mempersiapkan pertunjukkan, biasanya Radhar menabung tenaga. Selama dua sampai tiga bulan, ia tidak melakukan kegiatan apa pun. Ketika jadwal pertunjukkan sudah mulai, awalnya ia memakai perawat dari RSCM. Tapi, karena di RSCM banyak yang cuti, Radhar dibantu oleh Rani dan Ratna. Keduanya aktif berteater di Bulungan. Selain mengagendakan pertunjukkan, mereka juga mengurusi keperluan Radhar. Mulai kebutuhannya, sampai rumah sakit rujukan untuk cuci darah.

Mulanya, mereka ketar-ketir dengan tugas yang akan diemban. Dalam bayangannya, bagaimana menghadapi si kepala batu seperti Radhar? Kesulitan lain, tentunya, seputar kesehatan Radhar sendiri.

“Kondisi Radhar, terlalu senang salah, terlalu capek juga salah,” tutur Ratna.

Pernah Ratna harus merasa jantungnya berhenti. Ada adegan Radhar harus menjatuhkan diri ke matras dengan badan telentang. Saat itu matras tidak tepat di depan Radhar. Semua orang menarik nafas. Kuatir.

“Ya, Allah, Engkau yang Maha Tahu dan Maha Kuasa,” kata Ratna, memanjatkan do’a. Seluruh kru pementasan serasa lemas menyaksikan kondisi itu. Saat menjatuhkan diri, badan Radhar agak miring. Karenanya, sekitar pinggang ke atas, jatuhnya di matras. Bila tidak, mungkin situasinya akan lain.


NO EXCUSE. Itu kalimat khas Radhar yang tak bisa dilupakan Ratna dan Rani. Radhar tidak berkompromi bila ada orang meninggalkan pekerjaan atau latihan. Apapun alasannya. Ia melaksanakan disiplin baja.

Rik A. Sakri, teman main teaternya sejak tahun 1980-an, membenarkan. “Kalau ada yang telat latihan lima menit. Orang itu akan disuruh naik pohon. Kalau tidak naik akan disabetin, kayak STPDN kali,” kata Rik sambil menunjuk sebuah pohon besar di samping sasana tinju Bulungan, Jakarta Selatan.

Meski begitu, banyak juga yang telat dan menerima hukuman. Radhar selalu membuat orang yang latihan tidak lengah dan harus kritis. Contohnya, saat istirahat karena capai. Ia akan teriak, ayo latihan lagi, dan orang harus siap.

“Memang, yang paling lemah di bangsa kita adalah masalah disiplin,” kata Radhar suatu ketika.

Rik sendiri jadi ngeri melihat latihan seperti itu. “Tapi dia tidak, dan dia tega. Ketika malam pertujukkan hasilnya tidak mengecewakan untuk sebuah kerja kolektif,” kata Rik.

Itu sekitar tahun 1986. Kebetulan Rik sebagai sutradara, dan Radhar supervisi.

Beberapa kali Rik pisah, karena tidak setuju dengan metode Radhar dalam latihan. Setelah menyelami, Rik bisa menerima metode. “Sikap yang dilakukan Radhar, berguna tak hanya dilatihan, juga dikehidupan sehari-hari,” kata Rik.

Meski selalu mengkritik, Radhar tidak pernah menjatuhkan sebuah karya. Karena, selain mengkritik, ia juga memberi jalan keluar. “Di balik penentangan yang dia lakukan, sebenarnya dia men-support.”

Dalam satu hari, Rik bisa melihat dua buku berbeda dibaca Radhar. Ke manapun, ia selalu membawa buku. “Yang saya salut dari dia, buku karangan orang dia baca, dan isi buku itu jadi seperti milik dia,” tutur Rik.

Edo, seorang panitia pementasan Lalu Batu di Malang, menuturkan pengalamannya bekerja bersama Radhar. “Mas Radhar tidak suka dengan anak muda yang tidak punya semangat. Dia selalu memberi semangat pada anak muda untuk berkarya dan bergerak.” kata Edo. Ia mengatakan banyak belajar dari Radhar.

Setelah sekian tahun berkarya, ada sekitar 30-an naskah drama yang ia tulis dan sutradarai, mulai Gamang (1983), Pembunuh Misterius (1984), Metamorfosa Kosong (1989), Le Monde est Temps (1998), hingga Janz Aspari (2000).

Beberapa kumpulan puisi telah dirampungkan; Simfoni Dua Puluh (1985), Lalu Waktu (1994), Gnjar dan Leungli (1995), Lalu Batu (2002). Esai-esainya, terkumpul menjadi satu dengan judul Homo Theatricus (2001). Buku yang telah dirilisnya, Ideologi dan Teater Modern Indonesia (2001), Dusta dan Kebenaran dalam Sastra (2001), dan Menjadi Manusia Indonesia (2001). Yang akan segera terbit Refleksi Kaum Intelektual Indonesia (sosiologi), dan Kolam Bangsa dan Televisi, Media dan Kita (esai).

Tak heran, sebuah stasiun TV di Jepang, NHK, memberinya penghargaan sebagai seniman muda masa depan Asia.


EVI APRIANTI selalu terjaga di tengah malam. Ia gelisah di tempat tidurnya. Ditatapnya wajah lelaki di sampingnya. Setiap detik, setiap tarikan nafas, dan denyut pembuluh nadi orang yang dicintainya, ia perhatikan dengan seksama.

Evi sering mendengar kisah, banyak penderita gagal ginjal meninggal dalam keadaan tertidur. Evi selalu ketakutan. “Aku belum siap. Dan, jujur, aku belum siap,” katanya. Matanya mulai sembab dan berkaca-kaca. Baginya, setiap malam laksana penantian dan kurun waktu panjang.

“Terkadang aku ingin pergi. Aku sudah tidak kuat. Kepalaku sudah sakit.”

Ketika pikiran semacam itu muncul dan bergumul di benaknya, Evi seperti tersadar dari putus asa. Biasanya Evi langsung menangis dan minta maaf kepada Radhar.

Sebelum Radhar sakit, sikapnya sangat romantis. Radhar selalu memberi tahu sesuatu dengan sikap, dan tindakan baik. Ia tak pernah marah. Bila diri istrinya melakukan kesalahan, Radhar akan menegur. Pada akhirnya, Evi merasa tak boleh berbuat salah. “Ibaratnya, dia mau berdebat sampai mati juga tidak takut.”

Ketika kini sakit? Sikap Radhar berubah total. Ia jadi pemarah dan keras.
“Dia itu orangnya baik, jujur dan sederhana. Kalau dari segi tampang, tidak ada! Jujur saja. Saya tidak mood dari pertama,” kata Evi, sembari tertawa ngikik.

Evi kenal Radhar pada usia 16 tahun. Saat itu, ia masih kelas tiga Sekolah Menengah Pertama, 1991. Pada usia belia itulah, Evi beranjak dari kota kelahirannya di Sukabumi. Ia merantau ke Jakarta, karena ingin sekolah. Sambil menyanyi di berbagai acara seminar, kantor, hingga kawinan. Hingga suatu ketika, Evi menyanyi di acara bazaar di gedung Prioritas, Cikini.

Penyelenggaranya majalah Vista TV, tempat Radhar bekerja sebagai edaktur pelaksana.
Radhar kemudian mengantarkan Evi ke kost-nya. Dari perkenalan ini mereka jadi dekat. Mereka menikah pada 1995. Evi merasa sangat beruntung memiliki Radhar. Sekarang ini, Evi sudah merasa bahagia dengan merawat anaknya yang semata, Cahaya Prima Putradahana. Ia belum lagi 7 tahun.


RADHAR kelahiran Jakarta, 26 Maret 1965. Ia nomor lima dari tujuh bersaudara. Seluruh saudaranya punya nama Radhar, yang merupakan penyingkatan dari nama kedua orangtuanya: Radsomo dan Suharti.

Radsomo pegawai negeri, mantan kepala sekolah Taman Siswa. Menjelang kelahiran Radhar, bapaknya difitnah dengan isu Komunis. Ia diturunkan pangkatnya dan terkatung-katung. Ekonomi pun jatuh bebas hingga oleh seorang teman, akhirnya sang ayah diajak masuk ke jawatan lain, Departemen Pekerjaan Umum.

Sang ayah disiplin mendidik anaknya. Sedari kecil, Radhar sudah diajari mengitung angka hingga jutaan. Setiap anak harus pulang ke rumah dan belajar, kapan pun. Bila melanggar, sabetan rotan akan siap mendera. Seluruh anak lelaki digundul dengan disisakan sedikit rambut di ujung kepalanya.

Kecuali Radhar, ia tak mau dan kerap melanggar aturan, sehingga sering kena hukuman. Karena tidak kuat, ia sering kabur dari rumah. Selain itu, ayahnya tidak suka dengan kegiatannya, berteater dan mengarang. Orang tuanya berharap ia menjadi pelukis. Radhar sempat kursus melukis. Namun, ibunya menentang. Maklum, profesi pelukis saat itu dirasa belum mampu menjadi sandaran hidup.

Kiprah pertama Radhar di teater diawali tahun 1979 dengan memerankan tokoh Rebecca, dalam naskah berjudul Jack dan Penyerahan. Naskah itu dimainkan dalam rangka Festifal Teater Remaja di Bulungan.

Rebecca tokoh perempuan. Karenanya, ia harus memerankan tokoh itu dengan lembut. Radhar ingat betul, siapa periasnya. Neno Warisman. Ia melihat terus wajah orang yang meriasnya. Dan sekali pernah berujar. “Nanti kalau saya punya pacar, ingin yang seperti Mbak.” Mendengar itu, Neno hanya tertawa saja. Mereka berdua satu grup, Teater Gombong.

Tak dinyana, sang ayah hadir dalam pementasan itu. Alhasil, setelah pulang ke rumah, orang tua itu menghajar Radhar. Namun, ia tetap melanjutkan kegiatannya. Radhar sering berjalan kaki menuju Bulungan. Padahal rumahnya ada di komplek Dinas Pekerjaan Umum, depan terminal bis Lebak Bulus, Jakarta Selatan.

Satu kali, sekitar tahun 1978, ia berkelahi berat dengan sang ayahnya, yang menghajarnya habis-habisan. Lepas mahgrib kala itu, Radhar berdiri di pintu dan berteriak, “Tidak ada demokrasi di sini!” Satu istilah asing yang di kemudian hari ia sesali dan kritik habis.

Radhar kabur setelah meneriakkan kalimat itu, tak membawa apa pun, kecuali baju yang melekat di badan. Hingga pertengahan kebun karet di seputar Pondok Indah, ia kembali diam-diam hanya untuk mengambil satu stel baju sekolah dan sandal. Selama hampir tiga hari di Bulungan, tidak makan, karena memang tidak punya duit. Radhar tidur di emperan toko dan pot besar sepanjang pinggir jalan, Taman Martina Kristina Tiahahu, Blok M. Badannya lemah.

Kala itu, di sisi bioskop Garden Hall Blok M seberang SMU 6 sekarang, ada sebuah warung. Aktivis Bulungan menyebutnya Warung Poci. Di sana terdapat penjual ketan, gorengan, dan tentu saja, teh poci. Radhar hanya melihat orang makan.

Di hari ketiga, pukul dua dinihari, kakek penjaga warung membangunkannya. Si kakek pernah dibuang Belanda ke Kaledonia Baru, sebuah negara kepulauan di Samudera Pasifik. Cara bicaranya masih setengah Belanda. “Kamu ngapain di situ? Di sini saja,” kata sang kakek.

Radhar disuguhi ketan, pisang goreng dua dan teh manis. “Itu surga, yang benar-benar tidak pernah saya lupakan,” ujarnya.

Setelah bertenaga, malam itu juga Radhar pergi dari Bulungan ke Cipete, Jakarta Selatan. Ia berjalan kaki menerabas malam. Jaraknya lumayan jauh. Tujuannya rumah kontrakan Muklis Sarjana, dan Harri Cahyono. Saat itu, ia masih di bangku kelas dua SMP. Kebetulan kost Muklis Sarjana, seorang ilustrator, dekat dengan sekolahnya. Cukup berjalan kaki sepuluh menit.

Setelah tiga bulan minggat dari rumah, sang ibu datang ke sekolah minta supaya Radhar pulang. Radhar menolak. Tapi karena terus didesak, termasuk oleh kepala sekolahnya, Radhar menyerah. Baru beberapa hari di rumah, ia kabur lagi. Ia merasa tidak cocok dengan ayahnya.

Ia kembali ke Bulungan. Giat berteater, mengarang cerita pendek, puisi, dan mengirimnya ke media masa. Bahkan ia ikut lomba pantomim yang ia menangkan, dan membuatnya sempat menjadi mimist “profesional”. Dari situ, Radhar dikontrak main hingga Yogya atau di gedung DPR.


BAKAT menulis Radhar tumbuh di usia dini. Ia memulainya dengan cerpen Tamu Tak Diundang. Ia masih duduk bangku kelas lima Sekolah Dasar saat itu. Radhar mengirimkannya ke harian Kompas dan dimuat.

Ide cerita datang dari pandangan mata atas ibunya yang didatangi semacam debt collector. Karena miskin, melulu mengandalkan gaji pegawai negeri, ibunya sering mengutang. Karena ia tak mau ibunya diancam dan diperlakukan buruk, Radhar berupaya melindunginya. Ia lalu bersembunyi di balik pohon, dengan belati di belakang punggungnya. “Jika terjadi apa-apa pada ibu, awas! Akan kutusuk mereka,” tukas Radhar mengenang.

Kelas dua SMP, Radhar menjadi redaktur tamu di majalah Kawanku. Tugasnya menyeleksi naskah cerpen dan puisi yang masuk. Ia melakoni pekerjaan itu hingga beberapa bulan.
SMP kelas tiga, ia mulai mengarang cerita pendek, puisi, dan ilustrasi. Beberapa di antaranya dimuat di majalah Zaman, yang waktu itu redakturnya Danarto. Ia pakai nama samaran, Reza Morta Vileni. Nama itu diilhami oleh nama teman sekolahnya, Rezania, yang piawai berdeklamasi.

Radhar mulai jadi “wartawan kantoran” ketika Arswendo membuat KOMA (Koran Remaja), pada akhir ’70-an. Koran itu cuma dua lembar. Ia mencantumkan nama aslinya Radhar untuk tugas reporter, dan Reza bagi tugas di penata artistik. Itu pengalaman jurnalistik pertamanya.

Ia juga membuat cerpen remaja. Kala itu muncul berbagai majalah kumpulan cerpen di Jakarta, seperti Pesona, Anita, dll. Selain itu beberapa majalah remaja seperti Majalah Gadis, Nona dan Hai, bahkan majalah dewasa seperti Keluarga, Pertiwi, Kartini, kebanjiran cerpen (dan kadang sekaligus ilustrasi) Radhar. Sambil membuat cerpen, kerja jurnalisnya terus jalan.

Suatu ketika, Radhar berkenalan dengan Valens Doy, seorang tokoh olahraga, dan wartawan senior di Kompas. Valens cukup disegani. Ia menempatkan Radhar sebagai pembantu reporter. Atau, biasa disebut reporter lepas. Angkatan Radhar saat itu adalah Sindhunata. Banyak redaktur suka padanya, karena ia masih kecil waktu itu.

Mereka meminta Radhar menulis di rubrik apa saja. Ia bisa menulis di rubrik olahraga, kebudayaan, pendidikan, berita kota tentang kriminalitas, hukum dan apa saja. Kebolehan dan kemewahan yang kalau itu hanya dimiliki Sindhunata di Kompas.

Dalam sebulan, Radhar sanggup mendapatkan uang Rp 500 ribu hingga Rp 750.000. Padahal, gaji wartawan Kompas saat itu, Rp 300-400 ribu. Jumlah gaji tersebut sudah lumayan besar saat itu. Banyak reporter tetap kemudian protes.

Protes datang juga dari orang tua Radhar, dalam isu lain. Sang ibu menelepon Kompas dan marah. Dia erkata, bahwa Reza itu anaknya yang bernama Radhar, dan ayahnya tidak mengizinkan kerja. Radhar harus sekolah dulu. Radhar terpaksa menuruti itu semua, meski dengan hati hancur.

Begitu masuk sekolah, ia seperti berhadapan lagi dengan hantu. SMA, dilaluinya selama enam tahun, bersama penolakannya pada sistem sekolah – seiring pemahamannya pada buku Bebas dari Sekolah karya Ivan Illic dan Pendidikan Kaum yang Tertindas Paulo Freire. Dua buku yang mengejek formalisme pendidikan.

Radhar pertama kali sekolah di SMA 11, Jakarta. Sekarang ini, menjadi SMU 70. Radhar tidak naik kelas. Nilai rapornya tidak ada isinya. Wali kelasnya sampai menangis di hadapannya. Karena tidak naik kelas, ia makin tidak peduli dengan sekolah. Radhar berteater, sastra, jurnalistik, dan bermusik.

Setelah tahun ketiga, ayahnya memaksa Radhar sekolah di SMA 46 Jakarta. Yang terjadi, ia selalu “berantem” dengan guru masalah pelajaran. Mereka sering berdebat soal metode penyelesaian soal pelajaran.

“Ya sudah, kalau begitu. Saya atau kamu yang keluar,” kata seorang guru, suatu ketika.
“Saya datang ke sini mau belajar.”
“Kalau begitu, saya yang keluar.”
“Terserah.”

Hal itu membuat teman sekelas tidak menyenangi Radhar. Dari SD, Radhar tidak disukai temannya. Terlalu sering bertanya. Satu pelajaran, ia bisa bertanya sampai tiga kali. Radhar tidak ingin melanjutkan sekolah. Untung tiga sahabat dia selalu mengingatkan. Mereka Anto Baret, “kakaknya” Noorca Massardi dan salah satu “gurunya”, WS Rendra. Radhar masuk SMA di Bogor. Ia mengulang dari kelas satu. Ia jarang masuk kelas. Radhar sibuk dengan kegiatannya.

Dia misalnya mengajar teater di SMA 3 Bogor. Namanya Teater Telaga (Teater SMA Tiga).
Radhar kemudian bergabung dengan Bengkel Teater Rendra. Dan langsung ikut produksi naskah Panembahan Reso. Ia sering pulang-balik, Bogor-Depok dengan berlangganan kereta. Jadwal di Bengkel Teater ketat sekali. Saat mau ujian, Radhar minta ijin pada Rendra untuk libur dari kegiatan teater. “Bahan sekolah selama tiga tahun, itu saya pelajari selama lima hari,” kata Radhar.

Waktu libur di teater, bukannya ia gunakan untuk belajar, malah selalu jalan ke mana saja. Mulai pukul delapan malam, ia membaca pelajaran sekolah. Radhar meminjam headphone temannya untuk mendengarkan musik dari walkman. Musik itulah yang bisa membantunya konsentrasi. Radhar lulus sekolah rangking tiga seluruh sekolah.

Menjelang pementasan Panembahan Rekso, Radhar mengundurkan diri dari Bengkel Teater. Radhar berselisih dengan Rendra mengenai manajemen grup. Radhar mundur dengan meninggalkan dua peran yang harusnya ia mainkan di Panembahan Reso. Tapi dalam katalog pertunjukan nama dan fotonya tetap tercantum. “Dapat honor pula, empat puluh ribu perak,” kenang Radhar sambil tertawa.


ANTO Baret menyarankan Radhar kuliah. Ia menurut dan mendaftar di Universitas Indonesia (UI), jurusan Sosiologi. Pilihan kedua di Universitas Pajajaran (Unpad), jurusan Ekonomi Pembangunan. Pilihan kedua itu berdasar keinginannya untuk bisa dekat dengan gedung Psikologi, Unpad, yang mahasiswinya mayoritas wanita dan cantik-cantik.

Ia punya rumusan, universitas pilihan pertama jangan ditaruh pertama, karena pilihan pertama biasanya ditolak. “Eh, malah diterima di Sosilogi UI. Sebel banget,” kata Radhar.

Dalam waktu dua setengah tahun, ia telah menyelesaikan semua mata kuliahnya, lalu meninggalkan bangku kuliah. Lagi-lagi nyebur ke teater, selain kerja jurnalistik.
Ia tidak mengambil ijasahnya begitu lulus. Ijasah baru dia diambil saat hendak belajar ke Prancis.

Sejak 1997, Radhar studi di Ecole des Hautes Etudes en Science Sociales. Ia berangkat sendirian. Baru setelah tiga bulan, Evi menyusul. Di Perancis mereka tinggal di Besançon, 400 km dari Paris. “Saat kita di Perancis itu sengsara. Dan aku tidak bisa ngomong bahasa sana,” tutur Evi.

Untuk mengatasi masalah keuangan, mereka biasa mengamen di cafe. Radhar main gitar, Evi sebagai penyanyi. Dalam tiga bulan Evi, mulai bisa menguasai bahasa Perancis. Mulailah Evi menyanyi lagu Perancis. “Eh, tak tahunya setelah aku menyanyi lagu dangdut, teman-teman malah ramai ikutan pada joget,” kata Evi. Dalam sehari, mereka bisa dapat 300 hingga 700 franc.

Evi sempat balik ke Indonesia. Hidup Radhar tak keruan, termasuk makan. Sekalinya makan, menunya telur dan telur.

Saat kembali ke Perancis, Evi hamil. Jadi persoalan. Mereka tak punya asuransi kesehatan. Asuransi hanya bisa dimilikinya setelah domisili di tahun kedua. Berbulan-bulan Radhar mengelilingi berbagai instansi memperjuangkan tunjangan itu. Hingga saatnya lahir sang bayi, tunjangan belum didapat.

Cahaya lahir di bulan ke sebelas mereka tinggal di Prancis, bertepatan dengan diraihnya tunjangan itu. Cahaya lahir melalui operasi cesar dan Evi sempat menginap di ICU selama empat hari.

Radhar sering menunggui Evi. Radhar yang sudah sering sakit-sakitan, kondisinya semakin memburuk.

Menjelang kejatuhan Soeharto, mereka kembali ke Indonesia dengan risiko membatalkan fasilitas studi yang harusnya mencapai tingkat doktoral. “Aku tak kuat menahan diri. Sementara aku hidup enak di sini, di negeriku orang-orang hidup dalam teror,” kata Radhar lagi.


DI AWAL kehadirannya di Indonesia, Radhar pernah berobat ke satu sinshe di Sukabumi. Ia menjalani diet garam sangat ketat, terapi akupunktur dua kali sehari, dan minum jamu godokan.

Ia stress berat. Depresi. Berat badannya sempat turun sepuluh kilo. Ia divonis ARF (Acute Renal Failure) yang tak dipahami maknanya kala itu. Dan ternyata ia pun terkena CRF (Cjronic Renal Failure). Dua istilah ini mengacu pada gagal ginjal kronis, semacam pembunuhan sel-sel ginjal secara perlahan. Kini kedua ginjalnya mati sudah.

harus bolak-balik rumah sakit. Hingga satu kali, ia jatuh dan koma selama lima hari. Dua kiai menyatakannya “tinggal memerlukan do’a kepergian,” karena “nyawanya sudah di jempol kaki”.

Radhar seperti kehilangan dirinya. Semua sobat yang datang menjenguk, kerabat, saudara bahkan orangtuanya, tak ia kenali. Ia diputuskan untuk cuci darah. Tiga kali seminggu setiap lima jam. Rutin. Sampai kini. Kebiasaan yang sungguh-sungguh melumpuhkan hidupnya selama tiga bulan pertama. Kulitnya menebal, tubunya menipis, rambutnya rontok habis. Aktifitas terbatas.

Daya serap makannya terbatas. Semua makanan berubah jadi racun dalam tubuhnya. Padahal Radhar paling senang mencari makanan khas daerah tempat dia menggelar pementasan. Ketika ke Malang, ia harus mencari rawon. Bila pentas di Yogyakarta, dia harus makan gudeg.

Radhar pun tak bisa banyak mengkonsumsi air. Air yang masuk tertimbun –karena ia sudah tak punya urine- menindih jantung dan paru-parunya yang kini membesar dan tak kembali mengempis. Saat latihan, Ratna dan Rani kerap merampas botol minuman Radhar bila dia terlalu banyak minum.

Makanan dan minuman harus mereka jaga. Misalnya, Radhar suka sekali menyesap kopi. Tubuhnya tak bisa banyak menerima kopi. Ke mana pun Radhar pergi, selalu ada kopi bubuk di kamar, atau ditaruh di mobilnya. Kopi ditaruh dalam tiga toples plastik. “Kalau dia ingin kopi, ia mengoleskan serbuk kopi itu ke hidungnya,” tutur Rani.

Ketika menghidangkan kopi atau teh ke Radhar, harus panas sekali. “Dia tahu, air itu direbus sampai mendidih atau tidak,” kata Ratna. Untuk minuman-minuman bersoda atau air dingin dari termos. Selain itu dia menghilangkan dahaga dengan mengunyah permen.

Rani dan Ratna tak pernah lupa menyimpan balsem. Untuk menghilangkan rasa capek dan lelah yang menganggu Radhar. Selain itu mereka pun menjaga pembicaraan dengan Radhar. "Sebelum Radhar cuci darah, kita harus tahu, apakah suatu masalah boleh disampaikan atau tidak,” ujar Rani.

Bila masalah itu bisa memancing emosi, mereka tidak akan menyampaikannya. Bila emosinya tinggi, hasil cuci darah tidak bakal maksimal. Begitu pun saat cuci darahnya telat. Radhar menjadi tinggi egonya dan pelupa.

Hingga hari ini, tiada hari yang ia lewati tanpa gangguan 2-3 penyakit dari sekitar 15 penyakit baru yang dapatkan setelah cuci darah.

Tak ada bagian tubuhnya, luar dan dalam yang tidak terganggu dan rasa sakitnya mengganggu kerja. Kulit telapak kakinya menebal membuatnya kebal. Seminggu dua kali ia harus menyayat atau mengeriknya dengan cutter untuk menghasilkan potongan-potongan kecil kulit keras hingga kadang memenuhi botol kecil.

Sering ia berhenti menulis saat gangguan itu datang. Butuh empat sampai lima menit untuk pemulihan. Ketika ia akan lanjutkan menulis, mood-nya sudah berubah, juga pikiran bahkan idenya. Ia masih gagal mencipta fiksi hingga saat ini. Hanya esai-esai yang bisa ia kerjakan, itu pun sering tersendat-sendat.

Ia sadar tiap saat maut bisa menghadangnya. Disiplin-disiplin baru yang harus dijalaninya mengajarkan dia untuk berkata “cukup” pada semua aktivitas hidupnya. Cukup makan, ketika tengah lahapnya. Cukup minum, saat hausnya. Cukup bicara, tatkala hangat diskusinya. Cukup bercinta, tatkala ia sangat menginginkannya.

Bercinta? Adakah ia mampu di kondisinya saat ini? “Itu hanya Tuhan dan aku, juga perempuanku tentu yang tahu,” Radhar tertawa.

Dan memang siapa tahu dalamnya Radhar. Kecuali pencapaian-pencapaiannya saat ia mengelola rubrik “Teroka” di harian Kompas, memimpin Federasi Teater Indonesia, Bale Sastra Kecapi, dan Teater Kosong yang ia dirikan.

Ia masih sering kerja hingga larut malam. Dan pada pukul 2 dini hari itu, Radhar membereskan pekerjaannya, kemudian mendesahkan ujung salah satu puisinya.

....perjalanan pendek ini
panjang sekali.***


Foto by Nova & Winternachten
Edisi cetak ada di majalah Play Boy Indonesia, edisi Mei 2006

Baca Selengkapnya...