Thursday, August 31, 2006

Yang Rugi Karena Lidah Api

Meski lidah api tak sampai menjilat kebun sawit mereka, warga Kecamatan Langgam, Kabupaten Palawan, Riau, tetap saja pusing tujuh keliling. Ratusan batang sawit mereka rusak. Penyebabnya amukan gajah, bukan serangan api.

Sekitar 30 ekor gajah, pekan lalu, datang menyatroni kebun penduduk yang lokasinya berbatasan dengan Taman Nasional Tesso Nilo. Akibatnya, sekitar 2.500 hektare kebun kelapa sawit porak-poranda. Kawanan mamalia besar jenis Elephans maximus sumatranus itu kesasar masuk kebun penduduk lantaran Taman Nasional Tesso Nilo, yang menjadi habitat mereka, sebagian hangus terjilat api.


Warga tidak bisa berbuat banyak. Mereka tahu, keberadaan kawanan gajah itu dilindungi undang-undang. Maka, mereka hanya bisa menghalau gerombolan gajah itu dengan bunyi-bunyian ramai agar kembali ke taman nasional. Supaya gajah tidak lagi menyerang, warga terus mengawasi kebunnya. "Ini gara-gara kebakaran hutan," kata Nur Hadi, warga Palawan.

Selain warga Palawan, kebakaran hutan juga merepotkan sebagian besar warga Riau. Kabut asap menghalangi mereka melakukan aktivitas secara normal. Bahkan ada sejumlah sekolah dan perkantoran yang diliburkan. Keluhan sesak napas dan mata merah meluas di kalangan warga.

Guru SMPN 3 Tapung Hilir, Riau, M. Sidahuruk, misalnya. Ia mengeluhkan matanya yang terasa pedih memerah. Dari hidungnya sering keluar lendir. "Maaf, sudah tiga hari ini saya ingusan. Mata saya pedih," katanya sambil menyeka hidungnya dengan sapu tangan. Ia yakin, penyebabnya ialah asap yang pekat menerpa kotanya.

Untuk berangkat ke tempat kerja, Sidahuruk menggunakan masker. Ia pun tak bisa memacu motornya dengan kencang. Kabut asap memaksanya berkendaraan lebih lamban. "Saya sempat ingin bolos kerja. Takut tabrakan. Soalnya, menyalakan lampu motor pun, jalan tidak kelihatan," tutur alumnus IKIP Medan itu. Ia tetap bekerja dan hasilnya, ia alergi dan matanya teriritasi.

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau, dr. Taswin Yakub, mengakui adanya kenaikan jumlah pasien dengan keluhan ISPA (infeksi saluran pernapasan atas). Namun tak ada data pasti berapa jumlahnya. "Belum ada laporan. Tapi ada peningkatan-lah," ujarnya.

Nun jauh dari Pekanbaru, di Pontianak, ibu kota Kalimantan Barat, kabut asap menghadirkan penderitaan serupa. Kepala Dinas Kesehatan Kalimantan Barat, Oscar Primadi, menyatakan bahwa magnitude kebakaran hutan di daerahnya sudah masuk tingkat bencana lingkungan. Asap yang menyelimuti sebagian besar wilayah Pontianak membuat udara terasa sesak karena kandungan partikelnya.

Indeks pencemarannya sudah mencapai 200 ppm, melampaui ambang batas aman untuk manusia. Pagi dan sore, indeksnya meningkat jadi 300 ppm. "Saya terus menyarankan, jika ada warga yang ingin berpergian, gunakan masker," kata Oscar.

Menurut pemerhati hutan, Rully Syumanda, kerusakan lingkungan menjadi konsekuensi logis dari kebakaran hutan. Pepohonan hangus, satwa-satwa kabur mengungsi, dan sebagian mikroba musnah. Kualitas udara dan air anjlok. Rully mencontohkan kehadiran gajah di kebun kelapa sawit milik warga. Kejadian itu, katanya, bukan tanpa sebab. Hawa panas dan bara api membuat mereka pergi ke tempat yang lebih sejuk dan menyediakan bahan pangan.

Kebun penduduk pun menjadi sasaran. "Gajah-gajah juga butuh makan. Jika lahan hutan yang biasa dijadikan tempat mencari makan dilalap api, mereka cari lokasi lain yang aman," tutur Rully, yang jadi pengurus pusat lembaga nirlaba Walhi (Wahana Lingkungan Hidup).

Bukan hanya gajah, kata Rully, banyak satwa lain berbondong-bondong lari keluar dari hutan, termasuk burung, tikus, dan serangga. "Jika kebakaran terus berlanjut, tidak mustahil harimau pun akan keluar dari persembunyiannya," ucap Rully. Itu pun kalau mereka tak keburu mati terjebak api atau tercekik kabut pekat yang keluar dari lidah api.

Taman Nasional Tesso Nilo dengan luas 100.000 hektare lebih itu dihuni ratusan jenis hewan. Mamalia ada 23 jenis, primata tiga jenis, reptilia 15 jenis, amfibia 18 jenis, burung 107 jenis, dan ikan sekitar 50 jenis. Akibat amukan api itu, Rully menduga, banyak hewan mati dan jangan-jangan punah selamanya.

Sengaja atau tidak, kebakaran hutan juga menyebabkan banjir debu halus di udara, selain gas-gas rumah kaca seperti Nox, Sox, dan terutama karbondioksida (CO2). Kehadiran gas-gas rumah kaca itu relatif permanen dan menjadi sumbangan bagi percepatan global warming (pemanasan global).

Jumlahnya pun tidak main-main. Ketika Sumatera dan Kalimantan mengalami musibah besar kebakaran hutan pada 1997, tak kurang dari 2,67 juta ton karbondioksida menjejali udara. Ini terjadi hanya dalam waktu tiga bulan, saat kebakaran hutan melanda areal hampir 4,5 juta hektare. Angka ini setara dengan 40% seluruh CO2 hasil emisi gas buang di Indonesia selama setahun, dari knalpot motor, mobil, cerobong pabrik, hingga pembakaran batu bara di pembangkit-pembangit tenaga listrik.

Pada musibah kebakaran hutan tahun 2003, angkanya mencapai 1,93 juta ton karbondioksida. Meski tidak sebesar enam tahun sebelumnya, tingkat pencemarannya sudah tergolong tinggi. Udara di kota-kota besar di Sumatera, Kalimantan, bahkan Singapura dan Malaysia, mengandung partikel asap dalam dosis tinggi. Serangan ISPA merajalela. "Tingkat pencemaran udara tahun ini saya perkirakan angkanya sama dengan 2003," ujar Rully.

Asap juga diyakini Rully telah mencemari air melalui proses tak langsung. Pada awalnya, asap itu akan meninggalkan residu Sox di udara. Ketika belerang oksida itu larut dalam awan, di musim penghujan berikutnya, terbentuklah asam sulfat. Saat awan itu jatuh sebagai hujan, ia menjadi air yang asam, yang akan mencemari sungai, danau, dan air tanah. Kalau itu terjadi, lengkap sudah kerusakan ekosistem.

Sujud Dwi Pratisto, Abdul Aziz (Pekanbaru), dan Muhlis Suhaeri (Pontianak)
[Laporan Khusus, Gatra Nomor 42 Beredar Kamis, 31 Agustus 2006]

Foto Lukas B. Wijanarko

Baca Selengkapnya...