Thursday, December 21, 2006

Tenun Songket Sambas Mati Suri?

Oleh: Muhlis Suhaeri

Kemajuan peradaban dan teknologi memang bagai dua sisi mata uang. Di satu sisi, dia sungguh menguntungkan. Tapi di sisi lain, dia akan menggilas yang pernah hadir dan tak sanggup bertahan.

Demikian dengan berbagai produk dan kebudayaan di Nusantara. Yang terdiri dari beribu kepulauan, tentu saja menghasilkan berbagai jenis ragam dan produk budaya berbeda. Ambil satu contoh saja tradisi menenun. Hampir di sebagian besar wilayah Indonesia, ada kerajinan penghasil bahan sandang ini. Dan menjadi satu pertanyaan adalah, sanggupkah warisan budaya tersebut, bertahan menghadapi era globalisasi? Mari kita lihat salah satu faktanya.

Nama tenun ini sesuai dengan nama daerahnya, tenun songket atau tenun ikat Sambas. Kerajinan tenun, kian hari seolah kian terpuruk pusaran waktu. Betapa tidak, hasil kerajinan luar biasa bersahaja itu, seakan mati suri. Mati segan hidup pun enggan.


Pasalnya?
Salah satunya, sungguh sulit memasarkan barang kerajinan ini keluar daerah. Tidak itu saja. Proses produksi juga tersendat. Para pengrajin tersandung dengan pengadaan bahan baku. Benang semakin sulit diperoleh. Kalau pun ada, harganya cukup mahal. Tak itu saja. Sekarang ini susah mencari penenun. Mereka banyak hijrah dan mencari pekerjaan lain di Malaysia.

Alasannya cukup manusiawi. Penghasilan dari menenun, tidak menghasilkan cukup uang. Bahkan, banyak pula pengrajin di daerah ini, menjadi penenun di Brunei. Di sana lebih menjanjikan dari segi pendapatan.

Banyak lika-liku dialami para pengrajin. Padahal, ketrampilan memintal dan merajut benang menjadi kain itu, usianya sudah cukup lama.

“Kerajinan tenun songket Sambas usianya sudah ratusan tahun,“ kata Sahidah (60 tahun), pengrajin dari Dusun Manggis, Desa Tumuk Manggis, Sambas.

Sahidah sudah tiga generasi membuat tenun. Dia mewarisi selembar kain. Usia kain itu mencapai seratusan tahun.

Kini, di desanya tinggal 15 pengrajin saja. Itu pun yang aktif hanya 3 pengrajin. Artinya, pengrajin lain akan membuat kain, bila ada pesanan.

Apa yang menjadi motif dan ciri khas kain songket Sambas?
Orang Sambas biasa menyebutnya dengan suji bilang. Kain songket Sambas, selalu ada pucuk rebungnya. Pucuk rebung merupakan bambu muda. Motif itu bentuknya segi tiga, memanjang dan lancip.

Samidah juga mengembangkan motif sendiri. Motif itu dia adopsi dari berbagai tanaman mau pun hewan. Salah satu yang dia kembangkan adalah motif daun gali. Daun gali pipih dan memanjang bentuknya. Jenis tetumbuhan ini, banyak dijumpai di sekitar sungai Sambas.

Untuk membuat pola dan motif, harus teliti dan tidak asal menggambar. Ada perkaliannya. Biasanya motif itu digambar terlebih dahulu di kertas bergaris dan berkotak-kotak kecil. Bila motif salah mengambarnya, cara menempatkan benang akan salah. Padahal, salah menempatkan satu benang saja, bisa salah semua.

Tenun songket Sambas tidak bisa dipisahkan dengan benang emas. Benang emas itulah sebagai penanda motif. Jaman dulu, benang emas terbuat dari benang emas colok. Ciri dari benang ini ringan dan tahan lama. Warnanya pun tidak pudar, meski telah berusia ratusan tahun.

Pengrajin tidak bisa mendapatkan benang itu lagi. Sekarang ini, pengrajin menggunakan benang emas dari Jepang dan India. Benang dari Jepang cirinya tahan lama dan warnanya tidak pudar. Benang India kasar dan warnanya gampang berubah. Untuk mendapatkan benang, mesti memesan dari Jakarta.

Warna tenun songket Sambas cukup beragam. Biasanya warna cerah. Ada warna merah manggis, orange, warna paru (pink), hijau dan hitam. Peruntukannya, tentu saja untuk perempuan dan lelaki. Ukuran tenun songket untuk perempuan 200 cm kali 1,05 cm. Untuk lelaki, biasa disebut kain sabuk, ukurannya 150 cm kali 60 cm.

Harga kain untuk perempuan yang bagus sekitar Rp 1,5 juta perlembar. Bila pelanggan ingin motif lain, dan motifnya tidak ada di sana, mereka bisa memesan motifnya. Untuk itu, mereka harus rela merogoh kantungnya Rp 2 juta. Kain yang biasa seharga Rp 200.000. Untuk kain lelaki, yang bagus harganya Rp 750.000. Dan yang biasa Rp 150.000.

Bila motif itu sulit, cara pengerjaannya selama satu bulan. Untuk motif biasa saja, sekitar dua minggu. Pengrajin biasanya bekerja dari pukul 7 hingga pukul 17.00. Antara waktu itu, ada jeda dua jam beristirahat. Karyawan banyak juga membawa pekerjaannya ke rumah. Sekarang ini, Sahidah mempunyai 10 karyawan. Bayaran pekerja berfariasi. Untuk kain perempuan yang bagus, pekerja bisa mendapatkan Rp 500.000 perlembar. Dan untuk kain biasa sekitar Rp 50.000.

Proses dari pengerjaan tenun songket Sambas lumayan rumit. Diperlukan kesabaran dan ketelitian melakukannya. Pekerjaan membuat kain melalui beberapa tahap. Pertama, narraw atau memintal. Kedua, nganek, menggabungkan dari perumahan kolong benang ke anekan. Ketiga, nattar, menggulung benang dengan papan tandayan. Keempat, ngubung, menghubungkan benang dari tandayan ke suri (merapatkan benang). Kelima, menenun. Keenam, nyongket, membuat bunga dan memasukkan benang emas ke motif tenunan. Dari semua proses itu, nganek merupakan pekerjaan paling sulit. Bahkan, di kampung itu, tinggal satu orang saja sanggup mengerjakannya.

Sahidah punya obsesi melestarikan tenun ikat ini. Caranya, dia mendidik dan mengajari masyarakat setempat menenun. Belajar menenun membutuhkan waktu lumayan lama. Supaya mampu menenun dengan baik, sperlu waktu sekitar 2 tahunan. Tapi, hal itu juga tergantung dari kecerdasan dan kemampuan seseorang, dalam belajar dan menyerap ilmu yang diberikan.

Pemasaran kain Sambas hanya berputar di sekitar Sambas. Dalam sebulan paling banter, 4-5 lembar. Masyarakat menggunakan kain songket Sambas untuk seserahan, atau mas kawin bagi perkawinan, atau menghadiri sebuah prosesi adat. Mayoritas pembeli biasanya warga Sambas. Atau, orang Sambas yang bermukim di daerah lain, dan masih punya keterikatan budaya dengan Sambas. Pembeli juga datang dari Pontianak, Jakarta, Malaysia dan Brunei.

Contohnya, Dayang Nazariah (59 tahun) dari Pontianak. Ketika menikah, usianya 24 tahun. Sekarang ini, dia masih menyimpan kain seserahan atau antaran itu dengan baik. Warna mau pun kondisi kain masih bagus.

Nah, bagaimana supaya kain songket ini awet dan tahan lama? Perlu perlakuan khusus. Kain Sambas tidak boleh dicuci dan dikucek. Bisa dicuci dengan dry laundry. Kalau pun orang mau mencuci, boleh dibilas saja. Kain ini tidak boleh dijemur di bawah terik matahari langsung, karena warna dan moifnya akan cepat memudar dan rusak.

Cara menjemurnya hanya diangin-anginkan saja. Cara menyimpannya pun perlu perlakuan khusus. Dilipat dengan bagus dan rapi, lalu meletakkannya di lemari. Bila hal itu Anda lakukan, maka kain songket Sambas akan menemani, hingga beberapa generasi ke depan.

Sahidah berharap pemerintah ikut berperan dalam melestarikan tenun ikat ini. Caranya, mempertemukan pengrajin dengan pasar. Hal itu bisa dilakukan dengan membuat pameran atau lainnya. Pemerintah musti memperhatikan industri kecil ini melalui kemudahan memperoleh kredit. Modal kecil membuatnya tak sanggup membeli benang langsung ke Jakarta.

Bila ke sana, dia harus membeli benang minimal 50 kg, supaya tidak tekor uang perjalanannya. Dia tentu saja tidak sanggup membeli benang sebesar itu. Membeli benang secara eceran, tentu saja membuatnya tersendat melakukan proses produksi.

Sahidah meminta pemerintah melindungi industri ini dari berbagai penjiplakan motif. Karenanya, pengrajin melalui Dekrenasda (Dewan Kerajinan Nasional Daerah) sudah berusaha mengajukan 180 motif yang ada ke Disperindag (Dinas Perindustrian dan Perdagangan), Sambas. Nyatanya, yang diterima baru 5 buah dari 13 yang diajukan.

Ya, itulah berbagai kendala yang selalu menghinggapi para pengrajin tradisional. Jangan sampai kain Sambas nasibnya seperti tempe. Makanan asli Indonesia, tapi dipatenkan Jepang. Atau seperti nasib batik, yang sedang diperebutkan dengan Malaysia.

Well, bila tidak kita sendiri yang peduli, siapa lagi?***

Foto by Muhlis Suhaeri, "Tenun Songket Sambas."
Edisi Cetak, minggu ketiga Desember 2006, Matra Bisnis

Baca Selengkapnya...

Thursday, December 7, 2006

Mencari Celah di Jalur Perjalanan

Oleh: Muhlis Suhaeri

Datangnya perayaan Imlek dan Cap Go Meh memberi angin segar bagi dunia travel dan layanan perjalanan. Berbagai jurus dan strategi dikeluarkan. Tujuannya, tentu saja menjaring tamu. Nah, bagaimana biro perjalanan melihat peluang itu, mari kita lihat bersama.

Suatu kunjungan wisata, tentu saja tak dapat dipisahkan dengan layanan kenyamanan dan keamanan. Dengan hal itu, tamu yang datang bakal menikmati liburannya. Tak heran, jika perayaan Imlek dan Cap Go Meh, telah diantisipasi berbagai biro perjalanan dan wisata. Bila layanan baik dan memuaskan, tentu saja menghasilkan uang bagi perusahaan bersangkuatn dan masyarakat umum.


Nah, bagaimana sebenarnya syarat utama supaya tamu bisa datang dan mau mengunjungi Kalbar. Tentu ada berbagai syarat dan cara bisa dilakukan. Syarat itu antara lain, seperti dikemukakan Ketua Masyarakat Pariwisata Indonesia (MPI), Drs. H. Martias HR. Syarat pertama, situasi keamanan harus kondusif. Kedua, menyelenggarakan kegiatan tingkat nasional atau internasional. Yang dapat mendongkrak kedatangan tamu ke Kalbar. Misalnya, menyelenggarakan suatu pertemuan tingkat nasional, eksebisi olah raga, kejuaraan otomotif, dan lainnya. Ketiga, menyelenggarakan promosi mengenai agronomi, budaya, wisata belanja, sejarah dan lainnya.

“Intinya, perlu kerja sama antara stakeholder dengan eksekutif,” kata Martias, yang juga pengelola biro perjalanan wisata, PT Panorama Anugrah Pratama Tour & Travel.

Perayaan Imlek dan Cap Go Meh, tentu telah diincar berbagai biro perjalanan. Menurut Heriyadi, Wakil Ketua Asosiasi Travel Indonesia (Asita), jumlah perusahaan travel di Pontianak, sekitar 69 perusahaan. Kesemuanya sudah menjadi anggota Asita. Bila ditambah dengan kabupaten lain, ada sekitar 76 perusahaan.

Cara mengantisipasi dan menghadapi Cap Go Meh, tentu perlu strategi khusus. Salah satunya, “Dengan meningkatkan sumber daya manusia (SDM) yang ada. Baik dalam bidang ticketing, guiding, atau dalam membuat paket,” kata Heriyadi, yang juga mengelola PT. Anyta Tour & Travel. Untuk itu, Heri melakukan berbagai pembenahan ditingkatan anggota Asita. Caranya, dengan melakukan berbagai pelatihan, dan pembinaan.

Ketika menyambut Imlek dan Cap Go Meh, berbagai perusahaan perjalanan telah membuat paket khusus. Dari jumlah anggota yang ada, mereka biasanya lebih tertarik membuat paket Cap Go Meh dari pada Imlek. Namun, dari jumlah perusahaan yang ikut asosiasi, hanya 5-6 travel membuat paket Cap Go Meh, kata Heriyadi.

Mengenai berapa angka dan jumlah tamu mengikuti paket ini, Heriyadi belum bisa memberikan angkanya. Kesulitan di asosiasi, karena anggota belum memberikan berapa jumlah tamu. Yang mengikuti program perjalanannya.

Cap Go Meh memang jadi pesona tersendiri, bagi biro perjalanan untuk menyelenggarakan suatu paket kunjungan. Sebenarnya, apa arti Cap Go Meh itu sendiri, sehingga perlu mengadakan paket itu?

“Kebanyakan orang yang melakukan tur, kurang tahu apa itu Cap Go Meh. Sehingga dalam menyelenggarakan paket, kita juga akan menjelaskan acara itu,” kata Budi Setiawan, bagian tur dari Ateng Tour.

Perayaan Cap Go Meh, memang tak bisa dipisahkan dengan berbagai upacara yang menyertainya. Seperti, buka mata naga, tatung, dan acara ritual lainnya. Nah, berbagai ritual, dan prosesi itulah, yang dijelaskan pada peserta paket tur.

Cap Go Meh di Singkawang memang punya keunikan tersendiri. Beda dari tempat lain. Bukannya daerah lain tak ada, tapi karena Singkawang lebih banyak masyarakat Tionghoa yang mendiaminya. “Sehingga yang lebih menonjol, adalah Cap Go Meh untuk mereka,” kata Heriyadi.

Bagaimana supaya paket tur itu dilirik?

“Kita membuat harga yang kompetitif. Istilahnya, kita berani membanting harga,” kata Budi. Banyaknya perusahaan travel di Pontianak, membuat paket serupa. Untuk dapat bertahan, tentu harus membuat harga dapat bersaing. “Kalau bisa, kita akan membuka harga dibawah yang travel agen lain lakukan,” kata Budi. Makin besar jumlah peserta tur, harganya akan lebih murah.

Mengenai berapa harga paket tersebut, terkadang susah memprediksikan. “Karena bisa saja berubah,” kata Heriyadi. Misalnya, orangnya ingin menginap di salah satu hotel. Tapi, karena hotel itu penuh, sehingga harus mengalihkan ke hotel lain. Atau, tamu inginnya hotel lain.

Perubahan itu, tentu saja membuat harga jadi berubah. Jadi, tergantung permintaan tamu. Hal itu relatif dan tergantung permintaan. “Dan mengenai harga, tidak bisa kita patok dengan harga berapa,” kata Heriyadi.

Paket Cap Go Meh biasanya 3 hari 2 malam. Tamu biasanya dari luar Kalbar. Paling banyak dari Jakarta. Pada hari pertama kunjungan, tamu biasanya mengadakan plesir dengan mengunjungi beberapa wisata dalam kota. Seperti mengunjungi Tugu Katulistiwa, Musium, Istana Kodriyah, dan lainnya. Hari kedua, tamu datang ke Singkawang, pada hari H-nya. Dan setelah hari H-nya, langsung balik ke Pontianak. Hari ketiga, tamu diantar menuju bandara.

Perusahaan perjalanan, tentu saja ingin membuat terobosan baru, sehingga tamu bisa menginap lebih lama. Caranya, dengan membuat paket yang bisa membuat tamu tinggal lebih lama. Paling tidak, selama 4-5 hari. Sehingga daerah lain bisa dikunjungi. Potensi wisata daerah lain, juga tak kalah eloknya. Salah satu contoh, ada di Pemangkat. Di sana ada satu kelenteng tua, biasa disebut Kelenteng Perempuan. Rahibnya seorang perempuan. Di kelenteng ada sumur tak pernah kering. Meski, musim kemarau sedang melanda.

Menyelenggarakan paket tur, tentu saja ada berbagai kendala dan kesulitan. Kesulitan beragam sifatnya. Ada dari pihak tamu, karena memesan mendadak. Atau, kapasitas kamar hotel sudah penuh. Karenanya, untuk acara Cap Go Meh, paling tidak tiga bulan sebelumnya, sudah harus memesan kamar, kata Heriyadi.

Hal itu dibenarkan Budi. Biasanya, pada bulan Januari saja, pihak travel susah memesan hotel, karena kamar telah penuh. Apalagi hotel di Singkawang.

Kesulitan lainnya, bila tamu memesan mendadak. Mendadak dalam artian waktunya. Misalnya, 2 minggu sebelum hari H. Kalau jumlahnya kecil, antara 5-6 orang, hal itu bisa tertangani. Bila jumlahnya besar, tentu akan susah menanganinya. Bila tamu berjumlah 5-6, akan diberangkatkan dengan mobil Kijang. Tapi, bila lebih dari jumlah itu, akan diberangkatkan dengan bis.

Kesulitan dalam memperoleh hotel di Singkawang, biasanya disiasati dengan menggunakan mess Pemda, atau rumah penduduk. Tujuannya, supaya tamu bisa lebih dekat dari tempat berlangsungnya perayaan Cap Go Meh. Bila tamu tidak mau, akan dicarikan alternatif menginap di kota terdekat, seperti Sambas atau Pemangkat. Biasanya di Tanjung Permai, Tanjung Batu, atau hotel lain. Pengalihan ini juga ada tujuannya. “Supaya tamu juga wisata dan melihat daerah lain,” kata Heriyadi.

Imlek dan Cap Go Meh tentu saja berimbas pada jalur transportasi dan penerbangan. Biasanya ada kenaikan jumlah angka penerbangan. “Kenaikan jumlah penerbangan mencapai 30 persen,” kata Heriyadi.

Ada beberapa tahap keramaian. Tahap pertama, ketika Imlek. Orang yang setelah mengikuti Imlek, malas untuk balik dulu karena ingin mengikuti Cap Go Meh. Setelah itu, 1-2 setelah Cap Go Meh, mereka akan pulang. Tahap kedua, biasanya, 2-3 hari sebelum Cap Go Meh, orang baru pulang kampung. Tahap ketiga, peserta tur Cap Go Meh, biasanya 1-2 hari sebelum Cap Go Meh, mereka akan datang.

Untuk Imlek, keramaian biasanya 2-3 hari menjelang Imlek. Bila Imlek ramai, Cap Go Meh biasanya agak sepi. Bila Imlek sepi, maka saat Cap Go Meh akan ramai. “Biasanya yang kita jual itu untuk paket Cap Go Meh, dan bukan paket Imlek. Kedepan, kita juga ingin mengemas sembayang kubur,” kata Heriyadi.

Perayaan Imlek atau Cap Go Meh, punya peluang bisnis bagi perekonomian dan pariwisata, Kalbar. Nah, bagaimana kedepan acara itu harus ditangani dan diselenggarakan?

“Kedepannya, perlu kesiapan semua pihak untuk menyukseskan pariwisata. Sehingga dapat menjual kegiatan promosi pariwisata. Sehingga perekonomian dapat ditingkatkan,” kata Martias.***

Foto by Lukas B. Wijanarko, "Angkot Naik Angkot."
Edisi Cetak, minggu pertama, Desember 2006, Matra Bisnis

Baca Selengkapnya...

Friday, December 1, 2006

Sungai Kapuas: Antara Mitos, Kutukan dan Kenyataan

Oleh; Muhlis Suhaeri

Siapa orang di Indoensia yang tak kenal sungai Kapuas?

Kalau ada yang mengaku tak kenal sungai Kapuas, aku yakin, nilai pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)-nya, pasti jelek. Bukankah, sejak kita sekolah dasar, guru selalu memberi pertanyaan.

Apa nama sungai paling panjang di Indonesia? Jawabnya; sungai Kapuas. Titik.

Ketika itu, bila menyebut nama sungai Kapuas, selalu muncul bayangan, akan suatu petualangan seru. Menyusuri kelok alur sungai. Singgah di perkampungan. Mengamati pola hidup masyarakat, unik dan sahaja. Atau, malah dikejar-kejar penduduk lokal, karena mengintip gadis-gadis kampung sedang mandi.

Ya, bayangan dan fantasi itu muncul, karena aku begitu menikmati tokoh Tom Sawyer karya Mark Twain. Atau, pengembaraan para tokoh di buku Dr Karl May.


Sungai Kapuas merupakan sungai terpanjang di Indonesia. Sungai itu membentang sepanjang 1086 km dari hulu di Kabupaten Putussibau, hingga Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Sungai Kapuas melewati Kabupaten Sintang, Sekadau, Sanggau, Pontianak dan Kota Pontianak. Lebar alur sungai Kapuas sekitar 70-150 meter, dengan kedalaman puluhan meter. Sungai ini, tidak pernah kering sepanjang tahun.

Semua kehidupan di Kalbar, seolah tak lepas dari aliran airnya. Sungai Kapuas menjadi urat nadi. Tak heran, di sepanjang aliran sungai Kapuas, segala yang berbau kehidupan, bakal muncul. Contoh saja, ketika orang Dayak mendirikan rumah betang (rumah panjang). Mereka akan mendirikan rumah di sepanjang aliran sungai. Tujuannya tak lain, memudahkan berbagai aktifitas kehidupan.

Sungai Kapuas menjadi jalur transportasi pengangkutan barang hingga kini. Bahkan, ketika beberapa wilayah kabupaten belum terhubung jalan raya, alur sungai Kapuas sangat penting peranannya. Orang menggunakan alur sungai Kapuas, untuk mengangkut sembilan kebutuhan pokok, hasil kebun, karet, bahkan manusia. Mereka menggunakan perahu motor bandung.

Ini perahu khas. Lebar 4-6 meter dengan panjang belasan meter. Bagian atas perahu menyerupai rumah. Bunyi mesin perahu menggelegar. Berirama ritmis dan konstan. Dung-dung-dung. Itulah yang membuat perahu ini, dinamakan perahu motor bandung.

Ketika RI konfrontasi dengan Malaysia pada tahun 1963, jalur sungai Kapuas begitu penting. Mobilisasi pasukan dari Pontianak ke sepanjang perbatasan, menggunakan perahu motor bandung.

Hingga kini, sungai Kapuas menjadi tempat berlabuh kapal barang dan penumpang dari luar propinsi. Artinya, sungai Kapuas menjadi pintu utama, keluar dan masuknya barang, dan manusia di Kalimantan Barat. Tak hanya itu, sungai Kapuas menjadi air kehidupan bagi masyarakat Kalbar. Masyarakat menggunakan sungai Kapuas untuk air minum, mandi, mengairi sawah dan kebun.

Sungai Kapuas menghidupi segala bentuk kehidupan masyarakat. Tak bisa dibayangkan, seandainya sungai Kapuas, tiba-tiba menghilang. Segala bentuk kehidupan juga bakal terampas.

Orang tidak bisa lagi mendayung sampan, menjual jasa menyeberangi sungai Kapuas. Anak kecil tak lagi berenang dan mandi, barang dan jasa dari luar atau dalam propinsi terhenti, dan Perusahaan Air Minum (PAM) tidak bisa beroperasi, karena tidak ada pasokan air. Apa jadinya?

Bagi aku, sungai Kapuas punya kenangan sendiri. Ini berhubungan dengan mitos dan kutukan. Ada kepercayaan di masyarakat Kalbar, bila orang sudah minum air sungai Kapuas, mereka akan kembali lagi ke Kalbar.

Ketika mendengar cerita ini, aku senyum-senyum saja. Ah, tahyul, kataku. Bagi orang yang telah mempelajari, dan berkutat dengan filsafat Materialisme, Dialektika, dan Historis (MDH), Karl Mark, cerita seperti itu, tentu aku anggap angin lalu saja.

Lalu, apa hubungan sungai Kapuas dengan aku?

Lima belas tahun silam, aku pernah berkeliaran, selama beberapa bulan di Kalbar. Menyambangi kawan. Bergaul di jalanan. Nongkrong di warung kopi. Minum dan mandi di sungai Kapuas. Begadang di tepian alurnya, sambil menikmati air sungai pasang. Pokoknya, tak bisa dipisahkan dengan aliran sungai Kapuas.

Di balik keterbukaan masyarakat, dan sifat kekeluargaannya, ada aura terpendam dan menyimpan bara. Masyarakat tersekat dalam berbagai isu etnis, agama, dan golongan. Alamnya ekstrem dan panas. Sulit mendapat air bersih, karena tanah gambut, dan kadar zat besinya tinggi. Jalan putus di mana-mana. Listrik selalu mati.

Segala konotasi buruk itulah, yang membuatku kembali ke Jawa. Aku ingat betul, sebelum kapal meninggalkan bibir sungai Kapuas, menuju lautan lepas, aku mengeluarkan sebuah kutukan dalam hati, “Aku tak ingin lagi melihat Kalbar.”

Selama belasan tahun, aku melupakan aliran sungai Kapuas. Aku menjalani rutinitas hidup di Jakarta. Tiba-tiba, ada seorang teman mengajak ke Kalbar. Menulis buku. Aku tercenung. Bayangan dan alur sungai Kapuas, kembali hadir. Sebelum pesawat lepas landas dari Cengkareng, aku seolah mencium bau dan aroma sungai Kapuas. Warna airnya. Kuat arusnya. Bonggol kayu terapung yang memenuhi aliran sungai. Ah, ia terlihat begitu dekat.

Menjelang pesawat mendarat, sebuah pemandangan hadir. Nun jauh di bawah, terlihat garis coklat memanjang. Berkelok-kelok tanpa putus di antara warna hijau pudar. Sepanjang sungai Kapuas, hutan telah gundul. Berbagai cabang anak sungainya, membuat sungai Kapuas seperti naga sedang tidur. Yang meletakkan kaki, sungut, dan kepalanya, untuk rehat.

Begitu mendarat, aku langsung bergumam. “Inilah tanah kutukan.” Aku dikutuk. Termakan mitos sungai Kapuas. Barang siapa telah minum air sungai Kapuas, ia akan kembali lagi.

Nyatanya, kutukan berlanjut. Selama hidup hampir setahun di Kalbar, aku harus memutuskan satu perkara. Yang tak pernah kupikirkan sebelumnya. Pernikahan. Kalimat apa itu? Bagiku, pernikahan adalah “kutukan”.

Bagaimana tidak?

Kita dipaksa memahami istri. Keluarga istri. Ayah, ibu, kakak, adik, paman, bibi, atau sederetan nama lainnya. Memaklumi kemauannya. Kesalahannya. Entah apa lagi. Semua itu, tentu menguras energi. Coba tanya, apa devinisi pernikahan pada seribu orang? Niscaya kita akan mendapat seribu jawaban berbeda. Pernikahan, begitu penuh misteri. Ada sesuatu yang harus kita pelajari, tiada henti.

Karena aku merasa telah dikutuk, aku harus bahagia dengan pernikahan ini. Kalau tidak bahagia, aku hanya membuang waktu saja. Begitulah, pikiranku menyikapi arti pernikahan.

Istriku lahir, besar, kuliah, mencari makan untuk hidup, di kota yang dialiri sungai Kapuas. Dalam daging dan aliran darahnya, mengalir denyut sungai Kapuas. Dia juga menjadi saksi dan memberitakan, segala peristiwa yang pernah terjadi di sepanjang sungai Kapuas.

Ya, begitulah. Faktanya, kehidupanku kini, tak lepas dari denyut sungai Kapuas. Sungai yang pernah kukutuk, dan tidak kupercayai mitosnya.

Kini, aku harus meleburkan diri.
Mencari makna mitos dan kutukan sungai Kapuas, dengan kebahagiaan.
Merangkul dan menikmati, setiap aliran dan arus sungai Kapuas, dengan gelegak energi. Memandang dan menikmati tetes demi tetes reguk airnya.

Meski, aliran sungai itu….
telah mengandung merkuri dan berbagai bahan beracun lainnya……

Foto Lukas B. Wijanarko


Baca Selengkapnya...

Those Who are Spread Out.

In the shelter of the refugee, they hope that they can build their self concept, get rid of their trauma, and start their new life. A hollow expectation.

Oleh Muhlis Suhaeri

Sambas, 1999. the flame of hatred is burnt. Those people are grilled by the anger. The riot exploded. The people of Sambas Malay in one side and the Maduranese in the other side. The riot caused many victims from both sides. Children lost their father. Wives lost their husband. Many people hurt, the dead was uncountable.

For the survivors they suffer too. They were expelled from theirs land, and their home for years. In 2001, The National Coordination Agent (Bakornas PBP) did the census to them. It revealed that the total number of the refugee was 58.5 thousand

The government gave them the land in Tebang Kacang. Sungai Raya sub-district, Pontianak. It is about 25 km from Pontianak. Although it is quite near from the capital city, Tebang Kacang is difficult to be reached by the vehicle. It is not included that the land where they lived is peat land.


The infrastructure bring the obstacle for them. People can use the river to Pontianak. But, the cost of the transportation was not worthy with the goods that they bring. The students are also have the difficulties to get the education. Most of the teacher can not stand teaching there. The transportation because of the bad road, caused the teacher can not teach, or they do not want to come there. No wonder if in another region there is a term dropped out students, in Tebang Kacang the term is dropped out teacher.

There is no hope to life in Tebang Kacang. Most of the youth left the relocation. They go to various region in west Kalimantan. There are some of them that go to Malaysia and Saudi Arabia. They become woman workers there.

Now, most of the people that life in the relocation are parents and the widows. A woman institution gathered the widows in an activity. They met once in a few weeks. They strengthen each other and share their story. They make various activity and skill. They were bounded by the feeling of togetherness. They are the people that left behind and broken out.

the riots began from the Parit Setia village, that well known by the bleeding lebaran tragedy. Bambang Hendra Suta Purwana in conflict of ethnic community in sambas 1999 noted that the riot was triggered by an attack to the society on January 19 1999, or on Idhul Fitri. This attack caused 3 villagers died, and 2 people got injured.

There are two version of the cause of that riots. The version of Sambas Malay, on January 17 1999, Hasan bin Niyam, a Maduranese, was caught and hit because he was suspected to steal in Amat bin Tajuin house, a Malay. After being caught, Hasan was arrested by the police.

In the version on Maduranese, 3 people drunk and they took a rented motorbike to Parit Setia village. They suddenly knocked a house and asked for the ride. When the got undressed, they took out their sickle. The house owner scared and yelled to the burglar. That made people came to the house. Ane of them was caught and beated the people.

Many aspects have tried to make peace on the bleeding lebaran. There a peace point, but in other place, there was a stab. Rude, a Maduranese, stab Idris, a Malay. Rudi did not want to pay the fee, so he was stopped on the road. That case triggered the riot to be wider to the entire Sambas.

Subro, an activist Mitra Sekolah said that Sambas riot is just about time. There was a precondition before the riot explode. The riot in 1997 was near to the public election. And the riot in 1999 was also near to the public election. That condition also triggered by the lots of jobless people. Until now, the chronologist and the caused is not finished yet.

The police headquarters, as written in D&R magazine edition 3-8 mei 1999, ever pointed Prof. Parsudi Suparlan to lead the anthropologist, sociology and psychology experts to find out the root of the conflict that happened along 9-20 april 1999. the team member were Prof. Budhisantoso, Prof. Sardjono Jatiman, Prof. Sarlito Wirawan, dan Prof. Syarif Ibrahim Alqadrie.

Suparlan assumed that the conflict between the ethnic communities in sambas happened because the Maduranese in sambas generally want to be the winner. But there are no rules that they obey. Meanwhile, the Malay like Javanese, is more tolerance. Malay people prefer to life in peace. When Maduranese have a trouble, they will directly use their sickle and hurt other people. Malay people was afraid. Because Maduranese knew that malay was afraid to them, they were more brutal.

So, from where did the courage appear on the malay youth? According to Prof. Parsudi Suparlan, in the article in DR magazine, this is the accumulation of the pressure that they have felt for years.

When the riot in sambas were getting bigger, people were carried by a truck and some of them by using the ship of navy seals. ”people who picked up the victim and did the handling from the beginning was the Maduranese, and Maduranese students. The others perhaps became more stereotype, no one moved”, said Subro.

A long debate was still happening between the youth of west Kalimantan and the Maduranese when the refugees got closed to Pontianak. In that meeting, the government refuse to accept the refugees in the public facilities, just like sport building, Sultan Syarif Abdurahman stadion and Khatulistiwa badminton stadion, and hajj dormitory. ”the reason of the refusal was easy, after the handling of the last refugees in 1997, that building was broken, and there were many goods that lost”. Said Subro.

The negotiation was held in the house of West Kalimantan governor. People that attended there were West Kalimantan governor Aspar Aswin, some head of official officers, students, and Maduranese H. Sulaiman. There were a student that was very upset and said, ”Well if we can not accept them, so just let them go to the sea!”

Things that always became the reason for the refusal was that Pontianak will be dump and dirty by the refugees. But finally, the government accepted the refugees in the public place.
All of that sport facilities were used by the refugees. The refugees stream was happened until 2000. in the shelter, the refugees got help just like food. The more refugees, the less the food together with the riots and Sampit, Ambon, Poso, etc.


Sambas riots caused many damages. Burnt houses, many victims. 401 Maduranese were died, 14 Malay, and 1 Dayaknese. Meanwhile 17 Maduranese, 45 Malay, and 3 Dayaknese got injured. Thousand of houses were burnt and crushed. 4367 houses belong to Maduranese, 22 Malay houses, and 21 from other tribes. The damaged house, consist of 239 Maduranese houses, and 6 Malay’s.

The number of the died people was just like the phenomenon of ice berg. Those who legally noted was predicted to be less than the real number of the victims. Many people that disappeared. On behalf of the stability, there were certain sides that intentionally reduced the number of the victims. They buried the body to many places.

The relocation on Tebang Kacang is one relocation from tens relocations that were built by the government after the ethnic riots in sambas. From the beginning, the regional and central government had made a deal to decide the acceleration steps in handling the refugees in 3 steps. First is relocation, deceit program, and reconciliation.

The first step, the government was deciding the relocation in Tebang Kacang. That location was jungle and bushes. The building of the reconstruction were trough some steps. The first step was in 1999. the first relocation that was built names SP (Satuan Pemukiman) 1 in Tebang Kacang. After the separation of the area, SP 1 include to the Mekar sari village area.

SP 1 is the example relocation. The government built 500 houses. The facilities in this area are complete. There is a road that connect to other area, electricity, school, mosques. Every house are facing the road and looks neat. Those houses were 5 x 7 meters width. The wall is made from 2 x 20 cm wood, they were stickled in line cross to the side. The houses are painted by white chalk. Every houses is given a half hectare yard, 1 hectare garden, and 2 hectares for business area. Water is taken from the rain. The water in from the well is reddish to black. It is the features of gambut water. Every houses will have 1500 water place from USAID.

The yard is black and dusty. The village road is a soil with the width about 3 meters. On the left and the right side there are small canal. Various plants grow up around the road. Since the last two years, government made a cement road with 1 meter width on the land road. That cement road only trough the main access in that village. Now, from more than 500 houses, there are only 385 families or 2163 people. They named the SP 1 with Madani.

After 2000. government built some living units like SP 2, SP 3, Zakia, and Rasau 3, etc. The project of relocation building was fully given to the contractor. The price of each house is cheap. Amri, the worker of Husin Baagil, a contractor in Zakia relocation stated that the cost of each house is 3.5 million.

That house was handled by the handyman with the cost is 150 thousand per unit. On three days, that house can be finished. To catch the deadline, every house was done carelessly. The house connector was only nailed. The house was made on the tree stump. Amri did 2000 house building project. It costs Rp 10 billion

There was an irrigation project. The purpose is to take the Kapuas river to the houses. The cost of the project was Rp 6 billion. In that project, government give 100 thousands land. Most of them belong to the government, so the huge cost were not needed for that relocation project. Amri said.

According to Amri, the refugees wanted to moved to 28 Oktober road in Pontianak. But, the land there is belong to the people there, so government has to pay for the payment to the people. There were no budget for that made government placed the relocation in Tebang Kacang and around it.

Another developer, H. Alawi said that the house price for the refugees is cheap. It is 3 million on size 4.5x5 meter. Alawi made the houses in SP 3 relocation. The benefit from that he use to buy the land for the other refugees. In SP 3 there are about 260 hectare. Every family got 25x25 meters land. Government give the farming land for about a quarter hectares.

Alawi is actually a refugee too. He did the evacuation because of the riots between Maduranese and Dayaknese in Sanggau Ledo in 1997. Alawi was born in Pontianak more than 50 years ago. His parents were in West Kalimantan since 1918. now his father is still alive and live in Desa Banjar Billah, Tambelangan sub district, Sampang district, Madura. His parents firstly came to West Kalimantan as a cow trader. He usually put ashore in Pemangkat, in Sambas harbors.

When the riots happened in 1999, government placed the refugees in Untan stadion, hajj dormitory, Pangsuma sport building, Kompi B 643, badminton sport building, Marhaban, Gudang Wajok and rice warehouse Syakirin. The refugees was helped by the government until two years. Every person got 3 ounce of rice each day, Rp 1500,-. It is little, and we understand that government do not have such a big number of money. Alawi said.

Less of the facility for take a bath, washing, the toilet and the sanitation made the many of the refugees got the disease, such as diarrhea, and others. Several people also died in there. There were a doctors, but the number of refugees were so many, so the doctors could not handle them all. Besides that, they were lack of nutrition and food.

The Government also gave two kinds of offering. First, placing the refugee in the relocation area by giving them Rp. 2,5 million, a house five times seven meter, one fourth hectares of field and two hectares industrial land. Second, for those who doesn’t want to be placed in relocation area, the government gave Rp. 5 millions for every head of family.

Alawi persuaded the public to leave the shelter and move to the relocation area. The reason was because of their life when they were in Sambas was not comfortable any longer. There was street, having land, cow, and any kinds of goods. We can say they were rich. Meanwhile, the relocation was merely a forest.

When the refugee moved to relocation SP 1, Alawi was one of those who moved firstly. He lived a year there. The destination is to give spirit and improve togetherness. Alawi had a house in Pontianak, and when he evacuated, he directly bought a house in Sepakat 2.

”Thanks God, we tried with the regional government to persuade them, so that they want to move. If they still stand to be refugee, when will they go forward?” Alwi said.

The movement of the refugee in the first step to SP 1 in 1999 mostly were from refugee in Sanggau Ledo riot. It was about to fail. Then, survey was redone. When the people started to leave the shelter, the other also did the same way. ”Those who leave do not want to stay in GOR Pangsuma and Stadion Untan any longer,” Alwi said.

The first refugee in Tebang Kacang got fertilizer. One family head can get 6 packs of fertilizers: 3 packs of urea, 2 SPs, and one KCl. But, the people couldn’t use the fertilizer. The relocation land was still like a forest. That’s why, they dumped it out, and some sold them. ”Long time ago, it’s difficult for us to pass away the land, moreover to give it fertilizer. If the government wanted to give the fertilizer, today is the right time,” Alwi said.

All cost of refugee came from the center government and taken from APBN. The government promised, if the refugee moved to relocation area, all facilities will be fixed up. In fact, the people had suggested it every month. Without the street, all of agricultural products such as vegetables finally was difficult to bring to Pontianak. If it could, the price must be expensive.

”We have already asked to the provincial government to build street, but there’s no response,” Alawi said. The reason is always about funding, because every region must need it. He realized that, West Kalimantan is not merely Tebang Kacang.

”Anyway, if we can build it step by step, the street will finally be here. And the people also have already been waiting for the promise along six years.”

Mostly, the people were farmers. They had no capital and their skill was just only farming. The problem of having no proper street is the problem till today. Saying that people can bring the agricultural product in the farming land, they would be not fresh anymore because of too long waiting for the boat to Pontianak.

As a picture, if the people will sell the product, he needs to rent a motorbike from the village to stagger (the harbors). The cost to rent the motorbike is about Rp. 7.000 for one people. If he brought a pack, he would be charged for Rp. 7.000. One pack heighten about 50 to 60 kilograms. From Pontianak stagger, he needs to go to boat and pays for Rp. 12.500. Waiting for the boat could take very long time, so that they vegetable could be not fresh anymore. The trip to Pontianak, in fact, needs 4 hours.

When at first moved to Tebang Kacang, Alawi was once mailed by Bengkayang Region Leader, Yakobus Luna. He asked Alawi and the other to go back to Bengkayang.

Government to help the refugees who will return and build a house. Bengkayang local governments have funds for that. Society considers Sanggau Ledo is like your own home. However, there are worries in the community. "Yes, if still Bengkayang Leader Mr. Luna. If other people Bengkayang Leader how? Later can secure no?" Said Alawi, fake greeting residents.

SP 1 citizens can send their children in elementary school of 67. SD is only four have a local building. The number of students as much as 185 people. So, the school turns. When the child class 1, 2, 3, entered the morning, the children's class 4, 5, 6 entering the day. Ideally, the school must build three more local. Two local to the class. A space for local teachers. The number of teachers' own six people.


The teachers’ office is in the warehouse. Teacher should add their number into nine people. They do not want to stay because the water is difficult to get. Honestly, we so not want to burden other teacher. Whoever come to teach, will replace other teachers that absent, Isbani said.

When first time teaching in 2001, Isbani not directly teach. But he looked for the information door to door to ask the people tell their experience. At the beginning, i taught not to make the students cleverer but to lost their trauma. Isbani said.

How? It is by playing while learning method, singing or make some jokes. For example, learning mathematics by singing. And by story telling method. He did it from 2001-2004. Isbani did not work alone. There are some human institution that have the program in the relocation area.

The private school is 9 km away from the relocation SP 1. to continue their education to high school, the students should come to Pontianak. Nowadays, there is SP 1 junior high school. He was feel challenged by the society to handled the students that have graduated from elementary school. With his own hard work, private junior high school was built. The first students were 17 people. One year later, he asked for operational permission. But it was not given to him. The reason is the junior high school is not worthy t get that. And that junior high school was held for two years.

In teaching, Isbani and other teacher do not get the salary. Finally he asked for help to the education department and that school become open school with module system. Now the students there are 40 people. In order to make the students want to study, Isbani has to fight by going to his students one by one. When there is a students that have difficulties in learning, and come to him after the school, he also happily accept them.

Isbani hopes that government are serious to give their attention to the teachers. Isbani himself do not have the transportation support or others. The insufficient facilities of the road caused the people can not have well education. Based on the data from education department, in 2004, the illiterate people in West Kalimantan in 131.590. From that number, 25.018 people are in Pontianak district.

The number of dropped out and poor students are plenty. According to Kholifah from human institution in Mekar village, SP 3, there are 154 people. They are students of elementary school and junior high school. In Zakiah village, there are 38 children. Oaks are expensive, so they can not afford to buy books.

The worst is in Zakiah relocation. To reach another area, people should cross the river the river and pay for Rp 10.000,-. If the children in the Zakia relocation want to get the education in junior high school, they have to cross the river. In Zakia, there is an elementary school. But teachers there are inactive. They like to make holiday longer and often absent in the school. Many people that protest that behavior.

The relocation of the refugees in SP 2, is worst. That relocation was built since 2000. the number of the family are 420, and the number of the people are 2114. most of the refugees are from Sejangkung sub district and Sekura, sambas.

In this relocation, there is no electricity. Whereas the distance from the electric pole is only 2 km. Long ago we were asking for the electricity to the government. Now, we want to pay it, so the electricity can reach SP 2. but until now, it can not be happen. Nihun said, he was the person who proposed the entrance of the refugees to the relocation SP 2.

People there live by farming. They plant the rice, corn, vegetables, ginger and pineapple. The marketing of the pineapple are difficult because there is no place to sell it. Ginger is the most developed plant there. Its age can reach 4-5 month. Ginger seeds 50 kg, can make 500 kg harvest. Its price is Rp 5000 per kg. It even can reach Rp 8000 per kg. The difficulty of transportation makes ginger price in relocation become Rp 2000 or kg. In relocation Sp 2, people can have tons of ginger.

But the result of farming is more difficult to sell. Moreover in rainy season, there will be no buyers, because the road can not passed.

Government promised to build the road. But infect, until now there is no road building. The reason is government lack of fee. SP 2 is only 11 km from Supadio airport Pontianak.
People have to ride their bicycle for about 5 km to sell their goods to the market. It can be given to other people, but the cost for it is expensive too. One bags is usually 50 kg.

In relocation SP 2, people get a house, a 25x200 meters land. That is the yard. The yard for business until now can not be given, while government promised to give 2 hektare for each family.

If the economic condition, it can be said that we will forget about the riots. But, when we find the difficulty, we will remember about it again. Nihun said. **


Indonesia Play Boy Magazine, December 2006

Baca Selengkapnya...

Mereka yang Tercerabut

Di pengungsian, mereka berharap bisa membangun jati diri, menghilangkan trauma, memulai hidup baru. Harapan yang hampa.

Oleh Muhlis Suhaeri

SAMBAS, 1999. Api kebencian berkobar. Orang-orang terpanggang amarah. Kerusuhan meledak. Masyarakat Melayu Sambas di satu pihak, etnis Madura di pihak lain. Korban berjatuhan dari keduanya. Anak kehilangan ayah. Istri kehilangan suami. Banyak yang terluka, tak terhitung yang mati.

Bagi yang selamat, tak kalah menderita. Mereka terusir dari tanah, dan tempat tinggalnya selama puluhan tahun. Tahun 2001, Bakornas PBP melakukan pendataan terhadap mereka. Terungkap, pengungsi sedikitnya berjumlah 58,5 ribu.

Pemerintah memberi mereka lahan di Tebang Kacang, Kecamatan Sungai Raya, Pontianak. Jaraknya sekitar 25 km dari Kota Pontianak. Meski terbilang dekat dari ibu kota propinsi, Tebang Kacang sulit dijangkau kendaraan. Belum lagi lahan yang mereka tinggali melulu tanah gambut. Susah sekali dijadikan lahan pertanian. Kalaupun menghasilkan sayuran, jagung atau buah, sulit memasarkannya.


Infrastruktur menghambat mereka. Orang bisa saja memanfaatkan jalur sungai menuju Pontianak. Tapi, ongkos angkutan tak sepadan dengan barang bawaan.
Anak sekolah juga mengalami kesulitan memperoleh pendidikan. Sebagian besar guru tak sanggup mengajar di sana. Sulitnya transportasi akibat kondisi jalan, menyebabkan guru tidak mengajar, atau enggan datang ke sana. Tak heran, bila di daerah lain ada istilah anak putus sekolah, istilah itu tidak berlaku di Tebang Kacang. Yang ada adalah “guru putus sekolah”.

Tak ada harapan hidup di Tebang Kacang. Sebagian besar pemuda dan pemudi meninggalkan relokasi. Mereka merantau ke berbagai daerah di Kalbar, untuk memperbaiki nasib. Banyak juga yang ke Malaysia dan Arab Saudi. Menjadi TKW di sana.

Kini, sebagian besar penghuni relokasi adalah orang tua dan para janda. Sebuah LSM perempuan menghimpun para janda dalam suatu kegiatan. Mereka bertemu beberapa minggu sekali. Saling menguatkan dan berbagi cerita. Mereka membuat berbagai kegiatan dan ketrampilan. Mereka diikat oleh satu perasaan dan nasib. Nasib orang-orang yang tersingkir dan tercerabut.


KERUSUHAN BERAWAL dari Desa Parit Setia, yang dikenal dengan Tragedi Lebaran Berdarah. Bambang Hendarta Suta Purwana dalam Konflik Antarkomunitas Etnis di Sambas 1999 mencatat, kerusuhan dipicu oleh suatu serangan terhadap warga pada 19 Januari 1999, bertepatan dengan Hari Raya Idhul Fitri. Penyerangan ini menyebabkan tiga warga desa itu meninggal dunia, dan dua orang menderita luka.

Ada dua versi awal penyebab peristiwa. Versi orang Melayu Sambas, pada 17 Januari 1999, Hasan bin Niyam, warga Madura, ditangkap dan dipukuli karena dianggap mau mencuri di rumah Amat bin Tajuin, warga Melayu. Setelah ditangkap, Hasan diserahkan pada polisi.

Versi orang Madura, tiga orang mabuk numpang ojek dan diturunkan di Desa Parit Setia. Mereka lantas menggedor rumah dan minta tumpangan. Saat membuka baju, mereka mengeluarkan clurit. Pemilik rumah takut dan berteriak maling. Akibatnya, warga berdatangan. Ketiganya lari. Seorang dari mereka tertangkap dan dihajar massa.

Berbagai pihak mendamaikan peristiwa lebaran berdarah. Ada titik temu. Tapi, di tempat lain terjadi penusukan. Rudi, warga Madura, menusuk Idris, kernet warga Melayu. Rudi tidak mau membayar ongkos, sehingga diturunkan di jalan. Penusukan itu menyulut kembali kerusuhan makin meluas ke berbagai wilayah di Sambas.

Subro, seorang aktifis LSM Mitra Sekolah menuturkan, kerusuhan Sambas hanya soal waktu. Ada prakondisi sebelum kerusuhan meledak. Kerusuhan 1997, waktunya menjelang Pemilu 1998. Kerusuhan 1999, juga menjelang Pemilu 1999. “Kondisi juga dipicu banyaknya kaum pengangguran. Sampai sekarang, kronologi dan penyebabnya tidak tuntas,” kata Subro.

Mabes Polri, sebagaimana ditulis majalah D&R edisi 3-8 Mei 1999, sempat menunjuk Prof. Parsudi Suparlan guna memimpin pakar antropologi, sosiologi, dan psikologi, untuk meneliti akar konflik itu selama 9-20 April 1999. Tim dianggotai Prof. Budhisantoso, Prof. Sardjono Jatiman, Prof. Sarlito Wirawan, dan Prof. Syarif Ibrahim Alqadrie.

Suparlan berpendapat, konflik antarkomunitas etnis di Sambas terjadi karena orang Madura yang ada di Sambas atau di Kalbar, umumnya bersifat ingin menang-menangan. Tidak ada patokan aturan yang mereka ikuti. Sementara itu, orang Melayu seperti orang Jawa, lebih nrimo, mengalah. Orang Melayu lebih senang hidup rukun damai daripada cari perkara. Orang Madura sekiranya ada persengketaan sedikit, langsung cabut clurit. Membacok. Orang-orang Melayu takut. “Karena orang Madura tahu orang Melayu takut, ya, mereka menjadi lebih sewenang-wenang lagi.”

Lalu, dari mana munculnya rasa keberanian anak-anak muda Melayu? Menurut Prof. Parsudi Suparlan, dalam artikel di majalah DR, “Ini adalah akumulasi rasa tertekan bertahun-tahun.”


KETIKA KERUSUHAN di Sambas makin meluas, masyarakat diangkut dengan truk, dan sebagian lagi dengan kapal perang milik TNI AL. “Yang melakukan penjemputan dan penanganan dari awal, orang Madura, dan mahasiswa Madura. Yang lain, mungkin karena sudah terlanjur menjadi stereotip, tidak ada yang bergerak,” kata aktivis Subro.

Masih terjadi perdebatan alot antara Pemda Kalbar dengan mahasiswa, dan tokoh masyarakat Madura ketika pengungsi mendekati Pontianak. Dalam rapat itu, Pemda menolak menempatkan pengungsi di berbagai fasilitas umum, seperti komplek GOR Pangsuma, Stadiun Sultan Syarif Abdurrahman, Stadiun Bulu Tangkis Khatulistiwa, dan asrama haji. “Alasan penolakan sepele saja. Paska penampungan pengungsi tahun 1997, sebagian gedung itu rusak, dan barangnya banyak yang hilang,” kata Subro.

Negosiasi berlangsung di rumah pendopo gubernur Kalbar. Hadir pada acara itu, Gubernur Kalbar Aspar Aswin, beberapa kepala dinas, mahasiswa dan tokoh Madura, H. Sulaiman. Sangking kesalnya dengan sikap pemerintah, ada mahasiswa yang kesal dan berkata, “Ya, sudah. Kalau tidak bisa ditampung, kita biarkan saja mereka di tengah laut.”

Yang selalu dijadikan alasan bagi penolakan adalah bahwa kota Pontianak akan kumuh dan kotor oleh para pengungsi. Tapi akhirnya sikap pemerintah melunak dan menampung pengungsi di tempat umum.

Semua fasilitas olah raga itu dipakai pengungsi. Arus pengungsi terjadi hingga 2000. Dalam penampungan, pengungsi mendapat bantuan makanan dan lauk pauk.
Pengungsi makin banyak, makanan kurang, seiring meletusnya kerusuhan Sampit, Ambon, Poso dan lainnya.

Kerusahan Sambas membuat kerusakan di sana-sini. Rumah terbakar, korban berjatuhan. Mereka yang meninggal mencakup 401 warga Madura, 14 warga Melayu, dan satu orang Dayak. Sedangkan yang terluka meliputi 17 warga Madura, 45 warga Melayu, dan tiga warga Dayak. Ribuan rumah terbakar dan hancur. Rinciannya, rumah terbakar terdiri atas 4.367 rumah orang Madura, 22 rumah orang Melayu, dan 21 rumah lain-lain. Sedangkan rumah rusak terdiri atas 239 rumah warga Madura dan 6 rumah warga Melayu.

Jumlah korban meninggal seperti fenomena gunung es. Yang tercatat secara resmi diduga jauh lebih sedikit ketimbang korban sebenarnya. Banyak orang tidak diketahui rimbanya. Atas nama stabilitas, ada pihak tertentu sengaja memperkecil jumlah. Caranya, menyembunyikan mayat dan menguburkannya di berbagai tempat.


RELOKASI TEBANG Kacang merupakan salah satu relokasi dari puluhan relokasi yang dibangun pemerintah paskakerusuhan antarkomunitas etnis di Sambas. Awalnya, pemerintah daerah dan pusat telah bersepakat, menentukan langkah percepatan dalam menangani pengungsi melalui tiga tahap. Pertama, pengalihan (relokasi). Kedua, pola pemberdayaan. Ketiga, pemulangan (rekonsiliasi).

Tahap pertama pemerintah menentukan relokasi di Tebang Kacang. Lokasi itu semula hutan dan semak belukar. Pembangunan relokasi melalui beberapa tahap. Tahap pertama pada 1999. Relokasi pertama yang dibangun bernama SP (Satuan Pemukiman) 1 di Tebang Kacang. Setelah pemekaran wilayah, SP 1 masuk ke dalam wilayah Desa Mekar Sari.

SP 1 merupakan relokasi percontohan. Pemerintah membangun 500 unit rumah. Daerah ini relatif lebih lengkap sarana dan prasarananya. Ada jalan menghubungkan ke daerah lain, listrik, sekolah, mushola dan masjid. Setiap rumah berjajar menghadap jalan dan terlihat rapi. Rumah itu berukuran lima kali tujuh meter. Dinding rumah terbuat dari papan kayu berukuran dua kali dua puluh centimeter, dan dipasang sejajar menyilang ke samping. Rumah dicat dengan kapur putih. Setiap rumah diberi lahan setengah hektar pekarangan, satu hektar lahan kebun, dan dua hektar lahan usaha. Air diperoleh dari tadah hujan. Sumur digali akan menghasilkan air berwarna merah kehitaman, khas air gambut. Setiap rumah mendapat tandon air 1500 liter dari USAID.

Tanah pekarangan berwarna hitam dan berdebu. Jalan desa berupa tanah dengan lebar sekira 3 meter. Di samping kanan dan kiri jalan ada kanal kecil. Berbagai tanaman tumbuh dan menjalar di sekitar jalan. Sejak dua tahun terakhir, pemerintah membuat jalan dari semen selebar satu meter di atas jalan tanah. Jalan semen hanya melewati jalanan yang dianggap sebagai akses dan jalan utama di desa itu. Kini, dari 500 rumah yang dibangun, hanya ada 385 KK dengan jumlah 2.163 jiwa. Masyarakat memberi nama SP 1 dengan nama Madani.

Selepas tahun 2000, pemerintah membangun beberapa satuan pemukiman, seperti, SP 2, SP 3, Zakia, Rasau 3, dan lainnya. Proyek pembangunan relokasi, sepenuhnya diberikan pada pemborong. Harga setiap rumah terbilang kecil. Amri, anak buah dari Husin Baagil, seorang pemborong di relokasi Zakia mengemukakan, “Proyek pembuatan rumah besarnya Rp 3,5 juta setiap unit,” kata Amri.

Rumah itu diborongkan ke tukang dengan harga Rp 150 ribu per unit. Dalam waktu tiga hari, rumah itu selesai. Untuk mengejar waktu, setiap rumah dikerjakan dengan sembarangan. Sambungan rumah tidak diberi coakan dan langsung dipaku. Istilahnya langsung tancap. Rumah pun didirikan di atas tunggul kayu yang belum sepenuhnya dibabat. Amri mengerjakan proyek pembuatan rumah sekitar 2000 rumah. Proyek pembuatan rumah sebesar Rp 10 milyar.


ADA JUGA proyek pembuatan irigasi. Tujuannya, mengalirkan air Sungai Kapuas menuju pemukiman. Nilai proyek pembuatan irigasi sebesar Rp 6 milyar. Dalam proyek itu, pemerintah membebaskan tanah sekitar 100 ribu hektar. “Sebagian besar tanah yang dibebaskan milik pemerintah, sehingga tidak butuh dana besar untuk proyek relokasi itu,” kata Amri.

Menurut Amri, awalnya pengungsi ingin pindah ke jalan 28 Oktober di Pontianak. Namun, tanah sepanjang jalan itu sudah menjadi milik rakyat, sehingga pemerintah akan mengeluarkan uang besar untuk ganti rugi. Tidak adanya dana, membuat pemerintah menempatkan pengungsi di relokasi Tebang Kacang dan sekitarnya.

Seorang pemborong lain, H. Alawi mengatakan, “Harga rumah untuk pengungsi masih murah, Rp 3 juta dengan ukuran 4,5x5 meter.” Alawi mengerjakan rumah di relokasi SP 3. Hasil keuntungan mengerjakan rumah, ia gunakan membeli tanah bagi penempatan pengungsi lainnya. Di SP 3 ada sekitar 260 hektar. Setiap keluarga mendapat tanah 25x25 meter. Pemerintah menyediakan lahan pertanian seperempat hektar.

Alawi pengungsi juga sebenarnya. Dia mengungsi karena kerusuhan antarkomunitas etnis Madura dan Dayak di Sanggau Ledo, 1997. Alawi kelahiran Pontianak, lebih 50 tahun lalu. Orang tuanya sudah berada di Kalbar sejak tahun 1918. Sekarang ini, orang tua lelaki masih hidup dan tinggal di Desa Banjar Bilah, Kecamatan Tambelangan, Kabupaten Sampang, Madura. Orang tua pertama kali ke Kalbar untuk berdagang sapi antarpulau dan biasa mendarat di Pemangkat, pelabuhan di Sambas.

Ketika kerusuhan kembali terjadi tahun 1999, pemerintah menempatkan pengungsi di Stadiun Untan, asrama haji, GOR Pangsuma, Kompi B 643, GOR Bulu Tangkis, Marhaban, gudang Wajok, dan gudang beras Syakirin. Pengungsi dihidupi hingga dua tahunan. Setiap orang dapat jatah 3 ons beras per hari. Jatah uang lauk pauk sebesar Rp 1.500. “Kecil memang. Dan kita memahami bahwa pemerintah tidak punya dana banyak untuk itu,” kata Alawi.

Minimnya sarana MCK (mandi, cuci, kakus) dan kebersihan lingkungan, membuat banyak pengungsi mengalami berbagai penyakit, seperti diare, dan penyakit lainnya. Tak sedikit pula yang meninggal dalam penampungan. Memang ada dokter dan mantri. Tapi, sangking banyaknya pengungsi, pelayanan tidak tertangani. Petugas kesehatan kurang, gizi dan makanan juga kurang.

Pemerintah memberikan dua penawaran. Pertama, menempatkan pengungsi di relokasi dengan memberi uang Rp 2,5 juta, rumah ukuran lima kali tujuh meter, seperempat hektar tanah pekarangan dan dua hektar lahan usaha. Kedua, bagi yang tidak mau ditempatkan di relokasi, pemerintah memberi uang Rp 5 juta, setiap KK.

Alawi membujuk warga meninggalkan berbagai penampungan dan pindah ke relokasi. Usahanya menemui kendala. Ada yang setuju. Namun, banyak juga menolak. Alasannya, kehidupan mereka sewaktu di Sambas, sudah enak. Ada jalan, punya tanah sendiri, sapi, dan berbagai barang lainnya. Istilahnya, sudah kaya. Sementara relokasi hanyalah sebuah hutan dan belukar.

Ketika pengungsi pindah ke relokasi SP 1, Alawi termasuk yang pindah pertama kali. Ia tinggal setahun di sana. Tujuannya tak lain, memberi semangat dan kebersamaan. Alawi punya rumah di Pontianak. Saat mengungsi, ia langsung beli rumah di Sepakat 2.

“Alhamdulillah, kami berusaha dengan pemerintah daerah membujuk mereka, sehingga mau pindah. Soalnya, kalau tetap bertahan jadi pengungsi, kapan mau maju lagi?” kata Alawi.

Perpindahan pengungsi tahap awal ke SP 1 pada 1999, kebanyakan dari pengungsi kerusuhan di Sanggau Ledo. Pemindahan itu hampir gagal. Lalu, pendataan dilakukan kembali. Ketika orang mulai meninggalkan tempat pengungsian, yang lain juga menyusul pindah. “Yang pindah itu, orang yang tidak mau lagi tinggal di GOR Pangsuma dan di Stadiun Untan,” kata Alawi.


PENGUNGSI PERTAMA kali Tebang Kacang mendapatkan pupuk. Satu KK mendapatkan 6 karung pupuk: tiga karung urea, dua SP, dan satu KCl. Tapi, warga tidak bisa menggunakan pupuk. Tanah relokasi masih berupa hutan. Karenanya, warga membuang atau menjualnya. “Dulu kita lewat saja sulit, apalagi untuk pupuk. Kalau mau memberi pupuk, ya, sekarang ini,” kata Alawi.

Semua dana penanganan pengungsi berasal dari dana pemerintah pusat dan diambil dari APBN. Ketika itu, pemerintah berjanji, kalau pengungsi pindah ke relokasi, semua sarana dan prasarana, fasilitas jalan, dan lainnya akan diperbaiki. Tapi, pemerintah hingga saat ini tidak melakukan itu. Padahal masyarakat setiap bulan mengusulkannya. Dengan tidak adanya jalan, akhirnya semua hasil pertanian, seperti sayur dan lainnya, sulit dibawa ke Pontianak. Dan kalau pun bisa, mahal harganya.

“Kita sudah minta pada pemerintah propinsi untuk membangun jalan, tapi sampai sekarang belum ditanggapi,” kata Alawi. Alasanya selalu terbentur masalah dana, karena semua daerah memerlukannya. Ia sadar bahwa, Kalbar bukan Tebang Kacang saja. “Tapi, kalau sedikit demi sedikit dibangun, jalan itu akan selesai juga. Dan masyarakat sudah menunggu janji itu, hingga 6 tahun lamanya.

Sebagian besar masyarakat adalah petani. Modal tak ada dan kemampuan hanya bertani. Masalah jalan menjadi kendala hingga sekarang. Kalaupun mengangkut hasil kebun, akan layu karena kelamaan menunggu motor air ke Pontianak.

Sebagai gambaran, bila masyarakat akan memasarkan hasil kebunnya, ia harus naik ojek motor dari pemukiman ke steiger (tempat pemberangkatan perahu motor). Biaya ojek Rp 7.000 untuk satu orang. Bila membawa karung, dikenakan biaya Rp 7.000. Satu karung sekitar 50-60 kilogram. Dari steiger ke Pontianak dengan perahu biayanya Rp 12.500 perorang. Biaya satu karung naik perahu Rp 2.500. Kalau ada modal, bawa 2-3 karung. Menunggu motor air lama sekali, hingga sayuran menjadi layu. Perjalanan ke Pontianak bisa hingga empat jam lamanya.

Waktu pertama kali pindah relokasi Tebang Kacang, Alawi sempat disurati bupati Bengkayang, Yakobus Luna. Dia meminta supaya Alawi dan warga lainnya, kembali ke Bengkayang.

Pemerintah membantu para pengungsi yang akan kembali dan membangun rumahnya. Pemda Bengkayang punya dana untuk itu. Masyarakat menganggap Sanggau Ledo sudah seperti kampung halaman sendiri. Namun, ada kekuatiran di masyarakat. “Iya, kalau bupatinya masih Pak Luna. Kalau bupatinya orang lain bagaimana? Nanti bisa aman ndak?” kata Alawi, menirukan ucapan warga.

Warga SP 1 bisa menyekolahkan anaknya di SD Negeri 67. SD itu hanya punya empat lokal gedung. Jumlah siswa sebanyak 185 orang. Jadi, waktu sekolahnya bergilir. Bila anak kelas 1, 2, 3 masuk pagi, maka anak kelas 4, 5, 6 masuk siang. Idealnya, sekolah harus membangun tiga lokal lagi. Dua lokal untuk kelas. Satu lokal untuk ruang guru. Jumlah guru sendiri enam orang.

Kantor guru berada di gudang. Guru seharusnya juga bertambah menjadi sembilan. Mereka tidak mau tinggal karena air sulit. “Terus terang kita tidak mau memberatkan sesama guru. Siapa saja yang masuk, akan menggantikan yang lain,” kata Isbani.

Guru seminggu empat kali masuk dan digilir liburnya. Dengan cara itu, guru bisa mengerjakan pekerjaan lain. Seperti, memberi les atau pendidikan tambahan bagi siswa. Kalau di kota tentu lebih gampang mencari hal itu.

Ketika pertama kali mengajar pada 2001, Isbani tidak langsung mengajar. Tapi, mencari informasi dari rumah ke rumah dan minta masyarakat menceritakan pengalamannya. “Awalnya, saya mendidik tidak untuk mencari pintar anak. Tapi, untuk menghilangkan trauma,” kata Isbani.

Caranya? Dengan metode bermain sambil belajar, bernyanyi atau melawak. Misalnya, belajar matematika sambil bernyanyi. Dan metode bercerita. Ia menjalaninya dari 2001 hingga 2004. Isbani tidak kerja sendiri. Ada beberapa LSM punya program di daerah relokasi.


SMP SWASTA terdekat berjarak 9 Km dari relokasi SP I. Untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan SMA, siswa harus ke Pontianak. Sekarang ini, di SP 1 ada SMP terbuka. Awalnya, ia merasa ditantang oleh masyarakat, siap tidak untuk menampung lulusan SD. Dengan jerih payah, muncullah SMP Swasta Madani. Murid pertama berjumlah 17 orang. Satu tahun kemudian, ia minta ijin operasional. Ijin tidak turun. Alasannya, SMP tidak layak. Padahal, tujuannya adalah memaksimalkan anak belajar. SMP sudah berlangsung dua tahun.

Untuk mengajar, Isbani dan guru lainnya tidak ada honor. Akhirnya, ia minta bantuan ke dinas pendidikan, dan sekolah itu dijadikan sekolah terbuka, dengan sistem modul. Sekarang ini siswanya ada 40 orang. Supaya siswa tetap mau belajar, Isbani harus berjibaku dengan mendatangi muridnya satu persatu. Ketika ada siswa SMP terbuka kesulitan belajar, dan mendatanginya ketika jam mengajar SD, ia juga dengan terbuka menerimanya.

Isbani berharap pemerintah tidak setengah-setengah memberi perhatian pada guru. Isbani sendiri tak punya tunjangan transportasi dan lainnya. Buruknya sarana dan prasarana jalan membuat masyarakat tidak bisa mengenyam pendidikan dengan layak. Menurut data dari Dinas Pendidikan, pada tahun 2004, masyarakat buta huruf di Kalbar, sebesar 131.590. Dari jumlah itu, sebanyak 25.018 terdapat di Kabupaten Pontianak.

Jumlah anak miskin dan putus sekolah, juga banyak. Menurut Kholifah dari LSM Pekka, di Desa Mekar Sekar, SP 3, berjumlah 154 orang. Mereka adalah anak SD dan SMP. Di Desa Zakiyah, ada 38 anak. “Buku harganya mahal, sehingga tidak sanggup beli buku,” katanya.

Lebih parah lagi di relokasi Zakia. Untuk mencapai daerah lain, orang harus menyeberangi sungai dan membayar ongkos Rp 10.000. Kalau anak relokasi di Zakia ingin sekolah SMP, mereka harus menyeberangi sungai. Di Zakia ada SD, tapi guru tidak aktif. Kalau ada libur setengah bulan, bisa menjadi satu bulan, karena gurunya tidak masuk. Warga memprotes guru yang sering bolos itu.


RELOKASI PENGUNGSI di SP 2, kondisinya lebih memprihatinkan. Relokasi itu dibangun sejak tahun 2000. Jumlah KK 420, dan jumlah penduduknya sebesar 2.114 jiwa. Sebagian besar pengungsi berasal dari Kecamatan Sejangkung dan Sekura, Sambas.

Di relokasi ini tidak ada listrik. Padahal, jarak tiang dengan lokasi rumah penduduk cuma satu Km. Kalau ketiang besar, gardu, jaraknya sekitar dua Km. “Dulu, kita memang minta listrik dari pemerintah. Sekarang ini, kita mau membayar, supaya listrik sampai di SP 2. Tapi, sampai sekarang tidak bisa juga,” kata Nihun, orang yang ikut mempelopori masuknya warga pengungsian ke relokasi SP 2.

Warga hidup dengan bertani. Mereka menanam padi, jagung, sayuran, jahe, dan nanas. Nanas pemasarannya agak sulit, karena tidak ada penampungnya. Jadi, tidak kelihatan jumlahnya dan tergantung tempatnya. Jahe merupakan tanaman paling dikembangkan masyarakat. Usia jahe 4-5 bulan. Bibit jahe 50 kg, bisa menghasilkan panen 500 kg. Jahe di pasaran harganya mencapai Rp 5.000 perkilo, bahkan bisa menembus angka Rp 8.000. Sulitnya transportasi membuat harga jahe berkisar di angka Rp 2000 perkilo di relokasi. Di relokasi SP 2, masyarakat bisa menghasilkan jahe hingga berton jumlahnya.

Tapi hasil pertanian susah dijual. Lebih-lebih kalau sudah musim hujan, tidak akan ada pembeli satu pun. Jalan tidak bisa dilewati.

Pemerintah berjanji akan mengusahakan pembangunan jalan. Nyatanya, hingga sekarang tidak ada pembangunan jalan. Alasannya, pemerintah kekurangan dana. SP 2 berjarak 4,2kilometer dari jalan aspal terakhir. Padahal, relokasi ini hanya berjarak 11 Km dari Bandara Supadio Pontianak.

Orang harus bersepeda sekitar lima kilometer untuk menjual hasil bumi ke pasar terdekat. Bisa diupahkan ke orang. Tapi harga upah mahal juga. Satu kilo Rp 400 sampai aspal terakhir. Satu karung biasanya 50 kilo.

Di relokasi SP 2, warga mendapat rumah, dan tanah berukuran 25 meter kali 200 meter. Itu lahan pekarangan. Lahan usahanya sampai sekarang belum dapat. Pemerintah memberikan janji satu hektar bagi setiap KK.

“Kalau ekonomi lancar, boleh dikatakan kita akan melupakan kerusuhan itu. Tapi, ketika menemukan kesulitan, kita akan teringat kembali,” kata Nihun.**

Foto by Nurul Hayat.
Edisi cetak ada di majalah Play Boy Indonesia, edisi Desember 2006.

Baca Selengkapnya...