Sunday, May 27, 2007

Harkitnas adalah…..

Oleh: Muhlis Suhaeri

Hari itu, matahari masih sepengalah. Belum terlalu siang. Namun, waktu seolah berputar dengan cepat di Gedung Olahraga (GOR) Pangsuma, Pontianak. Puluhan orang beraktivitas dan hanyut dengan kegiatan masing-masing. Ada yang main futsal, lari pagi, jalan-jalan, atau belajar mengemudi mobil.

Pada satu sudut, deretan orang duduk dan berbincang dalam satu warung. Mereka para instruktur mengemudi. Seorang lelaki muda, nampak serius mengajar muridnya mengemudi. Namanya Wawan. Sudah tiga tahunan ini, dia mencari nafkah di sana. Setiap hari, ia mengajar orang belajar mengemudi. Baginya, kehidupan adalah, sesuatu yang terus berputar. Berubah dan dinamis. Seperti, roda mobil yang selalu ia pijak, tiap hari.

Ketika, ditanya tentang makna dan semangat Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas), dengan spontan ia menjawab. “Sekarang ini, belum dikatakan reformasi. Pemimpin masih begitu-begitu saja,” kata Wawan.

Ia mencontohkan, masih banyak masalah di pembangunan. Alhasil, pembangunan kurang berkembang. Ia mencontohkan pembangunan pasar. Sedari dulu, pembangunan pasar kacau dan semrawut.


Menurutnya, Kota Pontianak masih tertinggal dalam bidang pembangunan, karena gaya pemimpinnya kurang tegas. Pemimpin bukan dari orang pemerintahan. “Harusnya dari orang politik, sehingga dalam melakukan pembangunan bisa berjalan,” kata Wawan.

Seharusnya ada kegiatan yang dilaksanakan. Selain itu, pemimpin jarang terjun langsung ke masyarakat. Hal itu dibenarkan Nunung, seorang perempuan paruh baya. Ia sudah 12 tahun berjualan di sekitar stadion Pangsuma.

Bagi Wawan dan Nunung, pembangunan jalan punya arti penting. Sekarang ini, masalah itu kurang tergarap dengan baik. Pembangunan jalan lambat. Di pusat kota, jalan semestinya dilebarkan. Faktanya, hal itu kurang terlaksana. Padahal, jalan merupakan prasarana mempermudah mobilitas penduduk. Jalan penting bagi kelancaran perdagangan, ekonomi, dan kegiatan lain, antar daerah.

Menurut data Kalimantan Barat Dalam Angka (KDA) 2006, luas Kalbar 146.807 km2 atau 7,53 persen dari luas Indonesia. Luas ini setara dengan 1,13 kali luas pulau Jawa. Sebagian besar luas tanah di Kalbar adalah hutan (42,32%), padang/semak belukar/alang-alang (34,11%), areal perkebunan 1.574.855,50 atau 10,73 persen. Dari luas itu, areal untuk pemukiman berkisar 0,83 persen.

Dari luas wilayah itu, pembangunan jalan masih sedikit. Hingga 2004, pembangunan jalan sekitar 6.147,93 km. Terdiri dari jalan negara 1.575,32 km (9,17%), jalan propinsi 1.517,93 km (16,30%), dan jalan kabupaten/kota sepanjang 4.630 km (69,11%).

Jumlah kendaraan bermotor yang tercatat pada Direktorat Lalu Lintas Polda Kalbar, secara umum mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Pada 2004, tercatat 476.698 dari berbagai jenis. Padahal, pada 2003, hanya sebesar 422.854 buah. Dengan demikian, terjadi peningkatan sebesar 12,73 persen.

Sepeda motor mendominasi jenis kendaraan, dengan persentase mencapai 88,61 persen. Jika dibandingkan tahun sebelumnya, jumlah sepeda motor pada 2004, mengalami peningkatan 14,04 persen. Dengan penambahan kendaraan setiap tahunnya, sementara ruas dan panjang jalan tak bertambah, berakibat pada kemacetan.

Repotnya lagi, pemerintah tidak mengantisipasi hal itu. “Pemerintah hanya memikirkan pembangunan mall saja,” kata Wawan.

Ia mencontohkan akan dibangunnya super mall di gedung olah raga (GOR) Pangsuma, Jalan A Yani, Pontianak. Pembangunan itu menggusur keberadaan gedung olah raga milik KONI. Lagi-lagi, kepentingan masyarakat, tergusur oleh kepentingan pribadi. “Ke mana orang mau berolah raga?” kata Wawan.

Masalah air bersih juga kendala utama di Kalbar. Menurut data dari KDA, laporan dari PDAM seluruh Kalimantan Barat, pada tahun 2004, produksi air bersih mencapai 28.874.446 M3. Produksi itu naik sebesar 0,0043 persen dibanding tahun sebelumnya, 28.873.196 M3. Jumlah pelanggan naik dari 112.559 tahun 2003, menjadi 114.539 pelanggan pada 2004. Atau, naik sekitar 1,76 persen, selama kurun waktu 2003-2004. Padahal, jumlah penduduk di Kalbar, sekitar 4,09 juta jiwa (angka proyeksi), pada 2005.

Toifur, guru honor SD mengemukakan pendapatnya tentang Harkitnas. “Harkitnas sama dengan hari-hari biasa. Paling-paling di sekolahan ada upacara saja,” kata Toifur. Ia menyoroti masalah statusnya sebagai tenaga kerja honorer.

Masalah tenaga kerja masih membayangi Kalbar. Berdasar data KDA, pada 2003, perusahaan industri besar dan sedang berjumlah 117, dan sanggup menyerap 34.171 tenaga kerja. Pada 2004, perusahaan berjumlah 116. Jumlah tenaga kerja yang mampu diserap pada 2004, tercatat 36.247 orang.

Biaya input yang digunakan dalam proses produksi pada 2004, sebesar Rp 3.869.636 juta. Pada 2003, sebesar Rp 3.726.662 juta. Berarti ada kenaikan sekitar 3,69 persen. Sedangkan nilai output industri besar dan sedang Kalimantan Barat pada 2004, sebesar Rp 8.413.614 juta. Tahun 2003, sebesar Rp. 5.452.529 juta. Terjadi peningkatan nilai produksi sekitar 35,19 persen. Sementara nilai tambah juga mengalami peningkatan/lonjakan cukup besar, 62,02 persen.

Masalah energi listrik bagi rumah tangga dan industri, juga menjadi sorotan. Ada satu rumus, tingkat konsumsi listrik perkapita, dapat menunjukkan sejauh mana tingkat kesejahteraan masyarakat. Produksi tenaga listrik dewasa ini terus meningkat, sejalan peningkatan permintaan dan konsumsi.

Menurut laporan PT. PLN Wilayah V pada 2005, produksi tenaga listrik yang dihasilkan PLN pada sebelas lokasi pembangkit, mengalami kenaikan sekitar 3,76 persen, dibanding tahun sebelumnya. Beban puncak juga mengalami kenaikan. Pada 2004, beban puncak 195.455 kWh. Pada 2005 menjadi 204.621 kWh.

Basir Abdul Majid, legiun veteran, ketika ditemui di rumahnya, mengemukakan pendapatnya tentang Harkitnas. “Harkitnas merupakan momen baik, untuk membangun kembali semangat dan cita-cita. Yang diinginkan para pahlawan,” kata Majid.

Menurutnya, sekarang ini, setiap orang selalu mengedepankan kepentingan pribadi dan golongan. Pejabat dan pemimpin sering melupakan keberadaan rakyat. Padahal, sejak dulu, rakyat selalu berjuang.

Permasalahan lain adalah perilaku korupsi. Yang telah mengakar dan sulit diobati. Korupsi merajalela, karena penegakan hukum sangat lemah.

Korupsi yang merajalela, tentu saja merobohkan perekonomian. Karena itulah, perlu suatu investasi bagi pertumbuhan ekonomi. Dengan penanaman modal, akan terjadi penambahan lapangan kerja. Pengaruh penanaman modal, tercermin pada perkembangan Produk Nasional Bruto (GNP) maupun struktur angkatan kerja.

Pada 2005, rencana investasi pemilik penanaman modal dalam negeri (PMDN) di Kalbar, sebesar 9,576 triliun rupiah. Namun, realisasinya baru mencapai 4,096 triliun. Dengan demikian, baru mencapai 42,77 persen dari seluruh rencana. Untuk investasi penanaman modal asing (PMA), dari 1.580 ribu US $, baru terealisasi sebesar 573 ribu US $. Atau kurang lebih sebesar 36,27 %. Dari seluruh investasi yang terealisasi, sektor ekonomi yang menyerap realisasi tertinggi adalah sub sektor perkebunan.

Dalam kesempatan terpisah, Ketua Konsorsium Pancur Kasih, AR Mecer, menanggapi makna Harkitnas. “Kebangkitan nasional jangan hanya slogan saja,” kata Mecer. Orang harus menunjukkan dengan tindakan sederhana. Misalnya berpikir, bahwa orang merupakan bagian dari orang lain.

“Kita adalah bagian dari orang lain. Maka, harus mencintai yang lainnya,” kata Mecer. Setiap orang harus berjuang. Begitu juga dengan pola pikir. Meski tinggal di daerah atau lokal, orang harus berpikir global atau dunia. Ia menyayangkan, ada pihak tertentu ingin menonjolkan masalah suku dan agama, dalam mencapai tujuannya.

Ia berpendapat, sekarang ini orang mulai luntur rasa dan semangat kebangsaannya. Karena itulah, semangat dan rasa nasionalisme, harus dikembangkan. Sudah saatnya, orang menunjukkan rasa nasionalisme dengan hati nurani dan tindakan. Selain itu, mesti bekerja sama dan tidak merusak orang lain.

Menurutnya, untuk menumbuhkan kebangkitan nasional sejati, tidak bisa berjalan sendiri. Nah, satu cara yang dia lakukan adalah, melalui gerakan koperasi. “Ini merupakan satu gerakan yang bagus. Kita harus memecahkan masalah kita sendiri,” kata Mecer.

Dalam mengisi kemerdekaan dan Harkitnas, “Harus ada kejujuran dalam bekerja sama dan saling membantu. Ekonomi kerakyatan merupakan sesuatu yang nyata,” kata Mecer.

Tuhan menciptakan manusia dengan keragaman. Dan dengan keragaman itulah, lebih bisa memaksimalkan keberhasilan. Syaratnya, harus bisa saling menghargai, satu dengan lainnya.

“Karena, mengembangkan orang lain, pada akhirnya juga mengembangkan diri sendiri,” kata Mecer. Itulah, cara dia memaknai Harkitnas.□

Foto by Muhlis Suhaeri, "Dan Damailah Dunia."
Edisi Cetak, Harian Borneo Tribune, 27 Mei 2007

Baca Selengkapnya...

Monday, May 21, 2007

Bingkai Kota Melalui Penelusuran Sejarah

Oleh: Muhlis Suhaeri dan Mujidi

Ia ingin mengaktualisasikan diri. Berjuang sesuai dengan kemampuannya di bidang penelitian sejarah. Ia menganggap, Pontianak merupakan kota kedua kelahirannya. Di kota inilah, ia melebur dalam penyatuan. Pada diri dan lingkungan sosial.


“Saya ingin menyumbangkan pikiran dan tenaga, melalui program yang kita buat,” kata Dra. Lisyawati Nurcahyani, Msi, Kepala Balai Kajian Sejarah dan Nilai tradisional Pontianak.


Awalnya, ia kurang tertarik dengan ilmu sejarah. Tapi, seiring perjalanan waktu, ia makin tertarik dan mencintainya. “Sejarah membuat orang lebih bijaksana, karena punya pengalaman. Sejarah bisa jadi guru untuk melangkah dan mengambil keputusan,” kata Lisyawati.

Ia kelahiran Surakarta, Jawa Tengah. Karirnya diawali dengan belajar di Fakultas Sastra, Jurusan Sejarah, Universitas Diponegoro (Undip), Semarang. Lulus dari sana, ia langsung menyeberang ke Pontianak, mengikuti sang suami, Siswanto. Yang merupakan teman sekampus.

Siswanto, orang Jawa Pontianak. Sekarang ini, ia bekerja di kantor Bappeda, Kota Pontianak. Dari perkawinannya, Lisyawati dikarunia lima kanak. Empat lelaki dan satu perempuan.

Tak mudah memulai kehidupan baru di Pontianak. Dengan keragaman masyarakat, budaya, dan etnis, jadi tantangan sendiri. Kesulitan terutama dalam masalah sarana dan prasarana. Ketika musim kemarau, kehidupan seakan terhenti. Air susah. Ledeng tak mengalir. Air hujan pun jadi pilihan.

Pertama minum air hujan yang ditampung di tempayan, ia merasa geli. Seiring berjalannya waktu, ia terbiasa. Karena memang itulah, satu-satunya air minum yang bisa dikonsumsi. Mengandalkan air PAM, kualitasnya masih sebatas, kebutuhan mandi, cuci dan kakus. Belum lagi, masalah kabut asap dan selera makanan.

Menurutnya, masyarakat Pontianak lebih menyukai nasi manyar. Nasi agak kering dan memisah. Sementara ia, terbiasa makan nasi agak lengket, seperti ketan.

“Itu masa-masa sulit,” katanya. Tak mudah menghadapi. Butuh waktu tiga hingga lima tahun penyesuaian.

Beruntung, ia punya suami yang mengerti dan menguatkannya. Selain itu, tuntutan profesi dan berbagai penelitian yang ia lakukan, makin membuatnya mencintai kota ini. Banyak hal baru bisa digali.

Ada beberapa kendala memang dalam penelitian. Ia sulit mendapatkan sumber lisan, maupun tertulis. Dokumen penting sebagai pendukung sejarah. Ini tentu saja menyulitkan dirinya, ketika menulis. Padahal, Kalbar merupakan ladang penelitian yang tidak ada habisnya. Beragam etnis, budaya, dan sejarah, seakan tak ada habisnya untuk digali.

Penelitian lapangan juga memberinya berbagai pengalaman pribadi. Kadang lucu dan menggelikan. Misalnya saja, ketika ia melakukan penelitian di Sambas. Ia harus mandi di sungai. Apa boleh buat, inilah satu-satunya sarana membersihkan diri.

Mandi di sungai bukan tak ada kendala. Ia harus berjalan melewati perkampungan. Dengan memakai kemban atau kain yang dililitkan ke badan sebatas dada. Karena malu dan tak terbiasa, ia harus menunggu hingga perkampungan sepi dan gelap. Jadi, kalau mandi pagi, ia harus menyeberang kampung pada jam lima pagi. Bila mandi sore, ia harus menunggu hingga jam setengah tujuh malam.

Tak hanya itu. Berjalan puluhan kilometer, jadi kegiatan biasa. Ada saja pengalaman dialami. Ketika melakukan penelitian, ia punya pengalaman menggelikan. Ketika pulang dari daerah penelitian, beberapa warga bertanya padanya.
“Habis menyanyi ya, mbak?”

Baginya, menjalani kerja penelitian sejarah dan budaya, memang mengasyikkan. Ia merasa tertantang, untuk lebih mempopulerkan Pontianak dan Kalimantan Barat. Banyak sejarah belum tergali. Terutama mengenai kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat.

Dari segi budaya, juga punya keunikan tersendiri. Terutama budaya dan etnis Cina. Di Kalbar, penduduk Cina menempati urutan ketiga dari segi jumlah, setelah etnis Dayak dan Melayu. Ini tidak ditemui di propinsi lain.

Masyarakat Cina di Kalbar, sangat spesifik. Mereka mengisi beragam profesi. Ada kuli, sopir, petani hingga pengusaha. Bahasa dan dialegnya juga beragam. Dari aspek budaya, mereka melestarikan budaya. Bila ini digali, bisa jadi peluang bidang budaya dan sejarah.

Lalu, bagaimana dengan perkembangan kota, semasa tinggal di Pontianak? Yang pasti, banyak perubahan. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Pontianak tahun 1990-an, kota ini masih sepi. Jam tujuh malam, tak ada orang di jalan.

Pembangunan sarana dan prasarana, gedung, jalan, dan jembatan, banyak dilakukan. Sarana transportasi berkembang dengan pesat. Maskapai penerbangan dan pelayaran, marak dan berkembang. Menurutnya, peningkatan suatu daerah, bisa dilihat dari tranportasinya. Kalau transportasi lancar, mobilitas penduduk tinggi, perkembangan kota bakal cepat berkembang. Begitu juga sebaliknya.

Ada satu tempat jadi pilihannya, ketika ingin berlibur. Ia senang agrobisnis dan suasana pedesaan. Tak heran, ia selalu datang ke Punggur untuk rekreasi. Di sana, ia bisa menikmati suasana pedesaan, dan jauh dari polusi udara. Punggur merupakan pusat kebun langsat, jeruk sambal, dan beragam buah-buahan.

Ia menilai, Punggur mulai berubah. Petani menyekat tanahnya untuk dijual. Lahan kebun berubah jadi perumahan. Perlahan tapi pasti, kelezatan langsat Punggur, mulai tergusur.

Tak jauh dari Punggur, ada satu tempat yang juga menjadi kesukaannya. Ia senang menyambangi pelabuhan ikan di Sungai Kakap. Di sana, ia bisa menikmati beragam makanan hasil laut.

Namun, ada tempat yang membuatnya merasa suntuk dan semrawut. Daerah itu adalah Pasar Tengah. Menurutnya, kawasan itu tidak tertib dan semerawut. Tak membuat orang merasa aman. “Pokok ndak sukalah. Kawasannya semerawut, tidak aman, dan tidak ditata dengan bagus,” kata Lisyawati.

Pasar Tengah merupakan pasar pertama kali di Pontianak. Kehadiran pasar itu, merupakan satu ruang, pemenuhan berbagai kebutuhan Belanda, ketika itu. Parit berfungsi sebagai sarana perdagangan dan jalur transportasi. Seperti, pasang terapung.

Kawasan itu seharusnya ditata, supaya orang merasa nyaman, ketika belanja dan menjual barang. “Saya tidak setuju pasar tradisional hilang, karena itu salah satu pasar masyarakat kelas bawah,” kata alumni, S2 Sospol Untan, ini.

Ada satu masalah yang selalu menganggunya di kota ini. Selalu ada banjir. Air menggenangi kantor, rumah, dan perkotaan. Ia menyayangkan hilangnya berbagai parit di Pontianak. Parit-parit itu merupakan satu pemecahan terhadap banjir di Pontianak.

“Saya rasa, harus ada peningkatan dari segi pembangunan saluran air,” kata Lisyawati.

Apa rahasia sukses dalam menjalani profesinya?

“Saya selalu berpikir positif dan terbuka,” kata Lisyawati. Begitu pun ketika memimpin kantor. Ia menerapkan sikap itu. Tak heran, pada usia relatif muda, ia sudah menjadi kepala Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional di Pontianak.

Memimpin pada usia relatif muda, terkadang punya pengalaman tersendiri. Semisal ketika ia melakukan kunjungan atau tugas. Seorang ibu bertanya padanya.

“Lho, mana kepala kantornya?”
“Ya, saya.”

Ia dikira bukan kepala kantor. Maklumlah, sudah terlanjur ada di benak kita. Seorang kepala kantor, biasanya berumur, dan lelaki. Kalau dipikir, agak menyinggung harga diri memang, karena tidak dianggap. Tapi, ia berpikir positif saja.

Itulah, satu sosok warga Kota Pontianak. Ia ingin mendarmabaktikan kemampuannya di kota ini. Bersama waktu, ia ingin membingkai kota, melalui penelusuran sejarah dan nilai tradisional di dalamnya.□

Foto by Mujidi
Edisi Cetak, Harian Borneo Tribune, 21 Mei 2007

Baca Selengkapnya...

Saturday, May 19, 2007

Mencari Identitas dan Falsafah Kota

Oleh: Muhlis Suhaeri dan Mujidi

Semestinya, pembangunan sebuah kota, merujuk pada falsafah dan tujuan, ketika kota itu didirikan. Harus ada landasan berpikir, kota dibangun karena apa, dan kota bisa hidup dari mana.

Lelaki itu telah sepuh. Namanya Sudarto. Sikapnya ramah dan bersahabat. Guratan-guratan garis menanda pada wajahnya. Ia antusias dalam berbicara. Kalimatnya tersusun rapi dan terstruktur. Setiap fakta dan peristiwa, ia ingat betul datanya. Orang bilang, ia perpustakaan berjalan.


Ya, memang demikianlah adanya. Bicara dengannya, ibarat membuka puluhan lembar halaman buku. Segar dan mencerahkan. Malam itu, di rumahnya yang sederhana dan tertata apik, kami berbincang.

Setiap sudut rumahnya terisi rak buku dan majalah. Semua tersusun rapi. Puluhan gerabah, menghias lemari dan meja. Seolah mengikat si empunya rumah, pada daerah penghasil gerabah tersebut, Kasongan, Yogyakarta.

Sudarto kelahiran Yogyakarta. Pada awal 1960, ia hijrah ke Pontianak. Di tempat inilah, ia mendedikasikan diri pada pendidikan. Ia begitu peduli dengan pelestarian benda dan sejarah. Tak heran, ia begitu antusias, ketika berbincang tentang topik itu.

“Bila kita mengamati letak kota-kota di Kalimantan Barat, ada satu persamaan bisa diambil dari letak kota tersebut,” kata Sudarto, memulai dialog.

Kota selalu dibangun pada pertemuan dua aliran sungai. Misalnya, Pontianak yang dibangun pada pertemuan Sungai Kapuas dan Landak. Sintang, pertemuan Sungai Kapuas dan Melawi. Sambas, pertemuan Sungai Teberau dan Sungai Sambas. Sanggau, pertemuan Sungai Sempayan dan Sungai Kapuas. Sekadau, pertemuan Sungai Sekadau dan Sungai Kapuas. Ketapang, pertemuan Sungai Pawan dan Sungai Laur.

Para pendiri kerajaan, selalu membangun ibukota kerajaan pada pertemuan dua aliran sungai. Ini tidak lepas dari falsafah dan identitas dari masyarakat tersebut. “Masyarakat kita adalah berdagang, dan mendapatkan pajak dari lalu lintas perdagangan kapal yang lewat,” kata Sudarto, konsultan Pendidikan di Pontianak.

Lain halnya kota di Jawa. Misalkan saja, kota yang didirikan jaman kerajaan Mataram, Surakarta dan Yogyakarta. Kedua kota ini, hidup dan mengandalkan hasil pertanian. Karenanya, kota pun berdiri pada tanah subur, dan cukup menyediakan air bagi pertanian. Dari hasil pertanian itulah, dijual dan menjadi komoditas perdagangan.

Kota-kota di Kalimantan Barat, tidak punya lokasi pertanian. Karena itulah, konsep kota harus dikembangkan menjadi kota perdagangan, jasa dan industri. Ngabang dan Mempawah, merupakan perkecualian. Ngabang terletak di pedalaman, sehingga yang cocok dikembangkan adalah perkebunan. Ngabang sejak dulu mengandalkan hasil ekstraktif, seperti, tambang dan getah karet. Mempawah hanya kota transit. Sampai sekarang pun, kota ini sulit maju. Maka, rencana pembangunan pangkalan angkatan laut dan pelabuhan perikanan, dapat membuat kota ini lebih berkembang.

Lalu, bagaimana mencari jati diri kota Pontianak? Sejarah berdirinya Pontianak, berawal dan berpusat di sekitar istana Kadriah, serta masjid Jami’, Pontianak Timur. Pada perkembangannya, Belanda masuk dan mendirikan kota pemerintahan di Pontianak Selatan. Belanda minta tanah kerajaan, dan diberi lahan seribu tonggak. Lokasi tersebut berawal dari gertak satu di Sungai Jawi, hingga pusat perbelanjaan Ramayana di Tanjungpura. Daerah itulah yang disebut The Old Town.

Mau tidak mau, kita harus mengakui konsep pembangunan perkotaan, yang dilakukan Belanda. Ketika membangun Pontianak, Belanda sangat memahami falsafah pembangunan kota. Satu contoh, ketika melihat Pontianak berrawa dan ketinggiannya tidak lebih dari tiga meter di atas permukaan air. Di mana pun daerah berawa, selalu tidak sehat. Iklimnya lembab. Air tidak bagus. Banyak nyamuk. Kemudian dibuatlah cara, agar air tidak menggenang dan bisa berputar.

Belanda membuat parit-parit besar mengelilingi kota. Setiap parit terhubung dengan parit lainnya. Parit berfungsi sebagai jalan air dan membersihkan kota. Pasang dan surutnya air, bisa membersihkan berbagai kotoran, sehingga kota tetap bersih. Sirkulasi air juga berfungsi mendinginkan suhu panas.

Hingga 1960, kondisi parit masih bersih dan lebar. Awal 1970, Pontianak jarang terjadi banjir. Dalam perkembangannya, pembangunan kota yang tidak memahami falsafah kota, membuat parit menjadi hancur. Atas nama pembangunan jalan dan bangunan, banyak parit ditutup dan dipersempit. Akibatnya, parit tidak dapat menampung air, ketika hujan. Banjir pun menghadang. Berbagai infrastruktur kota, turut hancur. Efek dan kerugiannya, tentu saja masyarakat yang menanggungnya. Alhasil, lingkungan kota jadi tidak sehat.

Kini, sisa-sisa parit, masih bisa kita lihat di sepanjang Jalan Merdeka. Parit di Tanjungpura, sudah ditutup dan terjadi penyempitan. Bahkan, parit di Jalan Jawa atau Uray Bawadi dan Jalan Sumatera atau Johan Idrus, malah sudah hilang.

Falsafah dan konsep penataan kota jaman Belanda, mewujud pada penanaman pohon. Pemerintahan Belanda menamam pohon Singkup sepanjang jalan dan parit. Akar Singkup kuat dan berfungsi menahan tanah. Buahnya seperti Manggis dan berwarna kuning. Warna daun hijau tua dan lebat. Ketika musim buah tiba, keindahan memancar sepanjang jalan. Warna hijau tua berpadu dengan kuning, menimbulkan keindahan tersendiri.

Sekarang ini, kita banyak menebang pohon Singkup, dan menggantinya dengan pohon Angsana. Padahal, Angsana merupakan pohon yang cepat runtuh, dan akanya tidak kuat menahan tanah.

Begitu pun dengan bangunan kuno dan bersejarah. Pemerintah kurang punya perhatian. Alih-alih untuk merekonstruksi bangunan kota tua. Bangunan yang ada malah dihancurkan. “Mereka cenderung menghancurkan bangunan-bangunan, atau sesuatu yang punya nilai sejarah,” kata Sudarto.

Salah satu contoh, bekas bangunan benteng Belanda, yang kini berubah jadi pasar Nusa Indah. Atau, bangunan bekas penjara. Yang kini berubah jadi Rumah Sakit Antonius. Padahal di penjara itu, beberapa pejuang Kalbar pernah ditawan dan dieksekusi. Dengan hilangnya bangunan bersejarah, hilang pula nilai sejarah dan peristiwa yang melingkupinya.

Hendaknya, pembangunan kota, harus ada nilai kearifan. Pembangunan tidak hanya bersandar pada nilai ekonomis semata. Faktor sejarah, sosial dan budaya, juga menjadi prioritas. Bukankah, bila bangunan tua dan sejarah dipelihara, Pontianak bisa menjadi tujuan wisata. Orang berduyun-duyun datang, untuk menelusuri dan melihat kota tuanya.

Kalau pemerintah punya kepedulian kuat, bangunan dan wilayah yang punya nilai sejarah, tidak perlu dirubah. Kalau sudah dirubah dan jadi modern, orang tidak tahu, ini kota apa. Yang hidup, terputus dari akar sejarahnya. Kita memang tidak ingin berpikir pada sesuatu dimasa lampau. Tapi, setidaknya, kita bisa sesuatu dari masa lampau, untuk kepentingan masa depan.

Agaknya, kita bisa bercermin dari kata-kata bijak, mantan perdana menteri Inggris semasa perang dunia kedua, Sir Winston Churchill, “Pada mulanya, orang-orang membangun kota dan gedung-gedung. Kemudian justru gedung-gedung itulah yang membentuk identitas orang-orang yang membangunnya.”

Ada satu gundah, ketika kami mulai melangkah, meninggalkan rumah berlampu temaram itu. Ketika gedung-gedung bersejarah hilang dan tergusur, kemana generasi mendatang, mencari identitas diri itu?□

Foto by Muhlis Suhaeri, "Deretan Nasib."
Edisi Cetak, Harian Borneo Tribune, 19 Mei 2007

Baca Selengkapnya...

Tuesday, May 15, 2007

Standar Kompetensi Wartawan, Suatu Keharusan

Oleh Nurul Hayat
ANTARA


Pontianak, 14/5 (ANTARA) - "Masyarakat yang cerdas terbentuk dari wartawan yang cerdas. Wartawan akan cerdas jika standar kompetensi wartawan tercapai," kata Wakil Ketua Dewan Pers, Sabam Leo Batubara dalam diskusi "Standar Kompetensi Wartawan" di Pontianak, pada awal Mei lalu.

Kecerdasan wartawan dalam mengangkat persoalan atau informasi untuk disiarkan akan membantu menambah pengetahuan dan wawasannya, serta membuka pemahaman pembaca terhadap suatu permasalahan yang sedang terjadi, katanya.


Menurut dia, wartawan yang cerdas ada karena profesionalisme yang dibangun dengan baik, ditandai dengan kualitas atau mutu karya yang dihasilkan wartawan tersebut.


Namun, kondisi yang terjadi di Indonesia dewasa ini, kualitas wartawan dipertanyakan. Kualitas wartawan yang diukur melalui kompetensi dewasa ini tampak semakin terpinggirkan, karena turunnya reputasi dan harga diri mereka yang berkecimpung dalam profesi itu.

Kondisi ini, memerlukan perhatian serius banyak pihak.

Katanya, banyak kasus yang mengakibatkan reputasi dan harga diri wartawan rusak. Salah satunya, karena ulah segelintir oknum ataupun pihak yang mengatasnamakan wartawan atau jurnalis. Contoh kasusya, pemerasan dengan korban mulai dari masyarakat biasa hingga pejabat pemerintah.

Pelaku pemerasan, mengaku sebagai wartawan, berhasil mendapatkan uang dari korban-korban yang takut kesalahannya terbongkar dan diketahui masyarakat. Reputasi wartawan menjadi rusak. Karena para korban -- tentu saja tetap -- akan menuding wartawan sebagai pelaku pemerasan.

Terkait dengan kasus itu, ujarnya, kompetensi menjadi faktor penting yang harus dicapai seseorang yang berprofesi wartawan, sehingga terdapat pembeda antara wartawan asli dengan wartawan gadungan atau istilah populernya "bodrek".

"Wartawan yang sesungguhnya (diharapkan) bisa berpikir seribu kali jika hendak melakukan aksi serupa. Adanya kompetensi, juga menjadi pembeda dalam persoalan intelektualitas dan kualitas," katanya.

Sesungguhnya, apa yang dimaksud dengan kompetensi wartawan?

Menurut Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Prof DR Moestopo, DR Gati Gayatri, yang dimaksud dengan "Kompetensi Wartawan" adalah kemampuan seorang wartawan melaksanakan kegiatan jurnalistik yang menunjukkan pengetahuan dan tanggung jawab sesuai tuntutan profesionalisme yang dipersyaratkan.

Kompetensi, menurut Dewan Pers dalam buku "Kompetensi Wartawan" adalah Pedoman Peningkatan Profesionalisme Wartawan dan Kinerja Pers. Hal ini mencakup beberapa aspek, yakni aspek penguasaan keterampilan, pengetahuan, dan kesadaran.

Ketiga aspek itu diperlukan dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Kesadaran mencakup di dalamnya, etika, hukum dan karir. Sementara pengetahuan meliputi pengetahuan umum, pengetahuan khusus dan pengetahuan teori jurnalistik dan komunikasi (sesuai bidang kewartawanan). Sedangkan keterampilan mencakup penguasaan menulis, wawancara, riset, investigasi, kemampuan penggunaan berbagai peralatan yang terkait dengan pekerjaan wartawan.

Pencapaian kompetensi

Upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk pencapaian kompetensi?

Upaya pencapaian standar kompetensi bagi wartawan tidak bisa dipisahkan dari keberadaan perusahaan pers.

Menurut Leo Batubara, perusahaan pers yang baik harus memenuhi standar profesional seperti memiliki kompetensi sebagai pebisnis media, mengoperasikan SDM yang memenuhi standar kompetensi, memiliki atau minimal mampu menyewa peralatan yang diperlukan dan memiliki modal yang cukup.

Namun, kenyataannya, dari 829 perusahaan pers yang ada saat ini, hanya 30 persen saja yang sehat bisnis. Selebihnya tidak sehat.

Negara juga punya tanggung jawab untuk standar kompetensi wartawan dengan mendirikan sekolah jurnalistik sebagai wadah pendidikan bagi wartawan, melakukan reformasi politik hukum negara yang mengkriminalisasi pers dan mengubah penyelenggaraan negara yang punya kecenderungan mengekang dan mengontrol pers.

Selain itu, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mencapai standar kompetensi wartawan, seperti melalui pendidikan jurnalistik, pelatihan jurnalistik dan sistem pengembangan karir di mana wartawan memiliki level tertentu, meliputi yunior, madya, dan senior. Penentuan itu berdasarkan kemampuan, pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki.

Pada umumnya, wartawan yunior, madya, dan senior, bukanlah lulusan dari lembaga pendidikan tinggi khusus bidang tersebut. Hal ini tentu saja memperpanjang proses pencapaian kompetensi, bila dibandingkan mereka yang memang lulusan pendidikan (S1) jurnalistik, komunikasi atau publisistik.

Masalah tersebut meski masih dapat diatasi dengan adanya pelatihan jurnalistik yang disediakan oleh sejumlah lembaga pendidikan atau pun pengelola media massa, namun hal itu masih amat jarang ada.

Kebanyakan perusahaan media langsung melepas wartawan muda/yunior untuk terjun ke lapangan, tanpa terlebih dahulu dibekali dengan pemahaman akan ilmu dan pengetahuan bidang jurnalistik atau kewartawanan. Sehingga ketika menulis berita, ditemukan banyak kesalahan dan kekuranglengkapan informasi yang hendak disampaikan kepada publik.

Pendidikan dan pelatihan menjadi penting, sehingga karir jurnalistik bisa berkembang. Pendidikan dan pelatihan, menjadi syarat bagi seorang jurnalis jika ingin berkembang dan profesional dalam menjalankan pekerjaan. Seorang wartawan yang menjalankan tugas jurnalistik dengan profesional, akan dihargai di muka publik.

Pada akhirnya, seorang wartawan atau jurnalis, harus punya kemampuan dan kompetensi di dalam menjalankan profesinya. Tanpa itu semua, mustahil kemajuan di bidang jurnalistik bisa dicapai.

Sebaliknya, wartawan yang "bodoh", tidak saja akan "membodohi" pembacanya, tetapi juga akan memproklamirkan "kebodohannya" itu kepada publik melalui karyanya.***


Foto by Muhlis Suhaeri.
Edisi Cetak ada di Borneo Tribune.

Baca Selengkapnya...