Saturday, May 24, 2008

“Fan Nyin” Bukan Setengah Manusia

Awal bulan ini saya mendapat kiriman dari anak saya di Yogyakarta 1 buah buku yang berjudul: “Orang Cina Khek dari Singkawang”, karangan Prof. Dr. Hari Poerwanto, Guru Besar Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada, cetakkan tahun 2005.

Buku ini memang belum sempat saya baca secara keseluruhan, tetapi membaca secara sepintas, diantaranya pengantar Penerbit Komunitas Bambu (Edi Sudrajat) pada halaman VI bagian bawah terdapat beberapa kalimat yang mengusik perhatian saya, seperti dikutip di bawah ini:


“Sedangkan masyarakat Singkawang kadang menyebut suku bangsa bumiputra dengan istilah Fan Nyin, artinya setengah manusia atau barbar”. Sebagai putra daerah yang kebetulan dari suku Khek/Hakka, juga fasih, memahami betul dialeg Khek, saya merasa istilah ini sangat menyesatkan dan tidak etis karena dapat dikonotasikan memandang rendah terhadap martabat saudara kita bumiputra, serta menimbulkan kesalahpahaman yang berkelanjutan sampai ke generasi anak cucu kita.

Di zaman reformasi ini perlu adanya semangat keterbukaan dan saling mengenal serta memahami, maka saya merasa terpanggil dan berkewajiban berkomentar apa adanya berdasarkan fakta dan data yang kami ketahui. Karena tulisan Bapak Profesor Dr. Hari Poerwanto adalah buku yang “serius“ (dikerjakan selama 15 tahun ) yang tentu nantinya akan banyak dibaca dan dipakai sebagai referensi oleh generasi muda kita, jangan hanya karena ketidaktahuan/ketidakpahaman sesaat, akan merusak sendi-sendi persatuan kebangsaan kita di masa depan.

Penterjemahan kata “Fan Nyin” yang diterjemahkan artinya menjadi “Setengah Manusia” di editor buku tersebut, mengingatkan saya pada 1 dekade yang lalu, pernah seorang penulis lokal Kalbar menterjemahkan demikian juga. Pada waktu itu, saya tidak menanggapinya karena saya mendapat informasi bahwa penulis ini adalah “pendatang baru” di Kalbar, yang menulis berdasarkan pengamatan pribadinya.

Dan sekarang kembali saya membaca lagi istilah “Fan Nyin” = setengah manusia, dari buku ilmuwan yang Guru Bbesar Antropologi berpengalaman, sehingga membuat saya mau tidak mau memberanikan diri menginformasikan penterjemahan yang benar.

Untuk lebih jelasnya asal usul kata “Fan” ini, saya mengutip dari Kamus Mandarin
“Phiau Cun Kuok Ing Suek Sen Xi Tian” atau Kamus Standard Bahasa, Siswa Mandarin tahun 1952, dimana tulisan kata: “FAN” diartikan: di luar batas Negara Tiongkok, perbatasan. Sedangkan “NYIN“ diartikan sebagai manusia, komunitas orang, sehingga kata “Fan Nyin“ kalau diterjemahkan akan berarti: orang/komunitas asing, masyarakat yang berada di luar perbatasan Negara Tengah/Tiongkok.

Perlu diketahui zaman dahulu di Tiongkok (Negara Tengah), dinasti kekaisaran Cina saat itu menganggap Negaranya terletak di tengah, sebagai sentral, pusat semesta, sehingga menganngap suku bangsa yang di luar perbatasan negara tengah sebagai suku Fan.
Masa itu Kekaisaran di daratan Tiongkok menamai suku-suku di luar Tiongkok (Negara Tengah/China) berdasarkan letak geografis dari arah mata anginnya, sebagai berikut :
Di sebelah Timur Tiongkok disebut “Tung Ie”. Sebelah Barat Tiongkok disebut “Si Yung”. Sebelah Selatan Tiongkok disebut “Nan Man”. Dan, sebelah utara Tiongkok disebut “Pei Tik”.

Saya masih ingat ,semasa Perang Dunia II tahun 1941, kami komunitas peranakan Tionghoa di Singkawang sendiri juga disebut “Fan Nyin” yang artinya Orang/asing, orang di luar perbatasan Tiongkok.

Sedangkan saya anak kecil disebut “ Fan Tse” artinya, anak orang asing (Fan = orang asing/orang diluar Tiongkok/orang di luar Negara Tengah; Tse = anak).

Kalau orang Tiongkok yang merantau ke Selatan/ASEAN, masih disebut dengan “Ko Fan “ (Ko= merantau/melewati; Fan = Perbatasan Tiongkok). Dan bahkan sekarang kalau kami menikah pun masih disebut Kau Fan Pho (Kau = memperistri; Fan Pho = gadis di luar negara Tiongkok). Sehingga biarpun lelaki suku Khek menikah dengan gadis Tionghoa di sini, tetap di sebut Kau Pan Pho. Artinya menikah dengan gadis yang di luar Tiongkok.

Jadi sebutan “Fan Nyin” sama sekali tidak ada konotasi negatif apalagi menghina. Memang arti yang sebenarnya adalah orang luar/asing, orang di luar perbatasan, dan ini semua ada tercantum dalam kamus koleksi saya 1952 yang saya sebutkan tersebut di atas dan tentu saja di kamus kamus modern lainnya.

Dari pengalaman tumbuh dan bergaul bersama dengan teman-teman bumiputra saya semasa kecil, khususnya teman dari suku pesisir, terlihat ada yang sering melafalkan huruf F menjadi P. Jadi kemungkinan saja ada yang salah melafalkan kata Fan Nyin menjadi Pan Nyin. Padahal dalam dialeg Tionghoa beda intonasi saja beda arti. Apalagi salah melafalkan, ini sering saya alami dimana nama kecil saya A Fat tapi dipanggil A PAT. Hal ini kami anggap hanya salah pengucapan saja, tidak ada unsur kesengajaan.

Seperti masih juga sering kita temui orang orang tua Tionghoa yang susah membedakan untuk melafalkan huruf R dan huruf L.

Saya bukan seorang akademis, tetapi berprinsip belajar itu tidak ada batasnya, jadi kalau ingin memahami suatu hal/perkara, harus belajar/bertanya kepada sumber/literatur yang dapat dipertanggungjawabkan, paling tidak bisa kita perbandingkan dari beberapa sumber.

Saya hanyalah seorang pemerhati sosial dan budaya yang peduli dengan persatuan dan kerukunan anak bangsa, dan sadar tak ada gading yang tak retak, maka harus siap membuka diri untuk dikritik untuk memperkaya wawasan kita bersama.

Kiranya kedepan akan ada usaha usaha dari dunia akademis kita misalnya, Universitas Tanjungpura, Departemen Pendidikan Nasional, Balai kajian sejarah dll, untuk melakukan penelitian dan pengkajian atas keanekaragaman kultur budaya daerah kita yang majemuk.

Mudah-mudahan tulisan ini ada manfaatnya, khususnya bagi yang senang dengan wawasan mengenai adat istiadat serta budaya daerah.

Salam Sejahtera.

X.F. ASALI
Jl. Sisingamangaraja Pontianak

Edisi cetak ada di Borneo Tribune 24 Mei 2008
Foto Lukas B. Wijanarko

Baca Selengkapnya...

Friday, May 23, 2008

Kabar Dari Perbatasan

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Bastiar terlihat gelisah. Gaji yang diterimanya, pas untuk hidup. Barang kebutuhan mahal karena didatangkan dari negara tetangga, Malaysia. Begitu juga dengan biaya transportasi. Sebagian besar daerah perbatasan sulit ditembus. Infrastruktur jalan, jembatan dan berbagai fasilitas publik, minim sekali.

Ia tinggal di Dusun Entikong, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau. Tempat tinggalnya sekitar 3 km dari perbatasan atau Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB). Entikong berjarak sekitar 312, 4 km dari Pontianak ke arah timur.

Sudah 22 tahun, ia mengajar di sebuah SD di Entikong. Selain menjadi guru, ia juga aktif di berbagai organisasi. Ia aktif di Pemuda Panca Marga (PPM). Jabatannya, Asisten 1 Resimen Yudha Putra. Kelompok Informasi Masyarakat Perbatasan (Kimtas). Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FPKM).


Berbagai organisasi itu, bertujuan memupuk rasa cinta tanah air dan semangat kebangsaan. Pembangunan mental dilakukan, karena kehidupan di sana, serba kekurangan. Sebagai bangsa, jadi tidak percaya dengan jati diri, karena tidak percaya dengan diri sendiri.

Semua organisasi yang ada, tak dapat dana dari pusat. Padahal, jumlah anggotanya sekitar seribuan orang. Untuk membuat baju atau sesuatu yang bisa membuat anggotanya bangga, tak ada dana. Pada akhirnya, organisasi kurang berkembang, karena tak ada dana operasional.

Bahtiar berharap, pemerintah pusat memberikan dana pembinaan bagi organisasi. Bila pembinaan tak dilakukan, jangan salahkan bila ada juga sebagian anak sekolah, atau masyarakat tak bisa menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia. Pasalnya, mereka merasa tak diperhatikan pemerintah pusat atau Indonesia.

Selama ini, pemerintah dianggap tidak memberikan perhatian serius dalam menangani masalah perbatasan. Sangking kesalnya, masyarakat di sepanjang perbatasan, punya slogan sendiri terhadap masalah itu. “Barangkali hanya malaikat saja yang bisa menurunkan status payung hukum perbatasan.”

Ironis memang. Padahal, perbatasan adalah beranda depan dari suatu negara.
Berbicara mengenai perbatasan, Indonesia memiliki batas darat dan laut dengan negara tetangga. Wilayah darat dengan empat negara. Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste. Ketiganya punya karakteristik sendiri. Perbatasan di Papua dan Papua Nugini, perbatasannya tidak dibangun dengan baik, karena sama-sama dibiarkan. Di NTT, perbatasan yang ada di sana malah ditutup, untuk menghindari masuknya pengungsi dari Timor Leste. Di Kaltim dan Sabah, Malaysia Timur, masalah perbatasan tidak dibangun karena keduanya sama-sama kaya. Di Kalbar agak beda.

Sekarang ini, ada beberapa tempat di Kalbar yang langsung berbatasan dengan Malaysia. Entikong di Kabupaten Sanggau. Nanga Badau di Kabuapaten Kapuas Hulu. Paloh dan Aruk di Kabupaten Sambas. Jagoi Babang di Kabupaten Bengkayang. Dan, Senaning di Kabupaten Sintang.

Hanya di Entikong yang sudah dibuka resmi atau terdapat PPLB. Lainnya masih belum dibuka, dan masih berupa Pos Lintas Batas (PLB). Pembukaan masalah lintas batas, harus ada kesepakatan dari kedua belah negara berdaulat.

Pembangunan masalah perbatasan, hingga sekarang juga belum ada payung hukumnya. Padahal, sudah dua kali Presiden SBY datang ke Kalbar, dan berjanji menyelesaikan masalah ini, tapi belum terealisasi.

Pemerintah Sarawak, Malaysia, memberikan perhatian yang luar biasa dalam membangun masalah perbatasan. Tak heran, Serawak menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru. Bahkan, Perdana Menteri Badawi telah meresmikan beberapa pusat industri di Serawak.
Dalam suatu seminar tentang perbatasan, Darmakusuma dari Lembaga Ketahanan Nasional RI berpendapat, pembangunan berbagai pusat industri ini, kalau Indonesia tak bersikap hati-hati, semua potensi yang ada akan tersedot ke sana.

Hal itu bisa ditunjukkan dengan berbagai produk mentah dari Kalbar. Seperti, Aloe Vera atau lidah buaya, dan produk kerajinan lainnya. Produk itu dibawa dari Kalbar, sesampai di Malaysia diberi label dan dipasarkan lagi sebagai produk mereka. Contohnya, produk bidai atau tikar dari Bengkayang. Kini, bidai dipasarkan ke berbagai wilayah di Indonesia, Singapura, Australia, Hongkong dan lainnya.

Begitu juga dengan masalah informasi. Informasi dari TV, radio, koran di Indonesia, sulit diterima. Sementara itu, informasi dari Malaysia lebih mudah diterima.
Stanley Adi Prasetyo dalam suatu seminar masalah perbatasan mengatakan, kalau mau sejahtera, pemerintah harus melakukan pembangunan Indek Prestasi Manusia (IPM) di daerah perbatasan. “Kalau tidak bisa lebih tinggi dari Malaysia, minimal setara,” kata Stanley.

Menurutnya, dari berbagai data didunia ditemukan adanya hubungan yang berbanding lurus, antara kesejahteraan dengan kemampuan memperoleh informasi. Semakin tinggi kemampuan memperoleh informasi suatu masyarakat, kian sejahtera masyarakat tersebut.
Pembangunan infrastruktur di perbatasan juga kurang. Pembangunan jalan, jembatan, fasilitas publik sangat minim. Sehingga masyarakat sulit melakukan mobilisasi atau beraktivitas. “Dibanding dengan Malaysia, pembangunan di sepanjang perbatasan sangat beda jauh. Indonesia jauh tertinggal,” kata Bastiar.

Barang dari Indonesia sulit diterima dan mahal harganya. Sementara barang dari Malaysia murah dan lebih mudah didapat. Kehidupan masyarakat sekitar perbatasan sangat tergantung dengan barang dari Malaysia. Namun, untuk memperoleh barang itu, dipersulit para oknum aparat dengan berbagai pungutan.

Masalah pendidikan dan kesehatan juga masih tertinggal. Masalah pendidikan masih jauh, terutama dari segi anggaran. Dari segi gaji, di Indonesia sekitar Rp 1,5 juta, untuk golongan kelas III, seperti dirinya. Di Malaysia 5.000 ringgit atau sekitar Rp 15 juta.

Menurutnya, UMR di perbatasan seharusnya lebih besar dari UMR Provinsi, karena biaya hidup besar di perbatasan. Saat ini, UMR di Kalbar Rp 23.500 perhari.
“Mohon perhatian dari pemerintah pusat untuk mengalokasikan dana, berupa gaji tambahan, karena harga barang tinggi dan transportasi sulit sehingga membuat mahal,” kata Bastiar.

Ia berharap, managemen di PPLB dibenahi. Kebijakan untuk masyarakat perbatasan, kalau bisa sedikit dipermudah, ujarnya.

Pemerintah ketika melakukan pembangunan, hendaknya juga dilihat berdasarkan budaya masyarakat setempat. Misalnya, pembangunan pasar mewah di dekat PPLB. Pembangunan pasar mewah hanya berjarak sekian meter dari garis netral. Pembangunan itu diharapkan, supaya orang Malaysia bisa belanja di sana. “Namun, karena sifat petugas, membuat pasar itu jarang didatangi,” kata Bastiar. Berbeda dengan Malaysia yang membangun pasar dengan jarak 100 meter dari garis netral. Orang Indonesia lebih leluasa belanja di sana, karena tak terkena berbagai pungutan.

Ia berharap, pembangunan perbatasan harus dipercepat. Caranya, membuka lapangan kerja, agar warga tak lari ke Malaysia.

Ia mengungkapkan, isu Askar Wataniyah benar saja adanya, karena pemerintah Indonesia tidak bisa bersaing dalam memberikan lapangan kerja dan menggaji warganya. Hal itu terjadi, karena pembangunan tidak terpenuhi. Menurutnya, di Entikong tak ada warga bergabung sebagai anggota Askar Wataniah.

Karena itu, hal yang selalu dilakukan di daerah perbatasan, selain membangun dan memberikan lapangan kerja, pemerintah harus mengembangkan bela negara. Sosialisasi tentang wawasan Nusantara. Caranya, dengan memberikan berbagai ceramah, diskusi dan pelajaran di berbagai sekolah atau organisasi kemasyarakatan. Misalnya, karang taruna.

Satu lagi masalah di perbatasan yang selalu terjadi adalah, adanya kecurigaan pihak keamanan Indonesia, terhadap penduduk sendiri. Hal itu dilakukan karena ingin mendapatkan keuntungan untuk diri sendiri. Pihak keamanan yang bertugas di sepanjang jalan menghentikan kendaraan, lalu memeriksa dan minta uang. Terutama mobil barang dari Indonesia.

Hal sama juga dialami Alvonsus Maria. Ketika itu, ia berangkat dengan mobil pribadi dari Entikong ke Pontianak. Dari Entikong hingga Simpang Tanjung, mobil dihentikan beberapa kali di “Pos”. Mobil bisa berangkat lagi, setelah menyetor upeti.
“Seharusnya pemerintah mensterilkan wilayah perbatasan dari berbagai oknum yang ingin mencari keuntungan untuk dirinya sendiri,” kata Bastiar.

Humas Polda Kalbar, AKBP Suhadi SW, saat dikonfirmasi menjelaskan bahwa selama ini laporannya tidak ada. “Mungkin kalau ada korban melapor, polisi akan melakukan langkah-langkah antisipasi dan tindakan hukum,” kata Suhadi, ”dan bila satuan setempat tidak mampu menangani, maka satuan atas akan memberikan back up yang sifatnya sementara.”

Itulah nasib manusia perbatasan. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula.□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 23 Mei 2008
Foto Agustinus

Baca Selengkapnya...

Tuesday, May 20, 2008

Rayakan Ulang Tahun dengan Dialog

*Borneo Tribune Ist Anniversary

Muhlis Suhaeri dan Antara
Borneo Tribune, Pontianak

Dalam rangka merayakan ulang tahun pertama pada 19 Mei, Harian Borneo Tribune mengadakan dialog dan silaturahmi dengan Brigjen Pol R. Nata Kesuma. Acara juga diisi dengan peluncuran buku di Hotel Gajah Mada, Selasa (19/5). Berbagai elemen masyarakat, aparatur pemerintah, kepolisian, LSM, pers, hadir dalam acara tersebut.

Ada dua judul buku yang diterbitkan. Pertama, Opini Dari Tibune 1. Yang merupakan kumpulan rubrik opini dari para penulis yang memasukkan tulisannya ke Borneo Tribune. Kedua, Islam dan Etnisitas di Kalimantan Barat. Buku ini menceritakan interaksi Islam dengan penduduk lokal di Kalbar. Dan, bagaimana gambaran Islam diantara berbagai etnik.


Buku dicetak STAIN Press. Saat ini, sudah ada sekitar 30 buku dicetak di sana. Penulis buku berasal dari berbagai macam kalangan, tak hanya dari STAIN saja.


Yusriadi, selaku editor buku dan redaktur di Borneo Tribune, menandai peluncuran dengan menandatangani buku. Setelah itu, buku diserahkan secara simbolis kepada AKBP Suhadi SW, mewakili Kapolda Kalbar. Haitami Salim dari Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN). Thadeus Yus dari FLEGT (Forest Law Enforcement, Governance and Trade). FLEGT adalah program kerja sama dalam tata kelola masalah perhutanan dan tata kelola sektor kehutanan. Tujuannya mendorong penegakan dan penanganan IL.

Dalam dialog itu, Haitami Salim mengungkapkan pentingnya peran media dalam mengkomunikasikan berbagai pemikiran. Proses demokrasi dan bernegara tidak bisa dipisahkan dari peran media yang profesional. ”Media menyampaikan informasi dan berpengaruh besar, terutama bagi kami di dunia pendidikan,” kata Haitami.

Dengan isi yang baik dan berguna, pembaca akan menyimpan naskah dan mengklipingnya. Namun, ada juga media yang isinya tak membuat pembaca tertarik untuk menyimpannya. Sehingga koran hanya jadi pembungkus saja.

Karenanya, penting bagi media, mendokumentasikan berbagai artikel yang pernah diterbitkan menjadi buku. ”Menerbitkan buku berarti bekerja untuk keabadian,” kata Haitami. Menurutnya, pada dasarnya orang ingin keabadian. Tak heran bila sastrawan besar seperti Chairil Anwar pun, membuat puisi yang isinya ingin hidup seribu tahun lagi.

Ia berpendapat, menangani IL tidak bisa sendirian. Harus ada kerja sama antara berbagai institusi, aparat, dan penegakan hukum.

Acara juga diisi pembacaan puisi karya Alexander Mering oleh Dewi Safrianti.

Thadeus Yus berpendapat, peran media sangat penting dalam meningkatkan kesadaran bersama atas isu lingkungan. Karenanya, ia selalu mengadakan kerja sama dengan media, dalam melakukan sosialisasi kegiatan.

Menurutnya, IL sesuatu yang sering terjadi di Kalbar. Persoalan IL tak terhenti sampai saat ini. Kalau semua orang tahu tentang masalah IL, akan lebih mudah melakukan pencegahan. ”Kerja sama perlu untuk menjaga, bahwa lingkungan milik bersama,” kata Thadeus.

Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Barat (Kalbar), Brigjen Pol, R. Nata Kesuma melalui Kepala Bidang Humas Polda Kalbar, Ajun Komisaris Besar Pol, Suhadi SW mengatakan, Provinsi Kalbar, dengan wilayah yang cukup luas yang berbatasan langsung dengan Sarawak dan laut China Selatan, sangat rawan terhadap berbagai kegiatan ilegal.

"Kalbar sangat rawan terjadi praktek ilegal seperti, pembalakan hutan secara liar, konflik, sasaran eksploitasi kekayaan alam, jalur perdagangan gelap, penyelundupan, perdagangan manusia, infiltrasi, dan sabotase," kata Suhadi SW.

Ia mengatakan, karena kondisi geografis Kalbar yang sangat rawan terhadap kegiatan ilegal, Polda Kalbar telah melakukan patroli bersama dengan PDRM (Polis Diraja Malaysia) guna menekan praktek yang bersifat ilegal itu.

"Tetapi kita masih mengalami masalah yang sangat rumit, terutama bidang SDM (Sumber Daya Manusia) dan sarana infrastruktur seperti jalan di sepanjang kawasan perbatasan Kalbar-Malaysia Timur (Sarawak) sepanjang 857 kilometer yang tidak semuanya ada akses jalan," ujarnya.

Selain itu, Polda Kalbar juga secara rutin melakukan patroli bersama TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan masyarakat sekitar guna menjaga kawasan perbatasan yang cukup panjang tersebut.

Saat ini, jumlah personel di lingkungan Polda Kalbar secara keseluruhan sebanyak 9.255 orang dan 309 PNS. Terbanyak dari jajaran Bintara yakni 8.553 personel, kemudian perwira pertama 545, perwira menengah 156, dan satu perwira tinggi.

Wilayah perbatasan Indonesia yang berbatasan dengan Malaysia memiliki panjang 1875 kilometer, terdiri dari Kalimantan Timur 1.038 kilometer dan Kalimantan Barat 857 kilometer.

Pemerintah Provinsi Kalbar, telah menata konsep pembangunan daerah di sepanjang perbatasan Kalimantan dengan Malaysia terbagi dalam empat bagian yakni Lini I Luar (Border Lini), Lini II Luar (termasuk daerah komunikasi), akses jalan raya dan fasilitas sosial lain, dan Lini Dalam (termasuk daerah komunikasi).

Lini I Luar terbentang sepanjang perbatasan dengan lebar sekitar satu kilometer dari batas depan daerah perbatasan (BDDP). Di Lini II Luar dengan lebar sekitar tiga kilometer, merupakan kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan sawit dengan sistem inti dan plasma.

Dengan dibangunnya perkebunan sawit di sepanjang kawasan perbatasan Kalbar-Malaysia Timur, maka diharapkan masyarakat Kalbar bisa menjaga kedaulatan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dari rongrongan pihak luar.

Data Komando Daerah Militer VI/Tanjungpura, saat ini TNI-AD memiliki sedikitnya 24 pos di sepanjang perbatasan Kalbar-Malaysia Timur. Ancaman meningkat seiring pertambahan penduduk yang secara tidak langsung menimbulkan masalah sosial yang diikuti peningkatan pelanggaran di segala bidang.

Saat ini di sepanjang perbatasan Kalimantan-Sarawak sudah didirikan sebanyak 54 pos pengamanan dan telah membentuk lima Komando Kewilayahan TNI Angkatan Darat, yang ia nilai masih belum memadai.

Jumlah pos tersebut belum memadai untuk menjawab ancaman secara optimal karena panjang perbatasan mencapai 2.000 km sehingga butuh pos pengamanan lebih banyak lagi. Akibat minimnya infrastruktur jalan, aktifitas pembalakan liar di Kalbar lebih marak dibandingkan dengan di Kaltim.

Makarius Sintong dari Dewan Adat Dayak (DAD) Kalbar mengemukakan perlunya sinergi antara instansi yang terkait terhadap IL. ”Sekarang ini kepolisian ibarat bermain sendiri. Begitu juga TNI. Saya tidak melihat peran Dinas Kehutanan. Apakah hilang terhadap kegiatan yang dilakukan TNI atau polisi yang sendiri-sendiri?” kata Makarius seolah bertanya.

Pemda sebenarnya juga ada tugas dalam penanganan IL, tapi tidak bisa berjalan. Jangan sampai peradilan IL seperti segitiga emas. ”Ada polisi, jaksa dan hakim. Illegal logging bisa dilakukan BAP, tapi tak bisa diteruskan di pengadilan,” kata Marius.□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune 20 Mei 2008
Foto Lukas B. Wijanarko


Baca Selengkapnya...

Monday, May 19, 2008

Dendang Kami

Hari ini, kami berdendang tentang diri
tentang langkah yang mulai berpijak
dan berangkat dari langkah-langkah kecil.

Meniti, menelusur, dan menapakkan jejak
Pada berbagai momen dan peristiwa yang menggelegak,
Pada keras hidup yang kian tak berujung.

Tak terasa, setahun sudah waktu mengiring
Mengepakkan sayap dan jadi malaikat pelindung
Menajamkan mata pada setiap kalimat yang dirangkai
Pada batas ruang yang tak mengenal kompromi: DEADLINE


Kini, semua yang terbentuk, menegaskan bentuk
Segala yang tak nyata dan maya, tak ada lagi guna.
Karena yang ingin kami sampaikan
Adalah Fakta.

Inilah Kami
Yang akan menegaskan setiap kata dalam rangkaian kalimat
Membuka ruang kesadaran pada sebuah ingatan
dan menjaga ingatan pada sebuah lupa
Menutup celah, pada setiap yang mengandung berhala......

Terbang....
Terbanglah tinggi wahai Enggang Gading
Taklukkan dunia dari tanah leluhurmu
Tanah BORNEO.....

Selamat Ulang Tahun.....
Ini tahun pertamamu......


Foto : Jessica Wuysang dan Amirullah Asri
Teks : Muhlis Suhaeri

Baca Selengkapnya...

Pendidikan Gratis, Kenapa Tidak?

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Hildi Hamid mengatakan, akan membebaskan biaya pendidikan bagi anak sekolah dari SD-SMA di Kabupaten Kayong Utara (KKU). Hal itu diungkapkannya dalam wawancara dengan para wartawan di Pontianak, Sabtu (18/5).

KKU merupakan pemekaran dari Kabupaten Ketapang. Pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) pertama di KKU, Hildi Hamid berpasangan dengan Muhammad Said. Berdasarkan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara pemilihan umum bupati dan wakil bupati KKU pada 2008, pasangan nomor urut dua ini memenangkan Pilkada dengan perolehan 27.460 suara atau 60,31 persen. Pasangan nomor urut tiga, Ibrahim Dahlan dan Djumadi Abdul Hadi Hamid memperoleh 11.584 suara atau 25,44 persen. Pasangan nomor urut satu, Citra Duani dan Adi Murdiani mendapat 6.485 suara atau 14,25 persen.


Dalam Pilkada KKU, Hildi Hamid dan Said membawa isu pendidikan dan kesehatan gratis bagi masyarakat. Ia akan membuktikan janjinya itu di KKU.

Menurutnya, hal paling dasar yang harus dilakukan bagi kemajuan KKU atau daerah lainnya di Kalbar, peningkatan SDM. Sekarang ini, KKU kurang dari segi SDM, secara kualitas maupun kwantitas atau jumlah.

Dari lima kecamatan dan 43 desa di wilayah KKU, sarana dan prasarana pendidikan sangat memprihatinkan. Banyak anak putus sekolah, karena di daerah itu tak ada fasilitas pendidikan. Kalaupun ada, kondisinya memprihatinkan. Bila ada anak lulusan SD, ingin melanjutkan pendidikan ke SMP atau SMA, sulit dilakukan. Kalaupun mau melanjutkan ke jenjang sekolah lanjutan, harus ke kota kecamatan terdekat. Namun, karena kemiskinan yang menjerat sebagian besar warga KKU, hal itu tak bisa dilakukan.

Ia memberikan contoh. Pada wisuda tahun 2000 di Universitas Tanjungpura yang berjumlah sekitar 1.600 wisudawan, hanya ada tiga orang dari KKU. Sebagai gambaran dasar, dari usia produktif sebesar 61 ribu orang, lulusan SMA ke atas hanya enam persen atau 3.600 orang. Lainya lulusan dibawah SMA.

Sekarang ini, ada sebanyak 18.000 atau 20 persen, dari usia produktif, masih duduk dibangku SD-SMA. Bila pemerintah menganggarkan tiap anak sekitar Rp 500 ribu tiap tahun, jumlahnya Rp 18 miliar. APBD KKU jumlahnya sebesar Rp 125 miliar setahun. ”Pemerintah punya kewajiban memberikan 20 persen bagi dunia pendidikan. Dan hal itu bisa dilakukan di KKU,” kata Hildi.

Selain membebaskan biaya pendidikan, dia juga akan membuat sekolah unggulan atau percontohan. Tujuannya, supaya sekolah-sekolah saling berpacu dan meningkatkan kapasitas dan kemampuan.

Kalau biaya sekolah bisa digratiskan, kedepannya, SDM yang muncul merupakan orang dengan kualifikasi dan kemampuan yang baik, kata Hildi.

Nah, kalau KKU bisa membebaskan biaya sekolah, kenapa daerah lain tak bisa? Ayo, siapa mau menyusul.□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 19 Mei 2008
Foto Muhlis Suhaeri

Baca Selengkapnya...

Sunday, May 18, 2008

Merangkai “Mozaik” Identitas Dayak

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Apa yang terbayang ketika pertama kali memegang buku ini, saya langsung berujar dalam hati. “Ini pekerjaan besar. Energi besar. Dan dana besar.”

Bagaimana tidak, untuk memetakan dan mengidentifikasi subsuku dan Bahasa Dayak di seluruh Kalimantan Barat (Kalbar), bukan hal mudah. Dengan luas 746.305 km persegi dan infrastruktur jalan yang sulit ditembus, membuat pekerjaan ini lumayan berat. Ini satu rangkaian. Pekerjaan besar, butuh kemampuan managerial dan kemampuan teknis yang baik. Energi yang terus mengalir. Dan, dukungan dana. Ketiganya harus singkron.

Buku berjudul “Mozaik Dayak, Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat,” ditulis oleh Sujarni Alloy, Albertus, dan Chatarina Pancer Istiyani. Sebagai editor adalah John Bamba. Buku ini diterbitkan Institut Dayakologi. Lembaga yang konsen pada isu-isu pemberdayaan rakyat.


Pekerjaan besar ini, penelitiannya sudah dimulai sejak 1997. Buku ini dibagi menjadi lima bab. Bagian satu, penelitian etnolingusitik. Kedua, tentang Dayak. Ketiga, selayang pandang Kalimantan Barat. Keempat, keberagaman Suku Dayak di Kalimantan Barat. Kelima, kesimpulan dan rekomendasi.

Dalam buku ini, penelitian terfokus pada dua hal, bahasa dan keberagaman subsuku Dayak. Dari bahasa, orang bisa mengidentifikasi sebuah bangsa. Bahasa adalah bangsa. Bahasa tak sekedar alat komunikasi, satu orang dengan lainnya. Penelitian dalam buku ini, merupakan identifikasi terhadap pembentuk identitas dan etnisitas masyarakat Dayak. Bagaimanapun juga, identitas merupakan sesuatu yang penting, karena itulah yang membentuk jati diri. Identitas membentuk karakter manusia.

John Bamba, menulis dalam kata pengantarnya menulis, bahasa menyimpan beranekaragam keindahan, kearifan, dan keunikan tradisi, pengetahuan, dan teknologi. Bahasa merupakan the last frontier yang membentengi berbagai kearifan tersebut dari kepunahan.

Buku ini memberikan berbagai penelitian etnolinguistik dan memiliki pengertian luas dan menyeluruh, tentang keberadaan subsuku dan bahasa atau dialek Dayak di Kalbar. Data yang dikumpulkan meliputi nama subsuku, nama bahasa, sebaran wilayah dan subsuku dan bahasa, jumlah populasi tiap suku dan penutur bahasa, kumpulan kata-kata asasi berdasarkan daftar Swadesh dan James Collins, contoh penggunaan sehari-hari dan sejarah subsuku yang bersangkutan (hal xxv).

Secara umum, dikenal kelompok subsuku Dayak berbahasa Melayik, Bidayuhik, Ibanik, dan Uud Danumik. Bahasa Dayak adalah bahasa lisan.

Meski berisi tentang berbagai macam data tentang sebuah penelitian ilmiah, namun buku ini ditulis dengan gaya populer. Bahasanya mengalir.

Buku ini memberikan gambaran, siapa sebenarnya masyarakat Dayak? Pengambaran dilakukan dengan menelusuri identitas manusia Dayak. Dayak pada mulanya memang hasil rekonstruksi kolonial untuk menyebut seluruh penduduk asli Pulau Borneo dan memudahkan proses administrasi mereka (hal 11). Namun, sumber lain menyebut bahwa Dayak berasal dari dayaka (dari Bahasa Kawi) yang berarti suka memberi. Ada juga yang menyebut, Dayak berasal dari istilah daya yang berarti ’kekuatan’.

Pasang surut identitas Dayak berbaur dengan sejarah yang membentuk masyarakat itu sendiri. Pada perkembangannya, identitas Dayak juga meluruh seiring dengan masuknya berbagai agama di Kalbar. Ada kondisi, ketika masyarakat Dayak masuk agama Islam, identitas keetnisannya berubah menjadi Melayu atau Senganan. Pada perkembangannya, orang Dayak yang masuk Islam, mereka tetap memakai identitas kedayakan mereka. Namun, hal itu bukanlah sesuatu yang merisaukan. Identitas bukan sesuatu yang statis, tapi dinamis. Identitas diubah menurut dinamika masyarakat (hal 12).

Pencarian identitas berbaur dengan berbagai nilai dan budaya lain. Apalagi di Kalbar yang terdiri dari beragam etnis ini. Kondisi itu bisa meluruhkan identitas atau malah memperkuat identitas itu sendiri. Perpaduan budaya juga menghasilkan akulturasi budaya.

Buku ini memberikan berbagai gambaran dan profil dari setiap kabuapten atau kota yang ada di Kalbar. Tak hanya itu, berbagai data, sejarah, asal usul, dan migrasi berbagai suku yang menempatinya, membuat buku ini juga menarik sebagai kajian. Namun, munculnya berbagai grafik dan ilustrasi, terkadang membuat keasyikan membaca jadi terganggu. Orang harus dibuat berpikir dan merenung sejenak, apa maksud dari gambar ini. Walaupun, pada bagian bawah, akhirnya, pertanyaan bisa terjawab.

Bagian empat membahas keberagaman suku Dayak di Kalimantan Barat. Bagian ini berisi sejarah penyebaran subsuku di Kalbar. Wilayah penyebaran, jumlah penutur, bahasa dan berbagai adat tradisi yang dimiliki setiap subsuku Dayak.

Sekarang ini, ada 151 subsuku Dayak di pedalaman Kalbar. Subsuku, bisa terdiri dari satu subsuku Dayak itu sendiri. Misalnya, subsuku Dayak Angan. Subsuku Dayak Banyadu’, Baya dan lainnya. Namun, ada subsuku Dayak, terdiri dari 12 subsuku. Misalnya saja subsuku Dayak Bakati’. Memiliki 12 subsuku Dayak Bekati’. Ada Dayak Bekati’ Kuma. Dayak Bekati’ Lumar, dan lainnya. Bahkan, subsuku Dayak Kanayatn, memiliki 32 subsuku Dayak Kanayatn.

Pemukiman yang menyebar dalam berbagai wilayah, membuat bahasa yang digunakan juga berbeda. Kontur dan kondisi alam di Kalbar, menambah jumlah subsuku Dayak. Sulitnya menembus wilayah, turut membuat subsuku Dayak, memiliki bahasa berbeda.

Subsuku Dayak tinggal menyebar di berbagai tempat yang bisa membuat mereka melakukan berbagai aktivitas berladang atau berburu. Terkadang, wilayah mereka yang terpencil, tak bisa dijangkau oleh orang lain.

Salah satu contoh, subsuku Dayak Badat di Sanggau (hal 68). Subsuku ini ada di perbatasan Sanggau dan Serawak Timur. Wilayah ini tak ada jalur darat. Sulitnya menembus wilayah ini, membuat subsuku Dayak Badat, hanya ada di dua perkampungan. Kampung Badat Lama, terletak di puncak gunung dan Badat Baru di lereng gunung. Orang Dayak menganggap, puncak gunung merupakan wilayah-wilayah suci yang bagus untuk ditempati.

Bab ini juga berisi berbagai cerita rakyat. Yang digali dan menceritakan asal usul sebuah kampung atau tradisi. Misalnya saja cerita tentang tradisi Bawakng (hal 78). Orang subsuku Bakati Riok punya cerita, mereka merupakan satu keturunan dengan Kamang atau ruh orang sakti. Para Kamang ini, bisa dimintai bantuan, jika berada dalam keadaan gawat. Misalnya dalam keadaan perang.

Tempat tinggal masyarakat Dayak, diberi nama berdasarkan berbagai nama sungai di sekitar tempat tinggal mereka. Misalnya, subsuku Dayak Bekati Sebiha. Dinamakan Sebiha, karena tempat tinggal mereka berada di dekat Sungai Sebiha. Atau, subsuku Dayak Membulu’, karena bermukim di Sungai Membulu’. Subsuku Dayak Kenes, dan lainnya. Banyaknya sungai di Kalimantan Barat, membuat sebagian besar nama subsuku Dayak, diberi nama sesuai dengan nama sungai tempat mereka tinggal, atau nama asal sungai mereka berada.

Ada juga subsuku Dayak diberi nama berdasarkan nama gunung. Misalnya, subsuku Dayak Belaban, karena tinggal di Gunung Belaban. Nama juga diberikan sesuai dengan nama binua. Seperti, subsuku Dayak Balantiatn, karena tinggal di Binua Balantiatn.
Hal ini menunjukkan kedekatan orang Dayak dengan ruang hidup mereka (hal 331).

Ada dua map dalam buku ini. Peta itu menunjukkan penyebaran berdasarkan subsuku dan keberagaman Bahasa Dayak. Ada 151 subsuku dan 168 bahasa.

Buku ini berguna bagi masyarakat Dayak yang ingin mengetahui identitasnya, atau warga lain yang ingin tahu tentang Dayak. Atau, bagi kalangan akademisi, guru dan lingkungan pendidik. Bahkan, buku ini juga bisa dijadikan sebagai acuan bagi muatan lokal.

Namun, buku ini juga membutuhkan berbagai penelitian lanjutan, untuk membuat dan melengkapi berbagai informasi terhadap berbagai subsuku Dayak itu sendiri. Misalnya, bagaimana cara perladangan masyarakatnya, subsuku mana yang peduli dengan pendidikan, bisa berdagang atau lihai dalam masalah ekonomi.

Informasi-informasi itulah yang bisa membuka buku ini, menjadi sebuah penelitian lanjutan. Pada akhirnya, saya harus memberikan apresiasi dan kejujuran para penulisnya, seperti yang termuat dalam puisi di halaman depan. Ada keterbatasan. Ada harapan. Ada semangat yang terus terpompa.

Setiap jejak tapakku di tanahmu……harum asa
Asa tuk mengenalmu, memahami, dan menyelamimu
Namun…..nadi dan nafasku terukur
…………..
………….
Enggang tetap mengepak…
Kita siapkan nadi dan nafas…

Rajut kuat tiap sisimu
Genap dan jaga tiap serpihmu


Judul : Mozaik Dayak, Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan
Barat
Penulis : Sujarni Alloy, Albertus, dan Chatarina Pancer Istiyani
Editor : Jhon Bamba
Penerbit : Institut Dayakologi
Tempat Terbit : Pontianak
Tahun : 2008
Halaman : 351+xxviii



Baca Selengkapnya...

Sunday, May 4, 2008

Jangan Biarkan Kemerdekaan Pers Terampas

*Heru Hendratmoko Eko Maryadi (Item)
Ketua Umum Koordinator Divisi Advokasi AJI

Borneo Tribune, Jakarta

"Ketika jurnalis dipenjarakan, hak informasi publik dipidana, perempuan dan pemeluk agama dilecehkan, maka tunggulah hari-hari kegelapan itu.."

3 Mei 2008, masyarakat pers di dunia memperingati Hari Kebebasan Pers atau World Press Freedom Day. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengingatkan kekerasan terhadap pers dan ancaman kriminalisasi dapat mengancam kebebasan pers dan hak informasi publik secara luas.

Sejak Mei 2007 sampai Mei 2008 Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menghimpun 60 kasus kekerasan terhadap jurnalis dalam berbagai bentuk. Dalam periode itu terjadi 7 kasus ancaman, 5 kasus pelecehan, 7 kasus pengusiran, 3 kasus pemenjaraan, 4 kasus sensor berita, 21 kasus serangan fisik, dan 8 kasus tuntutan hukum.


Berdasarkan sebaran wilayah, kekerasan paling banyak terjadi di propinsi DKI Jakarta (13 kasus), Jawa Timur dan Madura (11 kasus), serta Jawa Barat dan Depok (8 kasus). Dari segi pelaku kekerasan terhadap pers dan jurnalis yang terbanyak ialah massa dan preman, aparat pemerintah, dan aparat TNI/Polri.

Contoh : Dua wartawan TV dan seorang jurnalis radio babak belur dikeroyok massa di alun-alun Bojonegoro karena kecewa dengan pemberitaan pers (30/4). Sebelumnya (2/4) dua wartawan TV-One yang sedang bertugas dianiaya oknum Angkatan Laut yang "berdinas" di kawasan bisnis Cikarang, Bekasi. Di NTT, secara berturut-turut wartawan Expo NTT disiksa Sekretaris Daerah Ende (16/2), dan wartawan Pos Kupang dikeroyok oleh 4 orang preman terkait pemberitaan (17/2).

Kekerasan Non-Fisik
Di luar kekerasan langsung bersifat fisik, kebebasan pers di tanah air terancam oleh segelintir orang yang menggunakan kekuasaan uang atau jabatannya. Pada September 2007, wartawan Tempo, Metta Darmasaputra yang melakukan investigasi dugaan penggelapan pajak oleh PT Asian Agri milik taipan Sukanto Tanoto, justru disadap dan diancam dipidanakan oleh aparat Kepolisian Metro Jaya. Fakta ini menunjukkan bahwa jurnalis dan yang menjalankan fungsi kontrol sosialnya dengan benar lebih sering mengalami ancaman dan bahaya.

Kekerasan tidak langsung juga dilakukan oleh aparatur penegak hukum dari Kejaksaan sampai Mahkamah Agung. Sederet kasus penuntutan, pelarangan terbit dan penghukuman oleh pengadilan terjadi sepanjang Mei 2007-Mei 2008. Risang Bima Wiyaja (Radar Yogya), Dahri Uhum (Tabloid Oposisi-Medan), Majalah Time (Asia), dan Edy Sumarsono (Tabloid Investigasi-Jakarta) adalah sederet nama yang dipaksa menjalani tuntutan dan putusan pemidanaan akibat pemberitaan pers. Mereka adalah korban kriminalisasi oleh negara justru pada saat Indonesia telah memiliki Undang Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang "bersifat" lex spesialis.

Yang terbaru, negara seolah menyatakan keinginannya untuk kembali mengontrol kehidupan publik dan pers melalui peraturan Undang Undang (UU) yang berpotensi menghambat dan mengkriminalkan pers. Sebut saja UU Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Keterbukaan Informasi Publik, RUU Pemilu, dan RUU KUHP yang didalamnya mengandung ancaman penjara dan denda bagi khususnya pers dan publik, yang melanggar aturan tersebut. Padahal menghadapi pasal pencemaran nama baik (310, 311, 207 KUHP) sudah banyak pers menjadi korban. Jika situasi ini dibiarkan bukan tidak mungkin Indonesia kembali ke zaman dimana pers dan rakyatnya bisa dipidanakan oleh penguasa atas nama kerahasiaan atau nama baik yang tercemar.

Menyambut Hari Kebebasan Pers Sedunia (World Press Freedom Day) 3 Mei 2008, AJI menyatakan keprihatinan mendalam atas terjadinya berbagai tindak kekerasan terhadap pers. Situasi ini menggambarkan merosotnya penghargaan publik terhadap pers dan belum optimalnya kesadaran aparat pemerintah tentang peran dan fungsi pers yang sesungguhnya. AJI Indonesia kembali mengingatkan bahwa kebebasan pers dijamin dalam Konstitusi dan Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Dengan ini Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyatakan, pertama, meminta aparat penegak hukum tidak lagi melakukan pemidanaan terhadap karya jurnalistiknya dan ikut membantu menghentikan terjadinya tindak kekerasan terhadap pers dan jurnalis.

Kedua, mengajak semua pihak untuk menggunakan mekanisme yang telah disediakan oleh UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers apabila menghadapi sengketa karya jurnalistik, yakni menggunakan hak jawab, hak koreksi, dan mengadu kepada Dewan Pers.

Ketiga, mengajak setiap jurnalis agar meningkatkan profesionalisme dan kepatuhan terhadap kode etik jurnalistik, menjauhi praktek-praktek tidak terpuji yang menjatuhkan citra pers dan jurnalis secara umum. Mari satukan langkah menghadapi ancaman kebebasan pers yang makin
nyata.(Rilis AJI)□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 4 Mei 2008.
Bersama Wendy Bacon di pelatihan PPMN. Foto Doks PPMN

Baca Selengkapnya...

Friday, May 2, 2008

Kru Al-Jazeera dibebaskan

BBC.Indonesia

Seorang juru kamera stasiun TV al-Jazeera, yang baru dibebaskan dari tahanan AS di Teluk Guantanamo, tiba di negara asalnya, Sudan.

Sami al-Hajj ditahan Amerika selama lebih dari enam tahun. Dia ditahan di Afghanistan pada tahun 2001.

Dia tiba di ibukota Sudan, Khartoum dengan pesawat militer Amerika Jumat dini hari.

Setelah melancarkan mogok makan 16 bulan, Hajj tersenyum meringis saat dia diantar keluar dari personel oleh militer Amerika.


Klip video Al-Jazeera memperlihatkan dia dtandu ke rumah sakit dalam kondisi tampak lemah, meski tersenyum dan disambut penjemputnya.

Tanpa dakwaan
"Kami memprihatinkan cara Amerika menangani Sami, dan kami prihatin atas cara yang mungkin mereka pakai untuk menangani orang-orang lain," kata Wadah Khanfar, managing director siaran bahasa Arab al-Jazeera.

Amerika belum memberikan tanggapan.


Jajaran lembaga HAM mengutuk pemenjaraan Hajj.

"Penahanannya selama enam tahun, tanpa proses paling dasar yang semestinya, merupakan kezaliman serius dan merupakan ancaman bagi semua wartawan yang bekerja di kawasan konflik," kata Joel Simon, executive director lembaga pembela hak pers Committee to Protect Journalists di New York.

Hajj tengah bekerja sebagai jurukamera al-Jazeera ketika dia ditahan oleh pasukan Afghanistan di dekat perbatasan Afghanistan bulan Desember 2001, dan kemudian diserahkan kepada militer Amerika.

Sami al-Hajj, yang berusia 38 tahun saat ditahan, dituduh memiliki hubungan dengan kelompok-kelompok militan, tapi tidak didakwa.

Militer Amerika menuduh dia terlibat dalam pendanaan pejuang muslim di Bosnia dan Chechnya pada tahun 1990-an.

Hajj mogok makan pada awal 2007. Tim pengacaranya mengatakan, dia dipaksa makan beberapa kali.

Hajj tegas-tegas membantah tuduhan terhadap dirinya dan pengacaranya di
al-Jazeera mengatakan, dakwaan itu bermotif politik.

Amerika Serikat mendirikan kamp Guantanamo tahun 2002 untuk menahan tersangka teroris asing yang ditangkap selama perang melawan Taleban dan al-Qaeda di Afghanistan.

Ratusan tahanan telah dibebaskan dari sana tanpa dakwaan, tapi lebih dari 275 orang lagi masih ditahan dan Amerika berharap akan mengadili sekitar 80.□


Baca Selengkapnya...