Saturday, July 4, 2009

Wartawan Pontianak Kena Bogem Pengawal Boediono

KOMPAS, Christoporus Wahyu Haryo P
PONTIANAK, KOMPAS.com - Kunjungan calon wakil presiden Boediono di Pontianak, Kalimantan Barat, Jumat (3/7), kembali diwarnai insiden pemukulan terhadap wartawan. Rizky Wahyuni, wartawati harian Borneo Tribune, yang bagian wajah sebelah kirinya terpukul pengawal Boediono, langsung melaporkan kasus ini ke Kepolisian Kota Besar Pontianak.

Insiden terjadi saat pengawal Boediono berusaha menghalangi wartawan yang hendak meliput perbincangan Boediono dengan sejumlah tokoh masyarakat di salah satu ruangan di kompleks Masjid Mujahiddin, usai shalat Jumat.

Di hadapan penyidik Poltabes Pontianak Rizky menuturkan, salah seorang pengawal Boediono yang mengenakan pakaian safari hitam memperbolehkan wartawan masuk ke ruangan, namun dibatasi hanya dua orang. Namun saat hendak masuk ke ruangan itulah sejumlah pengawal lainnya justru menghalangi wartawan dan ia pun terpukul di bagian pipi kirinya.

"Kejadiannya sangat cepat, saya tidak terpikir untuk melihat (identitas) nama (yang tersemat di dada) pengawal itu," kata Rizky. Saat kejadian, ia juga sempat berteriak-teriak kalau dirinya terkena pukulan. Namun salah seorang pengawal malah menjawab, "Kami juga menjalankan tugas."

Dalam pemeriksaan polisi, Rizky juga menjalani visum di RS Bhayangkara. Saat dimintai tanggapan, Sukiman yang menjabat Ketua Tim Kampanye Daerah Kalbar SBY-Boediono di Kalbar mengatakan, cawapres Boediono sempat menyatakan keprihatinannya dan meminta maaf atas insiden tersebut.

"Insiden itu sifatnya tidak disengaja. Maklumlah saat itu banyak orang dan tidak tahu bagaimana kejadian persisnya karena banyak yang berebut ingin bersalaman dengan Pak Boediono," kata Sukiman.

Sekretaris Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pontianak Muhlis Suhaeri menyerukan protes keras terhadap sikap para pengawal Boediono yang terlalu kasar memperlakukan wartawan. Pengamanan boleh saja, tapi jangan sampai melakukan kekerasan fisik dan pemukulan, katanya.

Perbuatan para pengawal Boediono ini bisa dikategorikan menghalangi tugas wartawan dan melanggar Pasal 18 Undang-undang No 40/1999 tentang Pers. Terkait proses hukum atas kasus ini, AJI Pontianak menyerahkan sepenuhnya kepada pihak kepolisian.

Foto Muhlis Suhaeri

Baca Selengkapnya...

Friday, July 3, 2009

Kledik, Harta Karun Terpendam

Muhlis Suhaeri dan Eko Susilo
Borneo Tribune, Pontianak
Alat musik ini sungguh eksotik bentuknya. Sebuah peniup berbentuk bulat dari labu. Labu kering menghasilkan resonansi bunyi. Labu tersambung dengan lima bambu kecil berdiameter sekira 2,5 cm dan panjang 30 cm. Sebuah bambu lainnya, sepanjang 130 centimeter menjuntai ke atas.

Pipa-pipa bambu berfungsi memperkeras bunyi. Satu bambu menghasilkan satu nada. Setiap bambu kecil memiliki lubang yang berfungsi mengatur nada dan bunyi.

Pada ujung bambu paling panjang, sebuah labu kecil bertengger. Fungsinya mempercantik sekaligus penguat bambu. Lilitan rotan mengikat lima bambu dalam satu ikatan, makin mempercantik alat musik ini.


Alat musik ini punya beberapa nama. Ada yang beri nama kledik, kedirek, dan engkurai. Ini jenis alat aerofone atau musik tiup. Kledik termasuk jenis musik tiup yang menggunakan lidah berupa kayu apin. Ini jenis kayu enau, tapi lebih kecil. Pada ujungnya berfungsi menghasilkan vibrasi atau sumber bunyi.

Kledik menghasilkan suara seperti alat musik organ. Alat musik ini, bila ditiup suaranya polyphonic. Yang berarti punya banyak nada atau jumlah nada yang bisa ditekan secara bersamaan. Lawannya monophonic, berarti cuma satu nada yang bisa keluar. Katakanlah, 64 polyphonic berarti ada 64 tuts yang bisa ditekan secara bareng pada waktu bersamaan.

“Padahal, keberadaan alat musik ini diperkirakan sudah muncul sejak 2000-3000 tahun yang lalu,” kata Rizaldi D. Siagian.

Tak heran bila, kledik dijadikan souvenir untuk seorang kepala negara pun, tidak akan membuat malu. Apa pasal? Bentuknya unik dan eksotik. Sehingga membuat alat musik ini, cocok sebagai hadiah. “Gubernur pun tidak akan malu untuk memberikannya pada presiden. Bahkan, Presiden RI, tak bakal malu memberikan alat ini pada Obama, misalnya,” kata Rizaldi.

Cara memainkan kledik dengan cara ditiup atau diisap (freereed), seperti harmonika. Untuk mengatur nada yang keluar dari kledik, dengan membuka dan menutup lubang yang terdapat pada batang bambu tersebut.

“Belum diidentifikasi nada apa-apa saja yang ada. Bagi saya, dia memiliki kekhasan tersendiri,” kata Rizaldi.

Rizaldi seorang etnomusikolog. Menurutnya, ada beberapa negara di Asia Tenggara yang juga memiliki alat tiup yang hampir serupa. Misalnya di Thailand, dan negara Indochina.
Kledik adalah instrumen yang sistem taksonominya berangkat dari alam. Ini bisa dilihat dari penggunaan bambu, labu, dan rotan sebagai pengikatnya. Bahkan, untuk merekatkan bambu dan labu, menggunakan sarang lebah sebagai media.

Kledik ditemukannya di Desa Sungai Buaya, Kecamatan Kelam, Kabupaten Sintang. Menurutnya, kledik di Indonesia hanya ditemukan di desa tersebut. Selain ada alat musiknya, juga ada warga yang bisa memainkan alat musik tersebut. Di Kaltim, alat musik ini ditemukan, tapi sudah tak ada yang bisa memainkannya.

“Di situ letak keunikannya. Selain bentuk dan suaranya, juga ada orang yang bisa memainkannya,” kata pria yang pernah menjadi ketua jurusan musik di Universitas Sumatera Utara (USU), Medan.

Masyarakat di Desa Sungai Buaya, menggunakannya kledik sebagai sarana hiburan. Jadi, bukan dimainkan pada saat upacara sakral atau untuk kegiatan lainnya.

Bagi Rizal, sisi keunikan kledik, sebenarnya bukan tujuan utama yang menjadikannya karya seni bernilai tinggi. Tetapi, ada sesuatu yang bisa dilakukan dengan mengembangkan potensi ekonomi kreatif. Hal itu bisa dilakukan dengan menjadikan kledik sebagai “jalan” untuk mewujudkannya.

“Sangat potensial dari sisi ekonomi, dan harus dikembangkan. Dia menonjolkan kebudayaan yang tinggi sekali, serta memberikan kontribusi yang besar kepada dunia,” kata Rizaldi.

Pelestarian Berbasis Pendidikan
Malam itu, kami berbincang di rumah makan di Jalan Siam, Pontianak. Perbincangan berlangsung seru. Ada antusiasme dan keinginan untuk saling menyelami. Perbincangan mengalir dengan suasana santai.

Di depan kami, seorang berkaca mata dan penampilan tak formal, sedang bicara dengan gayanya yang khas. Terkadang dia berdiri. Bahasa tubuhnya bergerak, seirama dengan apa yang sedang dibicarakan. Kami pun menanggapinya dengan semangat.
Lelaki itu bernama Rizaldi D. Siagian. Ia etnomusikolog asal Medan. Saat ini, ia menetap di Jakarta.

Ia pernah membuat berbagai karya. Salah satunya, film tentang Fadel Muhammad, Gubernur Gorontalo. Sebuah film dokumenter berdurasi delapan menit berjudul “My Forest’s Tears” atau Hutanku Meratap, juga digawanginya. Dia mencipta dan mengisi aransemen lagunya. Film ini masuk nominasi festival film internasional di Jepang.

Lalu, mengapa dia memutuskan untuk menjadi etnomusikolog?

“Etnomusikolog tidak percaya pada musik-musik universal, karena sangat kapitalistik,” jawabnya.
Walapun demikian, Rizal, sapaan akrabnya, pernah menekuni blantika musik cadas atau musik rock. Pada era Flower Generation tahun 70-an, ia pernah eksis di bidang musik.
Saat itu, di Indonesia sedang “demam” musik cadas dengan kiblat berbagai grup band cadas seperti, Led Zeppelin, Deep Purple, Rolling Stones, ELP dan lainnya. Di Jakarta, ada God Bless, sebagai punggawanya. Di Surabaya ada grup SAS. Di Bandung ada The Rollies. Di Medan, ada grup Great Session. Nah, di Great Session inilah, Rizal bertugas menggebuk drum.

Tapi, selama bermain musik, ia merasa tak menemukan kepuasan. “Saya hanya copy paste,” katanya.

Dia hanya meniru dan memainkannya. Karenanya, ia pindah haluan dan lebih memperdalam pengetahuan musiknya. Hasilnya adalah, berbagai pengetahuan tentang musik etnik. Pengetahuan itu dimiliki secara akademis, dan melalui jenjang pendidikan.

Saat menjadi dosen di USU, dia berkesempatan sekolah lagi di Amerikan Serikat, selama tiga tahun pada 1985. Namun, saat dia akan meneruskan hingga tingkat doktor, USU memanggilnya. Ia harus kembali dan mengajar di sana.

Ia menjadi dosen dan kepala jurusan Etnomusikologi di USU. Pada 1992, ia keluar dari USU, dan memutuskan jadi seniman saja. Dari tahun 1992-1999, dia berkiprah di Medan. Pada 1999, ia pindah ke Jakarta.

“Ketika menjadi seniman, saya merasakan bahagia. Dari sisi intelektual, saya harus bisa memberikan kontribusi kepada masyarakat,” katanya.

Selama menjadi etnomusikolog, dia berkeliling ke Indonesia. Perjalanannya ke berbagai daerah, ia menemukan bermacam kebudayaan. Baginya, hal itu memberi ilmu pengetahuan lebih luas dan bisa dikembangkan. Ia kerap menemukan sesuatu diluar dugaan.

Ketika datang ke Kalbar untuk lakukan penelitian alat musik kledik, ia menemukan sesuatu yang tak terbayangkan. Rizal tak hanya menemukan kledik, tapi juga menemukan orang yang sanggup memainkannya.

Untuk meneliti kledik saja, Rizal butuh waktu lima tahun lebih untuk melakukannya.
Kini, ketika sudah menemukan, ia berencana menampilkan kledik dalam pagelaran Megalitikum Kuantum, bersama kesenian Sub Suku Dayak lainnya. Seperti, kesenian Timang yang merupakan tradisi lisan, dimana pengetahuan disusun dalam suatu pantun, kemudian disampaikan dengan cara bersenandung.

Tak hanya menampilkan, dia juga melakukan pemberdayaan masyarakat di sana. Caranya? Membuat ekonomi kreatif sehingga masyarakat bisa berdaya.

“Saya sudah pesan 100 kledik, dan minta tiga orang untuk belajar. Nantinya, ingin saya tampilkan dalam Megalitikum Kuantum,” kata Rizal.
Ditampilkannya kledik dalam Megalitikum Kuantum, merupakan upaya mempromosikan kebudayaan suku Dayak Inggar Silat. Menurutnya, tugas seniman adalah mempromosikannya.

“Saya peduli dengan mereka. Ini bagian martabat bangsa. Jadikan ini semua sebagai identitas martabat kita,” katanya bersemangat.

Ia ingin menunjukkan bahwa, budaya bisa ditampilkan di tempat lain. Pertunjukkan kledik bisa menjadi pembentukan opini dan proses interaksi. Sehingga tidak menutup kemungkinan, kledik jadi suatu kebudayaan bernilai tinggi dan dikenal di seluruh dunia.

Tak hanya mempopulerkannya, ia juga ingin meningkatkan potensi ekonomi masyarakat di sana. Caranya, membuka akses ke desa tersebut. Sehingga orang yang ingin mengetahui kebudayaan dan kledik, bisa langsung datang ke sana. Sehingga perputaran roda ekonomi tidak hanya dari segi “menjual” kebudayaan tersebut, tapi juga diperoleh dari wisatawan yang berkunjung. Ini tentu saja memberikan pendapatan pada penduduk yang menetap di Desa Sungai Buaya.

“Pemerintah juga harus mengambil peranan dalam industri kreatif ini,” kata rizal. Misalnya, membeli kledik langsung dari desa tersebut, terus dipajang di kantor. Dengan langkah ini, pemerintah berarti turut memperkenalkan kledik kepada masyarakat luas.
Dengan mempromosikan kledik, berarti menambah khasanah budaya Kalbar. Sehingga masyarakat Dayak, tak hanya diidentikkan dengan perisai dan Mandau, atau alat musik sape’.

Menurutnya, sekarang ini, tinggal memikirkan bagaimana cara memasarkan kledik. Apakah dengan mengikuti selera pasar, mengedukasi atau memberi pendidikan pada masyarakat, dengan mengajarkan sesuatu yang bermanfaat.

“Bila kebudayaan ini dipaksakan untuk mengikuti selera pasar, maka yang terjadi adalah, kehancuran nilai kebudayan tersebut,” kata Rizal.

Namun, bila dengan mengedukasi kebudayaan tersebut, akan mempertahankan warisan budaya yang sangat berharga ini. Karenanya, interaksi dengan masyarakat luas, harus diciptakan untuk mewujudkan ekonomi kreatif.

Edisi cetak ada di Borneo Tribune 2-3 Juli 2009.
Foto by Eko Susilo

Baca Selengkapnya...